Menghubunginya hampir rutin selama dua hari terakhir. Bertemu juga sudah dua kali. Makan malam juga yang kata lelaki itu sebagai ajang reuni tapi hanya untuk mereka berdua dan untuk pertama kalinya, Clara merasa ada sesuatu yang berbeda. Bukan. Bukan tentang perasaannya tapi mengenai tindak tanduk Joy.
Belasan tahun lamanya Clara hanya bisa melihat Joy dari kejauhan dan dekat lewat sosial media yang bisa ia lihat hampir setiap hari—dulu ya, ketika ia masih dibangku SMA namun seiring berjalannya waktu, penuh dengan kesibukan kuliah dan sekarang saat ia sudah bekerja, kelakuannya yang kekanak-kanakan tersebut pun perlahan menghilang.
"Kenapa ngeliatin aku? Ganteng ya?"
Tersadar, Clara cepat-cepat menggeleng lalu mengambil gelas berisi es jeruk dan segera menenggaknya sampai tandas. Lu nggak ada manis-manisnya banget ya, Ra, sungutnya dalam hati.
"Geer banget."
Joy tersenyum mengejek. "Ah masa sih? Bukannya dari dulu kamu suka sama aku ya?"
Glek.
"Hah? Sok tau!"
Sial. Sial. Sial. Gue lupa pernah...
"SMA kelas 2. Kamu bilang loh ke aku."
"Dih ngaco." Masih mengelak walau sebenarnya ia sudah tertangkap. Ibarat ia adalah maling yang mencuri siang bolong ketika ramai, ya jelaslah ketauan.
"Mau bukti?"
Clara menaikkan sebelah alisnya, "Nggak usah aneh-aneh ya kamu."
"Ih siapa yang aneh? Aku beneran loh!" Joy membersihkan tangan kanannya yang berlumuran sambal lalu mengambil ponsel dari saku kanannya.
"Tau ah. Aku mau pulang."
Lelaki itu tertawa dan mengacak poni Clara pelan. "Ih jangan ngambek dong, Lalaaa."
"Mas, Mbak yang lagi kasmaran di pojok sana. Jangan pacaran aja dong! Lirik sini bentar dong eike mau nyanyi nih." Panggilan dari baling a.k.a banci keliling membuat keduanya menoleh.
Clara berdeham pelan dan menurunkan tangan kiri Joy yang masih berada diatas kepalanya lalu merapihkan poninya yang sedikit berantakan.
"Mbak, kami... bukan pasangan." Jelasnya pelan. Suaranya kalah kencang dengan baling itu.
Joy menoleh sebentar ke arah Clara lalu kembali melihat si baling yang sudah sibuk bernyanyi dengan suara yang cukup bisa diterima di telinga walau agak cempreng dan pas-pasan.
"Akan, Ra."
Hah?
"Apa?"
Joy kembali melihatnya. Rasanya Clara ingin waktu berhenti karena ketika tatapan lelaki itu berhenti dikedua bola mata Clara, lelaki itu menatapnya cukup lama. Jantungnya pun sedari tadi tidak ada jeda untuk menurunkan ritme jantungnya.
Kenapa selalu seperti ini sih, Tuhan? jeritnya dalam hati.
***
Pagi ini, ketika baru sampai kantor. Tiba-tiba saja atasannya mengadakan rapat sebentar untuk membahas dan memberikan template baru untuk laporan bulanan dan target baru untuk divisinya, membuat Clara kesal setengah mati.
"Eh, bok."
"Hmm."
Kepala Yudith menyembul dari balik kubikel disampingnya. "Gue kok rada curiga ya sama gebetan elo."
"Siapa?"
"Yang biasa anter jemput itu."
"Apaan sih. Nggak ada yang anter jemput gue." Gadis itu sibuk mengisi dan melengkapi laporan bulananan ketika Yudith datang, membuat konsentrasinya buyar seketika.
Yudith mengetuk dinding kubikel pelan. "Ih ngaco! Ada! Itu lohhh yang selalu bawa mobil gede warna item. Terus orangnya tinggi banget dan kalau senyum ada lesung pipi gitu."
Deg.
Jantung Clara rasanya mencelos. Sial. Sial.
"Lo tau dari mana?"
Yudith memutar kedua bola matanya. "Uh-puh-les deh. Beberapa temen kantor ada yang liat kali drama yang lo berdua lakuin kemaren."
Triple sh—t.
Walau Yudith sudah tau tentang ceritanya dan cinta pertamanya itu, tapi Clara sudah berjanji dengan dirinya untuk mengenalkan pria itu pada temannya yang lain—apalagi teman-teman kantornya, karena Clara tidak mau menanggung malu atau ada yang tau bahwa seandainya, ia gagal menjalin hubungan lagi dengan pria yang notabenenya adalah cinta pertama gadis itu, ia akan habis diludahi dan diolok-olok setiap hari.
Sh—t.
Apasih yang ada dipikirannya? Mana mungkin juga Joy mendekatinya seperti lelaki yang sedang dalam masa penjajakan dengan gadis yang lelaki itu sukai, bukan? Terlebih, gadis ini adalah dirinya. Tidak akan mungkin.
"Nggak usah ngaco ya, Dith. Dia itu cuma temen pas SD doang kok."
Yudith menepuk lengannya pelan. "Eh geblek, mana ada temen SD yang udah dari SD... gue ulangi, dari SD nggak ketemu dan tiba-tiba... voila! Jadi gebetan elu dalam waktu seminggu? Asli, ini mencurigakan."
Clara mengerutkan dahinya. "Ya, gue kan nggak bilang dia pedekate sama gue, Dith. Kebetulan aja dia baik sama gue dan kasian juga kali karena gue harus pulang setiap hari pakai transportasi umum."
Yudith menatapnya tidak percaya. "Ra, gue kenal elo bukan baru kemaren sore ya. Ini kita lagi bahas Clara Devina yang keras kepala dan super mandiri sampe mantan lo aja pada gerah liatnya."
"He's really something and I doubt he has a good intention with you. It's like he's toying you, y'know. On top of that, it's hella fishy!"
"You don't even know him, Dith."
Lagi, Yudith memukul lengannya. "And look at you now. Belum jadian aja udah ngebela dia sampe segininya. Sumpah ya! Pake pelet apa sih cowok itu? Awet banget. Heran gue."
"Dan ya, hanya karena lo udah kenal dia pas masih SD, bukan berarti dia masih orang yang sama ya." Lanjut Yudith. "Asli deh ini, temen gue dipelet berbelas-belasan tahun lamanya."
"Kampret lo!"
Yudith tertawa. "Tapi seriusan deh, Ra. Lo kayaknya jangan terlalu terbuai ya karena ada cinta pertama lo yang tiba-tiba deketin. It's so freaking fishy. I know it's like a dream come true and I know you deserve it tapi gue nggak mau lo perpuruk nantinya kalau emang apa yang gue takutin beneran kejadian."
Clara mencibir, memajukan bibirnya seolah-olah ingin mencium temannya "Aw, you're so sweet. Love you, bat!"
"EW! Get away from me, you b—tch!"
Clara terbahak-bahak saat Yudith dengan cepat kabur dan menghilang dari pandangannya. Ada sedikit kalimat yang menyentilnya tadi, mungkin sampai saat ini, ketika Yudith berkata.
"Dan ya, hanya karena lo udah kenal dia pas masih SD, bukan berarti dia masih orang yang sama ya."
Ya, Clara pun memang ragu akan hal itu tapi hanya ia simpan sendiri. Ketika dijelaskan dan ditegur oleh orang lain, ia seperti tertampar. Hanya karena ia pernah mengenal cinta pertamanya dulu, bukan berarti orang itu masih orang yang sama, bukan?
***
Seperti hari sebelumnya, malam ini Joy pun sudah menunggunya di lobby kantor dan mengajaknya buka bersama dan berakhir dengan mengantarnya pulang. Iseng, Clara bertanya.
"Joy."
"Kenapa tiba-tiba kamu jadi gini sama aku?"
"Gini gimana?"
Laju mobil memelan dan berhenti tepat di bawah lampu lalu lintas yang berubah menjadi warna merah yang tak jauh dari area perumahan.
"Ya gini. Kayak... Hm, sorry bukannya aku mau geer ya tapi kamu kayak lagi deketin aku." Clara tertawa pelan. "I mean, so hard to believe."
Belasan tahun gue nggak dianggep and now you're here, J.
"Ya emangnya kenapa?"
"Ya nggak apa-apa sih, cuma aku heran aja."
"Yaudah nggak usah heran dong."
Setelah itu Clara bingung harus membalas apa. Tiba-tiba bibirnya kelu, pikirannya kembali melayang pada percakapannya dengan Yudith siang tadi. Apa benar ia hanya dipermainkan?
Joy mengantarnya sampai di depan rumah, Clara lupa mencegah tapi yasudahlah. Untung kedua orangtuanya sudah tidur dan saudaranya pun tidak ada yang bertanya. Selesai membersihkan badan, Clara yang berbaring menatap langit kamarnya yang dipenuhi bindang, tanpa sebab, tiba-tiba saja Clara teringat pada seseuatu, ia ingin mencari kotak rahasia yang ia simpan di dasar lemari pakaiannya.
Berhasil mendapatkan kotak itu, Clara menaruh di tengah tempat tidurnya, ia duduk bersila samil menatap kotak yang ada dihadapannya saat ini.
Clara masih enggan membuka. Entah kenapa tiba-tiba ada dorongan ingin melihat isinya sedari tadi tapi ketika sudah dihadapan begini, Clara kelu dan terpaku.
"Susah banget ya Joy untuk membuang lo dari benak gue."
Clara sudah terbiasa bermonolog sendiri seperti ini. Ia turun dari tempat tidurnya dengan memeluk boneka beruang seukuran tubuhnya dan menuju cermin yang ada di samping kanan ranjang dan duduk, memposisikan diri di depan cermin yang sejajar dan dapat melihat pantulan dirinya.
Sambil memeluk boneka beruang seukuran tubuhnya, Clara menatap manik matanya. Melihat dirinya sendiri saya membuat air matanya menggenang.
"Clara, why you have to be this idiot?"
Bunyi pesan masuk membuatnya menghentikan sesi self-pity dan self-blamming yang selalu ia lakukan jika sudah merasakan sesak di dada. Hanya jika berkaitan dengan cinta pertamanya, lelaki yang berhasil memporak-porandakan hatinya.
23.57 | Voldemort: Ra
23.57 | Voldemort: Aku baru sampe. Makasih ya udah nemenin lagi hari ini :)
23.59 | You: Iya, sama-sama Joy
00.00 | Voldemort: Ra...
00.00 | You: Ya?
Gadis itu menahan debaran di dadanya. Setelah lima menit terlewati dan belum ada tanda-tanda pesannya akan dibalas oleh lelaki itu, Clara memutuskan untuk mematikan nada dering di ponselnya dan menaruh di bawah bantal.
Persetan dengan balasan selanjutnya, makinya.
Untung saja Clara tidak menunggu, jika tadi ia masih bertahan selama sepuluh menit saja, bisa dipastikan Clara akan telat ke kantor karena galau semalaman.
00.15 | Voldemort: Emangnya kalau aku deketin, kamu mau? :D
Hari ini tiba juga, di mana Clara dan teman sekantornya pergi sejenak dari pekerjaan yang membuat mereka jengah dan jenuh dan tentunya, hindari. Kalau bisa, mereka mau tiduran seharian dan tetap digaji namun dunia belum seindah itu. Clara memperhatikan interaksi Rendy dan Friska, Friska yang membawa satu koper sedang dan dua tote bag agak sedikit kewalahan dan Rendy dengan sigak mengambil semuanya, lalu tangan kanan laki-laki itu mengelus pucuk kepala Friska, dan semua interaksi itu tidak luput dari penglihatannya. Hal itu membuatnya tersenyum miris. Dulu, kala keduanya masih berstatus pasangan, Rendy yang awalnya gencar sekali mendekatinya dan ketika sudah berpacaran beberapa bulan, perlahan perhatian Rendy mulai menurun. Meski hubungan mereka berjalan selama satu tahun lebih, tidak membuat Rendy berubah atau berusaha memperbaiki hubungan keduanya. Lihatlah satu pasangan ini, sudah hampir satu tahun pacaran—sama sepertinya dulu, tapi Rendy masih mesra dan benar-benar peduli
Sepanjang perjalanan semenjak terakhir kali Clara dan Joy saling membalas pesan sampai mereka semua tiba di Villa milik keluarga Rio yang berada di kawasan lembang, Clara merasaover hyped. Seperti disuntik sesuatu yang hebat sampai rasanya ia tidak bisa berhenti untuk tersenyum dan sesekali, membuka pesan terakhir dari Joy yang ia baca berulang-ulang. 22.45 | Voldemort: Aku tunggu kamu pulang and let's talk about us Gadis itu menaruh ransel di atas nakas di samping ranjang, Clara selalu memilih sisi kiri ranjang karena ia selalu tidur disisi itu. Merebahkan badannya pada ranjang yang super empuk ini membuatnya memejamkan mata sejenak. "Eh, Ra, mandi dulu gih! Nggak lengket apa lo?" Tegur Yudith yang satu kamar dengannya. Clara menggeleng lemah tapi masih terukir senyum dibibir yang mungil tapi penuh itu. "Eh, Dith." Yudith yang sedang membuka blazzer dan menyampirkan di kursi rias pun m
"Kalian nanti dijemput sama siapa?"Hari ini, hari terakhir merekastaycation yang memang nggak melakukan hal yang signifikan juga selain makan untuk sahur—bagi yang bangun dan sempat, dan berbuka. Pagi sampai hampir buka yang mereka lakukan hanya tidur-tiduran, ngobrol jika tidak mengantuk sambil sesekali mabar—alias main bareng yang kemarin Clara lakukan dengan beberapa temannya.Semua tas dan koper sudah dikumpulkan di ruang tengah, tinggal beberapa orang saja yang masih mandi dan merapihkan kamar yang dipakai."Gue dijemput sama bebeb dong." Jawab Caca pada pertanyaan Rio.Rio mengangguk lalu perhatiannya beralih ke Clara. "Lo dijemput sama siapa, Ra?""Hm, kayaknya gue bakal naik taksi online aja, Kak."Mana tega ia meminta Ayahnya untuk menjemput ke kantor di hari minggu siang yang pastinya panas dan mungkin selalu macet."Gue anter ya."Clara tertawa menanggapi tawaran Rio. "Nggak us
"Ra." Tegur pria yang kini mengejar perempuan yang tanpa ia sadari, sudah ia lukai dengan sikap 'selengean'nya itu. Niatnya bercanda tapi ia mungkin belum menyadari bahwa gadis ini memiliki hati yang setipis kertas. Kena air sedikit, bisa-bisa hancur tak bersisa.Clara masih mendorong troli itu tanpa arah. Yang jelas ia harus pergi sejenak untuk menetralkan perasaanya.Clara akui, ia memang tipe orang yang terlalu serius dan sulit beradaptasi karena pikiran kuno, kaku dan serius juga sensitif, itulah mengapa ia sulit sekali membuka hati dan berakhir dengan suatu hubungan dengan lawan jenis. Rendy saja sulit setengah mati meyakinkan Clara, ya walau pada akhirnya lelaki itu tetap mengecewakannya.Matanya yang tadi memanas sudah mulai kembali normal, degup jantungnya masih kebas sedikit dan pikirannya mulai kembali fokus."Clara."Enggan sekali tapi setelah berhasil meyakinkan dirinya kuat, ia pun menoleh. "Udahkan belanjanya?"Joy menatap waja
"Kamu masih bercanda ya rupanya.""Bagian mana yang mengindikasikan kalau aku bercanda?"Kali ini Clara dapat melihat kilatan marah pada tatapan pria itu. "Jujur, aku meragukan kamu dari awal hingga saat ini.""Kamu aja belum mencoba kenapa malah meragukan aku?""Sekian tahun, kenapa harus sekarang? Dua minggu kurang, bahkan satu minggu kita baru deket kilat danapa tadi?Jokes 'teman hidup' dan 'istri' udah melayang."Joy mendengus kasar. "Jadi menurut kamu orang pdkt yang normal berapa lama? Satu bulan? Satu tahun?"Clara tergagu. Benar juga, masa pendekatan antara sepasang sejoli tidak bisa diukur dari lamanya masa tersebut atau sudah berapa lama saling mengenal. Bahkan ada orang yang sudah cinta mati pada pandangan pertama di pertemuan pertama."Clara Devina."Perempuan itu mendongak ketika pria disampingnya sudah berdiri dan yang membuat matanya membulat ketika pria ini bersimpuh di depannya, mengambil k
"Ra.""Ya?""Kamu pulang jam berapa?""Seperti biasanya kok, jam enam atau tujuh." Clara mengapit ponselnya diantara pundak dan kepalanya, sedangkan tangannya dengan cepat mengetik dokumen yang sudah diminta oleh atasannya."Kamu lagi sibuk ya?""Lumayan."Joy terdiam sejenak sebelum berkata. "Semangat ya, pacarku sayang."Clara menghentikan kegiatannya dan menggeram. "Joyyyy.""Hahaha. Iya, iya.Bye.""Bye."Sudah dua hari setelah hubungan mereka resmi menjadi sepasang kekasih, keduanya sama sekali belum bertemu tapi kekasihnya itu tidak pernah absen menghubungi Clara. Seperti minum obat, tiga kali sehari plus video call ketika keduanya sudah selesai dengan rutinitas malam sebelum tidur.Pak Irwan—Manager Operation—tadi memanggil dan meminta tolong Clara untuk dibuatkan rekapan hasil penggunaan jasapaid promote berharga fantastis dariinfl
Begitu selesai membersihkan badan, ketika keluar kamar mandi arah pandangnya menyapu ke nakas yang berada di sebelah kiri kasurnya. Tepatnya, kotak kecil yang ada di samping nakas itu hampir tidak terlihat kalau tidak benar-benar dia perhatikan.Perlahan Clara mendekat dan mengambil kotak itu.Mungkin ketika beberapa minggu yang lalu ketika dirinya sedang pada mode 'Clara yang galau dan lebay' menangisi perihal perasaannya yang tak berbalas oleh lelaki yang dia cintai, membuatnya lupa akan kotak itu. Pasalnya setelah memangis, dia melempar asal karena saat itu pikiran untuk membuang kotak dan isinya sudah hampir terlaksana tapi apa daya, Clara yang sentimentil tidak akan semudah itu membuang barang berharganya.Deringan pada ponselnya membuat Clara dengan cepat menggeser gambar telepon ke kanan—tanda mengangkat panggilan tersebut."Hi."Clara tersenyum. "Hi."Hening sejenak. Clara bisa merasakan degup jantungnya perlahan semakin mening
“Maaf.”Clara yang semenjak masuk ke dalam mobil kekasihnya hanya terdiam. Bahkan beberapa kali pria itu berusaha mengajaknya bicara yang berakhir dengan dengan keheningan karena sepertinya tidak ada usaha gadis itu untuk melanjutkan percakapan.“Maaf kenapa?”Clara memalingkan muka ketika Joy melihatnya sekilas, karena Joy masih mengemudi.