Ardhito Pramono - First Love (Cover) playing~
Malam ini Clara ditemani oleh Ardhito Pramono yang meng-cover lagunya Nikka Costa dengan judul First Love yang sengaja ia putar non-stop. Kalau kata Ica—sahabatnya, lagu ini adalah lagu kebangsaannya Clara karena sangat dia banget deh.
Dengan tatapan lurus ke langit-langit kamarnya yang dipenuhi bintang, tangan kanan berada di atas dadanya—tepat diatas jantungnya yang berdetak tak karuan, dan tangan kiri yang sedari tadi sibuk menghapus airmata yang tidak deras, namun tak berhenti-henti juga turun dari sudut matanya.
Hanya ada satu akar kata dari banyak kata yang ingin ia ungkapan namun terlalu kelu untuk disuarakan.
Kenapa.
Kenapa baru sekarang?
Kenapa ia belum bisa move on?
Kenapa ia masih terjebak di masa lalu yang kelabu?
Kenapa lelaki yang namanya terlarang ia sebutkan itu. . . datang semena-menanya disaat semuanya sudah mulai terhapus oleh waktu?
Kenapa sepertinya tidak adil? Disaat ia berusaha mati-matian melupakan cinta monyetnya dulu berbelas-belas tahun lamanya lalu dengan mudahnya pula dengan satu kali pertemuan, semuanya menjadi kabur. Abu-abu. Buram.
Tell me, teddy bear
Why love is so unfairWill he ever find a wayAnd answer to my prayers?It's my first loveWhat I dreaming ofWhen I go to bedWhen I lay my head upon my pillowDon't know what to doDan pada akhirnya malam itu, Clara tertidur dengan ribuan pertanyaan lainnya. Benar kata, Nikka Costa. Why love is so unfair.
***
Fix. Clara harus memakai kacamata hitam untuk ke kantor jika setiap hari waktu tidurnya berantakan seperti ini. Berkat kegalauannya semalaman suntuk yang ternyata ia tertidur ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi dan terbangun saat adzah subuh. Sudah lupa untuk sahur, ia hampir telat pula karena ada kendala saat di stasiun—segala ada perbaikan jalan. Ugh.
Walau sampai kantor dengan waktu yang sangaaat pas sekali, 08.57. Jeda 3 menit tidak membuat ia terlihat 'tidak terlambat', untungnya atasannya tidak terlihat sama sekali. Jika bertemu, matilah dia harus merangkai kebohongan lainnya yang ia yakini, tidak akan bisa mengecoh atasannya—tidak akan semudah yang pertama kali.
"Clara." Panggil kak Rio, Senior Editor di kantornya yang terbilang cukup dekat dengannya. Satu frekuensi keanehan dan kegilaan kalau kata Yudith.
"Hadir."
Kak Rio tertawa. Seniornya tersebut bersender disebelah kubikelnya bersedekap dengan kedua tangan di depan dada. "Gue sama anak-anak ada rencana mau liburan ke Bandung pas weekend. Lo mau ikut?"
"Tim elo?" Bukannya Clara tidak mau, hanya saja tidak semua anggota Tim dari seniornya tersebut dekat dengannya. Clara takut akan canggung.
Kak Rio mengangguk. "Iya. Yang ikut itu gue, Friska, Rendy, Prili, Caca sama Ido. Oh ya Yudith juga."
Clara termenung sejenak. Ada Rendy. Ia meringis.
"Udah gausah sok mikir gitu deh. Udah mantan juga."
"Ya mantan-mantan, pacarnya dia juga ada di tim elo, Kak." Omelnya. Hih, memikirkannya saja sudah membuatnya kesal dan malas.
"Yaudah, apa gue cancel mereka aja?"
Solusi yang baik tapi ia malas juga jika akan menjadi bahan omongan teman sekantornya. Pada akhirnya ia setuju untuk ikut.
"Rencananya berangkat kapan?"
"Kalau puasa ini lagi nggak banyak kerjaan atau hectic banget, minggu depan kita langsung berangkat dari kantor," Kak Rio mengambil ponsel dari saku lalu melanjutkan. "Kalau nggak bisa ya, sehabis lebaran."
Clara manggut-manggut.
"Tuh udah gue kirimin itinerary-nya. Kalau jumat berangkatnya, jangan lupa bawa langsung bawaan lo ya."
Walau masalah yang menimpanya saat ini bukan terbilang berat dan sulit tapi pada kenyataannya, bagi Clara memang seberat dan sesulit itu. Perlu waktu untuk melarikan diri sejenak dari mimpi indah sekaligus buruk ini, pikirnya. Makanya ia setuju walau sempat ragu. Rendy, mantan pacar yang memutuskannya hanya karena bosan lalu beberapa minggu kemudian lelaki hidung belang itu berpacaran dengan Friska, Editor baru.
Sejak saat itu, ia malas berurusan dengan Rendy maupun Friska—ya, walaupun ia tahu bahwa Friska tidak tahu menahu tentang hubungan mereka sebelumnya tapi tetap saja. Sakitnya bos!
***
Jam baru menunjukkan pukul setengah lima sore tapi langit yang sudah berubah menjadi warna jingga. Pada dering kelima, lelaki itu akhirnya mengangkat sambungan telponnya.
"Halo."
Clara berdeham. "Hm... Joy, sorry ya gue nggak bisa ketemu hari ini."
"Loh? Kenapa, Ra?"
Sebelum sempat Clara menjawab, Joy kembali bersuara. "Sebentar."
Dari tempatnya, Clara bisa mendengar suara pintu yang terbuka lalu tertutup kembali. "Oh, udah nih, Ra. Kenapa kamu nggak bisa? Lembur?"
"Ya nggak sih."
"Terus?"
"Ya pokoknya aku nggak bisa aja."
"Ya nggak bisanya kenapa, Clara?"
Clara mendengus. "Memangnya harus ada alasan? Pokoknya aku nggak bisa, Joy. Sorry."
Joy terdiam sesaat. "Yaudah nggak apa-apa. Kalau besok bisa?"
"Ra?" Panggil lelaki itu.
"Akan aku kabari lagi. Again, sorry."
Click.
Yap, begini lebih baik. Clara tahu, ini hidup yang nyata bukan berdasarkan dongeng atau cerita fiksi yang ia baca. Tidak ingin memupuk harapannya melambung tinggi hanya karena baru satu kali bertemu, beberapa kali dihubungi dan diajak pergi bersama ke acara reuni itu.
Cukup kemarin dan nanti, ketika mereka pergi bersama untuk ke acara tersebut. Ya, hatinya sudah bulat. Sayang, belum bulat sempurna tekadnya, sialnya, Joy kembali menghubunginya yang terpaksa ia abaikan.
Sampai lima kali ia abaikan, baru ada notifikasi chat dari lelaki itu.
Voldermort: Is there something wrong?
Voldermort: Ra?
Voldermort: Ra?
Voldermort: Well, nggak apa-apa kalau kamu nggak bisa temenin aku hari ini. Tapi aku tetap jemput kamu ya. I'll be there at 6 sharp!
Dengan itu, Clara menghantamkan pelan keningnya ke meja kerja. Sh*t!
***
Mobil mewah itu terparkir di depan gedungnya. Tadinya Clara berniat untuk izin pulang lebih awal, namun apa daya ketika atasannya yang dari Negeri Jiran itu ingin mengadakan meeting dadakan. Sebentar katanya tapi malah berakhir sampai jam tujuh kurang. Dengan setelat itu, ia berharap Joy sudah pergi dari kantornya atau bahkan lupa tapi semesta tidak berada dipihaknya.
"Hei."
Clara mengangguk kaku. "Kok jadi kesini?"
"Jadi dong. Kan udah janji."
"Aku telat tapi kok masih disini?" Clara sengaja memberi jarak walau kenyataannya Joy mengikis jarak itu.
"Ya takutnya kamu belum pulang, nanti sulit cari kendaraan untuk pulang."
Am I dreaming or what?
Rasanya ia ingin melempar tas Gucci-nya ke kepala Joy. Lelaki itu amnesia apa bagaimana? Selama ini Clara selalu bisa sampai rumah dengan selamat sebelum bertemu lagi dengan Joy. Lantas, hanya karena baru satu kali bertemu, apa tiba-tiba Clara akan kesulitan untuk mencari jalan pulang?
Ketika hampir sampai daerah rumahnya, seperti dugaan sebelumnya, Joy berhenti disebuah tenda pecel lele yang tak jauh dari rumahnya.
"Kok berhenti?"
Joy nyengir sambil memegang perutnya. "Tadi sambil nungguin kamu, aku belum makan. Jadi laper. Temenin sebentar ya."
Clara melirik sekilas wajah lelaki itu. Tatapannya jatuh pada bibir Joy yang sedikit kering, mungkin akibat kurang minum. Perempuan itu jadi tak tega, akhirnya ia hanya bisa menghela napas. "Yaudah."
Sial. Gagal sudah rencananya untuk menghindari Joy hari ini.
Menghubunginya hampir rutin selama dua hari terakhir. Bertemu juga sudah dua kali. Makan malam juga yang kata lelaki itu sebagai ajang reuni tapi hanya untuk mereka berdua dan untuk pertama kalinya, Clara merasa ada sesuatu yang berbeda. Bukan. Bukan tentang perasaannya tapi mengenai tindak tanduk Joy.Belasan tahun lamanya Clara hanya bisa melihat Joy dari kejauhan dan dekat lewat sosial media yang bisa ia lihat hampir setiap hari—dulu ya, ketika ia masih dibangku SMA namun seiring berjalannya waktu, penuh dengan kesibukan kuliah dan sekarang saat ia sudah bekerja, kelakuannya yang kekanak-kanakan tersebut pun perlahan menghilang."Kenapa ngeliatin aku? Ganteng ya?"Tersadar, Clara cepat-cepat menggeleng lalu mengambil gelas berisi es jeruk dan segera menenggaknya sampai tandas. Lu nggak ada manis-manisnya banget ya, Ra,sungutnya dalam hati."Geer banget."Joy tersenyum mengejek. "Ah masa sih? Bukannya dari dulu kamu suka sama
Hari ini tiba juga, di mana Clara dan teman sekantornya pergi sejenak dari pekerjaan yang membuat mereka jengah dan jenuh dan tentunya, hindari. Kalau bisa, mereka mau tiduran seharian dan tetap digaji namun dunia belum seindah itu. Clara memperhatikan interaksi Rendy dan Friska, Friska yang membawa satu koper sedang dan dua tote bag agak sedikit kewalahan dan Rendy dengan sigak mengambil semuanya, lalu tangan kanan laki-laki itu mengelus pucuk kepala Friska, dan semua interaksi itu tidak luput dari penglihatannya. Hal itu membuatnya tersenyum miris. Dulu, kala keduanya masih berstatus pasangan, Rendy yang awalnya gencar sekali mendekatinya dan ketika sudah berpacaran beberapa bulan, perlahan perhatian Rendy mulai menurun. Meski hubungan mereka berjalan selama satu tahun lebih, tidak membuat Rendy berubah atau berusaha memperbaiki hubungan keduanya. Lihatlah satu pasangan ini, sudah hampir satu tahun pacaran—sama sepertinya dulu, tapi Rendy masih mesra dan benar-benar peduli
Sepanjang perjalanan semenjak terakhir kali Clara dan Joy saling membalas pesan sampai mereka semua tiba di Villa milik keluarga Rio yang berada di kawasan lembang, Clara merasaover hyped. Seperti disuntik sesuatu yang hebat sampai rasanya ia tidak bisa berhenti untuk tersenyum dan sesekali, membuka pesan terakhir dari Joy yang ia baca berulang-ulang. 22.45 | Voldemort: Aku tunggu kamu pulang and let's talk about us Gadis itu menaruh ransel di atas nakas di samping ranjang, Clara selalu memilih sisi kiri ranjang karena ia selalu tidur disisi itu. Merebahkan badannya pada ranjang yang super empuk ini membuatnya memejamkan mata sejenak. "Eh, Ra, mandi dulu gih! Nggak lengket apa lo?" Tegur Yudith yang satu kamar dengannya. Clara menggeleng lemah tapi masih terukir senyum dibibir yang mungil tapi penuh itu. "Eh, Dith." Yudith yang sedang membuka blazzer dan menyampirkan di kursi rias pun m
"Kalian nanti dijemput sama siapa?"Hari ini, hari terakhir merekastaycation yang memang nggak melakukan hal yang signifikan juga selain makan untuk sahur—bagi yang bangun dan sempat, dan berbuka. Pagi sampai hampir buka yang mereka lakukan hanya tidur-tiduran, ngobrol jika tidak mengantuk sambil sesekali mabar—alias main bareng yang kemarin Clara lakukan dengan beberapa temannya.Semua tas dan koper sudah dikumpulkan di ruang tengah, tinggal beberapa orang saja yang masih mandi dan merapihkan kamar yang dipakai."Gue dijemput sama bebeb dong." Jawab Caca pada pertanyaan Rio.Rio mengangguk lalu perhatiannya beralih ke Clara. "Lo dijemput sama siapa, Ra?""Hm, kayaknya gue bakal naik taksi online aja, Kak."Mana tega ia meminta Ayahnya untuk menjemput ke kantor di hari minggu siang yang pastinya panas dan mungkin selalu macet."Gue anter ya."Clara tertawa menanggapi tawaran Rio. "Nggak us
"Ra." Tegur pria yang kini mengejar perempuan yang tanpa ia sadari, sudah ia lukai dengan sikap 'selengean'nya itu. Niatnya bercanda tapi ia mungkin belum menyadari bahwa gadis ini memiliki hati yang setipis kertas. Kena air sedikit, bisa-bisa hancur tak bersisa.Clara masih mendorong troli itu tanpa arah. Yang jelas ia harus pergi sejenak untuk menetralkan perasaanya.Clara akui, ia memang tipe orang yang terlalu serius dan sulit beradaptasi karena pikiran kuno, kaku dan serius juga sensitif, itulah mengapa ia sulit sekali membuka hati dan berakhir dengan suatu hubungan dengan lawan jenis. Rendy saja sulit setengah mati meyakinkan Clara, ya walau pada akhirnya lelaki itu tetap mengecewakannya.Matanya yang tadi memanas sudah mulai kembali normal, degup jantungnya masih kebas sedikit dan pikirannya mulai kembali fokus."Clara."Enggan sekali tapi setelah berhasil meyakinkan dirinya kuat, ia pun menoleh. "Udahkan belanjanya?"Joy menatap waja
"Kamu masih bercanda ya rupanya.""Bagian mana yang mengindikasikan kalau aku bercanda?"Kali ini Clara dapat melihat kilatan marah pada tatapan pria itu. "Jujur, aku meragukan kamu dari awal hingga saat ini.""Kamu aja belum mencoba kenapa malah meragukan aku?""Sekian tahun, kenapa harus sekarang? Dua minggu kurang, bahkan satu minggu kita baru deket kilat danapa tadi?Jokes 'teman hidup' dan 'istri' udah melayang."Joy mendengus kasar. "Jadi menurut kamu orang pdkt yang normal berapa lama? Satu bulan? Satu tahun?"Clara tergagu. Benar juga, masa pendekatan antara sepasang sejoli tidak bisa diukur dari lamanya masa tersebut atau sudah berapa lama saling mengenal. Bahkan ada orang yang sudah cinta mati pada pandangan pertama di pertemuan pertama."Clara Devina."Perempuan itu mendongak ketika pria disampingnya sudah berdiri dan yang membuat matanya membulat ketika pria ini bersimpuh di depannya, mengambil k
"Ra.""Ya?""Kamu pulang jam berapa?""Seperti biasanya kok, jam enam atau tujuh." Clara mengapit ponselnya diantara pundak dan kepalanya, sedangkan tangannya dengan cepat mengetik dokumen yang sudah diminta oleh atasannya."Kamu lagi sibuk ya?""Lumayan."Joy terdiam sejenak sebelum berkata. "Semangat ya, pacarku sayang."Clara menghentikan kegiatannya dan menggeram. "Joyyyy.""Hahaha. Iya, iya.Bye.""Bye."Sudah dua hari setelah hubungan mereka resmi menjadi sepasang kekasih, keduanya sama sekali belum bertemu tapi kekasihnya itu tidak pernah absen menghubungi Clara. Seperti minum obat, tiga kali sehari plus video call ketika keduanya sudah selesai dengan rutinitas malam sebelum tidur.Pak Irwan—Manager Operation—tadi memanggil dan meminta tolong Clara untuk dibuatkan rekapan hasil penggunaan jasapaid promote berharga fantastis dariinfl
Begitu selesai membersihkan badan, ketika keluar kamar mandi arah pandangnya menyapu ke nakas yang berada di sebelah kiri kasurnya. Tepatnya, kotak kecil yang ada di samping nakas itu hampir tidak terlihat kalau tidak benar-benar dia perhatikan.Perlahan Clara mendekat dan mengambil kotak itu.Mungkin ketika beberapa minggu yang lalu ketika dirinya sedang pada mode 'Clara yang galau dan lebay' menangisi perihal perasaannya yang tak berbalas oleh lelaki yang dia cintai, membuatnya lupa akan kotak itu. Pasalnya setelah memangis, dia melempar asal karena saat itu pikiran untuk membuang kotak dan isinya sudah hampir terlaksana tapi apa daya, Clara yang sentimentil tidak akan semudah itu membuang barang berharganya.Deringan pada ponselnya membuat Clara dengan cepat menggeser gambar telepon ke kanan—tanda mengangkat panggilan tersebut."Hi."Clara tersenyum. "Hi."Hening sejenak. Clara bisa merasakan degup jantungnya perlahan semakin mening