Share

Chapter 11 - Imprisonment

Mengingat masa itu, membuat Charlotte sangat menyesali atas perbuatannya. Terutama perkataannya yang setajam silet sangat menghantuinya hingga saat ini. Padahal calon suaminya sudah membuktikan rasa cinta yang begitu besar padanya, namun karena keegoisannya, hubungan asmara mereka menjadi hancur berkeping-keping. Kini bola matanya sangat merah dan hidungnya tersumbat akibat menangis terisak. Menatap kondisi emosi Charlotte yang tidak stabil sekarang, secara spontan ketua tim penyidik mengambilkan sebuah kotak tisu untuknya.

“Bersihkan air mata Anda terlebih dahulu,” usul ketua tim pelan, menunjukkan sedikit rasa empatinya.

Charlotte tidak menghiraukannya sama sekali, dengan sigap ia mengambil beberapa lembaran tisu, mulai menyeka bercak air mata pada setiap sisi wajahnya, hingga bedaknya agak luntur. Untung saja ketua tim penyidik merasa sedikit kasihan padanya, maka ia menunggu Charlotte dengan sabar supaya bisa melanjutkan interogasinya lagi.

Beberapa saat kemudian, emosi Charlotte mulai stabil namun ia menghabiskan banyak lembaran tisu sehingga meja interogasi dipenuhi bola tisu, jika dibayangkan sudah seperti tempat sampah. Ketua tim penyidik hanya bisa bernapas pasrah sambil memungut sekumpulan bola tisu dan membuang ke tempat sampah di dekat pintu ruangan. Usai itu, ketua tim penyidik kembali duduk berhadapan, memasang raut wajah seriusnya.

“Bisakah kita lanjutkan interogasinya sekarang? Apakah perasaan Anda jauh membaik sekarang?”

Charlotte mengangguk pelan, akhirnya kepalanya terasa ringan terangkat dengan percaya diri.

“Silakan lanjutkan interogasinya.”

“Jadi setelah saya mendengar cerita Anda barusan, bisa disimpulkan bahwa Anda sempat membencinya karena kesalahpahaman kecil itu. Lalu, Anda sembarangan melontarkannya tanpa berpikir panjang, padahal Anda tidak bermaksud untuk melenyapkannya,” ujar ketua tim panjang lebar mempertegasnya kembali.

“Kesalahpahaman kecil tapi menimbulkan pertengkaran dahsyat.”

“Bisa dibilang begitu.”

“Tapi bukan berarti, Anda menuduh saya sebagai tersangka, kan? Sekarang, apa yang Anda lakukan pada saya setelah mendengar cerita saya secara langsung barusan? Apakah Anda ingin bersujud di hadapan saya dan meminta maaf?” Charlotte berlagak sombong melipat kedua tangannya di depan dada, mengulas senyuman cerdasnya.

“Sesuai dengan perintah sebelumnya, saya akan menahan Anda dulu di sini.”

“Kenapa? Bukankah cerita barusan sudah jelas bahwa bukan saya pelakunya?” Mata Charlotte terbelalak dan menaikkan nada bicaranya satu oktaf.

“Saya akan mengurung Anda selama 48 jam sampai ada pemberitahuan lebih lanjut lagi dari atasan.”

“Beraninya Anda memperlakukan tunangan Pangeran dengan kasar!” elak Charlotte menggebrak mejanya kasar.

Namun ketua tim penyidik tidak memedulikannya sama sekali. Ia memerintahkan dua anak buahnya mengawal Charlotte menuju sel sementara kerajaan dengan paksa.

“Lepaskan saya!” pekik Charlotte berusaha memberontaknya.

“Maaf, Nona Charlotte. Anda tetap harus mengikuti prosedur hukum.”

“Hukum yang menyebalkan! Padahal aku tidak bersalah sama sekali! Lihat saja nanti kebenarannya, saya yakin kalian semua pasti akan takut dengan saya setelah mengetahui kebenaran sesungguhnya,” celoteh Charlotte panjang lebar secara lantang sambil diseret paksa hingga rambutnya berantakan.

Di dalam sel, Charlotte hanya bisa duduk termenung, bersandar lemas pada tembok sambil berdoa semoga saja ada seseorang yang mendatanginya sekarang.

Di sisi lain, seorang pemuda tampan yang merupakan orang paling dipercayai Raja Arthur, mendatanginya lalu menundukkan kepalanya hormat.

“Yang Mulia Raja, ada sesuatu penting yang harus Anda ketahui.”

“Ada apa sebenarnya?”

“Nona Charlotte tiba-tiba dituduh sebagai dalang dibalik kecelakaan pesawat yang menimpa Pangeran.”

“Apa?”

Mendengar lontaran dari pemuda itu, Ratu Evelyn tidak sengaja mendengarnya saat baru memasuki ruang tahta kerajaan, sehingga tubuhnya sedikit lemas sekarang. Melihat reaksi sang Ratu, Raja Arthur dengan sigap menghampirinya dan menuntunnya menduduki sebuah kursi.

“Ratuku, apakah kau baik-baik saja?” tanya Raja Arthur sangat cemas.

“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Nona Charlotte menjadi tersangka padahal sikapnya selama ini baik hati? Lalu apa maksud dari dalang dibalik kecelakaan pesawat? Jadinya, kecelakaan tersebut bukan kecelakaan murni?” Ratu Evelyn kebingungan dengan situasi rumit sekarang hingga melontarkan banyak pertanyaan.

“Hamba juga belum tahu pasti dengan masalah saat ini, Yang Mulia Ratu. Yang pasti hamba mendengarnya langsung dari pihak Badan Intelijen Nasional.”

“Lalu, sekarang Nona Charlotte ada di mana?” tanya Raja Arthur.

“Nona Charlotte sedang dikurung di sel sementara kerajaan selama 48 jam oleh pihak Badan Intelijen Nasional, penjagaannya sangat ketat di sana.”

“Kasihan sekali calon wanita kerajaan. Belakangan ini dia sudah diuji banyak masalah berat, ditambah sekarang terkena tuduhan palsu. Nona Charlotte tidak mungkin mencelakakan calon suaminya sendiri,” tutur Ratu Evelyn masih tidak memercayainya, menunjukkan wajah belas kasihan.

“Aku setuju denganmu, Ratuku. Sejak dulu, hanya Nona Charlotte yang paling kita percayai selama ini. Bahkan kepercayaan terhadapnya lebih besar daripada Perdana Menteri Agnes,” tambah Raja Arthur.

“Jadinya, apa yang harus kita lakukan sekarang, Yang Mulia Raja?”

“Kita tidak mungkin mengunjunginya langsung. Adanya nanti kita dikira bekerjasama dengan pelaku, kita harus mencari cara lain.”

Kembali lagi pada Charlotte yang masih duduk sendirian di sel sementara, tanpa adanya pelayanan terbaik dari anggota Badan Intelijen Nasional. Seluruh area ini dijaga ketat banyak pengawal, sehingga tidak mungkin Charlotte berpikir bisa melepaskan dirinya dari sini.

Tak lama kemudian, sosok Violet menampakkan dirinya di sini dengan panik. Senyuman tipis mulai terukir pada wajah Charlotte, karena di saat seperti ini masih ada orang rela mengunjunginya. Rasanya ingin menyambut sahabatnya dengan hangat, namun terhalang jeruji besi.

“Charlotte,” sapa Violet.

“Violet, aku tidak menyangka kau akan mengunjungiku. Tapi bagaimana caranya kau masuk ke sini? Bukankah tidak boleh sembarang orang memasuki area ini?”

“Apakah kau lupa? Aku ini pandai dalam merayu, tentu saja aku menjual harga diriku demi mendatangi sahabatku.”

“Ngomong-ngomong, kenapa kau mendatangiku tiba-tiba?”

“Aku takut terjadi sesuatu buruk padamu. Apalagi kau dituduh dengan kejam saat suasana hatimu sedang buruk.”

“Tenang saja, Violet. Aku pasti bisa menghadapinya, aku beranggapan bahwa saat ini aku sedang diberi ujian hidup oleh Tuhan,” lontar Charlotte masih bisa terlihat santai.

“Tapi aku percaya bahwa kau tidak mungkin melakukannya pada Gabriel. Sikapmu itu yang penyabar sangat mustahil memiliki pemikiran kejam.”

“Violet…”

“Percayakan semuanya padaku, Charlotte. Aku yakin sekali sebentar lagi kau akan dibebaskan atau paling lama harus menunggu selama 48 jam.

“Tapi kalau seandainya aku sampai tidak bisa bebas, gimana?”

“Pokoknya nanti aku akan sediakan cookies yang banyak untukmu supaya pikiranmu bisa kembali tenang dengan menikmati makanan manis.”

“Ah, kau bisa saja berkata begitu!” Charlotte tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya.

“Yang pasti aku akan mencari cara untuk membuktikan bahwa kau tidak bersalah sama sekali! Aku sangat tidak tega melihat temanku selalu mengalami kehancuran.”

“Aku senang dan bersyukur memiliki sahabat setia sepertimu, Violet,” tutur Charlotte dengan pandangan berbinar, rasanya ingin meraih kepala Violet mengelus pelan.

Charlotte yang dikurung di sel sementara, sedangkan air mata terus berlinang pada kelopak mata Violet, seolah-olah seperti ia yang diperlakukan buruk. Melihat tingkah temannya saat ini, Charlotte merasa kasihan padanya karena dirinya yang menyebabkan temannya selalu turut bersedih karena kesedihan yang dialaminya.

“Sudahlah jangan menangis lagi, Violet. Menangis tidak akan pernah mengubah situasi,” bujuk Charlotte lesuh.

“Tapi aku tidak tega melihatmu hancur terus. Sedangkan aku sebagai sahabatmu tidak bisa melakukan banyak hal!” Violet merutukki dirinya sendiri sambil menggarukkan kepalanya kesal.

“Violet, walaupun kau tidak banyak membantuku, tapi bukan berarti kau menyalahkan dirimu sendiri. Selama ini kau selalu menghiburku di saat aku sedang mengalami masalah, aku sangat berterima kasih padamu,” ujar Charlotte menasehatinya lembut.

“Benarkah?”

“Sekarang aku tidak memintamu hal yang sulit. Aku cukup memintamu untuk mendoakanku supaya bisa bebas dari tempat ini, dengan syarat doamu tulus.”

“Aish, sudah pasti aku mendoakanmu! Bahkan sejak kau diseret paksa ke sini, aku terus berdoa keselamatanmu dan tidak terjadi masalah yang lebih rumit lagi.” Tangisannya terhenti, Violet menyeka air matanya menggunakan sapu tangan.

“Kalau begitu, sebaiknya kau pergi dari sini saja. Nanti kau bisa dicurigai bersekongkol denganku kalau mengunjungiku terlalu lama,” usul Charlotte.

“Tapi—”

“Sudahlah, sebaiknya kau menuruti perintahku saja.”

Violet bernapas pasrah, akhirnya memutuskan untuk menuruti keinginan sahabatnya saja sambil memutar bola matanya bermalasan.

“Baiklah, kalau begitu aku akan pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik, Charlotte.”

Ketika Violet melangkah keluar dari area ini, Charlotte kembali merenungkan dirinya sendiri sambil mengamati cincin lamaran yang terpasang pada jari manisnya. Sepanjang hari, Charlotte hanya diberi makanan sedikit, sehingga membuat tubuhnya sedikit lemas.

Malam hari telah tiba, bahkan ia tidak bisa tertidur karena sel sementara tidak menyediakan kasur empuk untuknya tidur dengan nyaman. Terpaksa ia tidur dalam posisi duduk bersandar pada tembok.

“Ada penyusup! Cepat tangkap dia!” pekik salah satu petugas berjaga di sini tiba-tiba di tengah keheningan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status