Share

8. Anak Raga

“Pokoknya lo harus jelaskan ke gue!“ Melisa langsung menekan Yura saat wanita ini baru membanting tubuhnya di sofa.

Belum juga Yura dapat menghelakan napas lega, udah begini aja sih Melisa, biarkan dulu kek dia istirahat sejenak. “Apaan sih lo, Mel? Lo itu posesif udah kayak pacar.“ Lha, Yura rada-rada, masa pacaran dengan Melisa, ntar nggak ada lawan mainnya pula.

“Yura, lo harus jelaskan sama gua, gimana ceritanya Raga ke sini temui lo, dan parahnya lo mau pergi sama dia.“ Melisa dari tadi masih enggak habis pikir dengan Yura yang mau aja pergi sama Raga, bukannya dia benci sama tuh orang. Lha, kok bisa sekarang mereka sama-sama, ini sih judulnya masa lalu belum kelar, eh, tapi kan Raga udah ada istri.

“Astaga, lo kepo banget sih, bentar dulu kek, gua capek nih.“ Masa dia harus bilang cerita udah nikah sama Raga, padahal kan dia amit-amit tuh dekat sama Raga lagi. Lha, sekarang kayak menunggu duda laki-laki itu.

“Lo cerita buruan, lo jangan permainkan pak Dafa, dia masih ngarep lo.“ Melisa kan paling mendukung Yura bersama Dafa, dia nggak kasih ruang sahabatnya dekat dengan pria lain selain Dafa itu.

“Apaan sih lo, gua sama pak Dafa itu nggak ada hubungan apa-apa, jangan salah paham lo.“ Yura kesal dari dulu Melisa selalu saja berusaha membuatnya dekat dengan Dafa, mereka kan cuma temanan, lagian dia udah pernah menolak lamaran Dafa.

“Ra, Dafa itu suka sama lo udah lama, masa lo nggak mau kasih kesempatan buat dia, buka hati lo lah.“ Lha, dia kira buka hati kayak buka warung, apa-apa tinggal beli, kadang bisa hutang lagi, sayangnya ini bukan warung melainkan hati, menggoreskan sebentar, sembuhnya lama.

“Mel, ini masalah hati, nggak bisa lo paksa.“ Apalagi dia udah nikah, enggak akan ada peluang buat siapa pun, memaafkan Raga aja masih sulit, butuh waktu dia menata semua yang pernah terjadi.

“Lo mau selamanya jomblo, nikah kek,” celetuk Melisa. Ya, Melisa kan hanya mau lihat sahabatnya bahagia, minimal wanita ini bisa membuka hati, dan nggak salah pilih lagi.

“Kenapa nggak lo aja sama Dafa, lo kan juga nggak punya pasangan.“ Yura mulai kesal, dia kan nggak suka dijodoh-jodohkan, kesannya dia nggak laku banget, Yura ini cantik lho, cantik banget malah, cuma belum bisa buka hati aja.

“Beda ceritanya, Ra. Kan gua janda, dan lo itu belum nikah sama sekali. Pak Dafa suka sama lo, bukan gua juga kali.“ Sekarang malah bahas Dafa, kan tadi bahasnya Raga, memang pintar nih Yura mengalihkan topik, kebiasaan ah.

“Sekarang lo jelaskan sama gua soal Raga.“ Melisa sekarang malah menyilangan tangannya di dada, seakan mengintimidasi Yura.

Yura mendelik sembari membuang napas kasar.

“Gua dan Raga i—-itu….“ Bagaimana cara menjelaskan ya, sudah pasti sih Melisa nggak percaya deh sama dia, lagi pula Melisa kan benci banget sama Raga.

“Itu apa, Ra? Lo bukan pelakor kan, ingat Raga itu suami orang,” ucap Melisa menasihatinya, dia takut Yura malah salah jalan, jangan-jangan Yura cinta mati sama Raga. Enggak … enggak, itu nggak boleh terjadi.

“Gila lo!“ umpat Yura, dia menyentil dahi Melisa, kebanyakan menonton drama nih Melisa, siapa juga yang mau jadi pelakor, masih ada harga diri kali Yura, mending nggak laku daripada jadi pelakor. “Dari segi mana otak lo itu mikir gua pelakor.“ Lagi adem, Melisa malah menginjak ekornya.

“Lagian lo ngapain jalan sama laki orang sih? Penjahat kelamin lagi dia,” cibir Melisa, sepertinya Melisa kagak ada habisnya menyudutkan Raga, kasian Raga bisa tersedak tuh.

“Sembarangan lo ah, Raga udah cerai sama perempuan laknut itu.“ Dulu sahabatnya, dan sekarang menjadi perempuan laknutnya, setiap mengingat hal itu membuat darah Yura mendidih.

“Lo serius?“ Melisa semakin mendelik curiga kepada Yura, fix Yura masih ngarep sama Raga, apalagi sih bejat itu udah duda. “Jangan bilang lo mau balik lagi sama Raga.“ Yura tertegun, buruknya itu sudah terjadi.

“Udah ah, gua mau ke gudang, mau minta laporan barang gudang. Gua di sini kerja, bukan ghibah.“ Kabur ah, daripada banyak pertanyaan lagi, semakin bingung pula nanti dia jawabnya.

***

Yura baru saja tiba di rumahnya. Ia melihat buket bunga terpampang di meja ruang tamu. Ah, yakin sih bunga indah ini dari Raga, tapi tenang Yura tak bisa dibayar dengan bunga cantik ini. Wanita ini malah kembali keluar dan membuangnya, dia enggak boleh lemah begini.

"Tante, ngapain buang-buang? Itu kan bunga papi yang beli." Yura terjenggit melihat bocah ini ada di depannya. Entah datang dari mana anak kecil ini mendadak ada di rumahnya.

"Kamu siapa? Orang tua kamu di mana? Kok bisa masuk?" satu-satu kali Yura tanyanya, ini anak kan bocah, masa harus jawab semuanya. Tian pun menatap Yura tak suka, seakan ia musuhnya.

"Tante itu siapa? Pasti Tante pengasuh baru aku kan." Yura melebarkan mulut mendengarkan kata-kata bocah ingusan ini. Astaga, entah siapa orang tuanya sampai bisa memiliki anak sepertinya.

"Eh, kamu itu siapa? Ngapain ada di sini? Pergi sana!" Yura kesal banget, kalau bukan anak kecil sudah dia seret keluar. Apa-apaan main masuk rumah orang sembarangan, ini kan rumah suaminya, terus penjaga rumahnya nggak perhatikan apa, ada bocah tengil masuk ke rumah suaminya.

"Tante ini gila ya! Ini kan rumah papi. Aku aduin papi, biar tante dipecat." Tian malah mencecar Yura. Anak dari Raga ini mengira Yura pengasuhnya. Ya kali pengasuh secantik inu.

"Papi?" dahi Yura mengernyit bingung.

"Ada apa ini?" Raga mendengar keributan dari dalam rumah, dia langsung melihat istri dan anaknya berdebat ini.

"Papi, pecat pengasuh ini. Tian gak suka sama Tante ini." Yura menghempaskan napas panjang. Ah, dia sampai lupa, jika suaminya punya anak. Persis banget tingkahnya tengil, kayak bapake, nggak jauh banget dari Raga menyebalkannya.

"Tian, Tante ini bukan pengasuh kamu. Kan Papi baru mau cari pengasuh baru, lagian kamu kan nggak tiap hari di rumah Papi.“ Muka Raga berubah jadi tak nyaman, takutnya Yura tambah ilfil dengannya, bisa gagal dia memikat wanita ini, apalagi kalau Yura berhasil membayarnya, habis riwayat pernikahan dia, bisa duda dua kali nih.

"Terus Tante ini siapa? Kenapa ada di rumah Papi?" Tian pakai acara tanya tentang Yura lagi. Anak sekecil Tian kan kepo banget, apalagi urusan orang tuanya.

"Jadi dia anak kamu? Kenapa nggak bilang ada anak kamu?" Yura kan mengira bocah ini anak tetangga, hampir saja dia ingin mencubit anak ini, anak sama bapak kok sama-sama menyebalkan sih, anaknya nakal pula, bisa pusing kepalanya menghadapi Tian. Belum sih Raga, eh tambah lagi anaknya.

"Tian anak Papi yang ganteng, main di dalam dulu gih. Papi mau bicara dengan Tante ini," ucap Raga ke Tian. Dengan sangat hati-hati, dia meminta Raga hendak masuk dalam ke rumahnya, dia tahu betul Tian keras kepala, mana mau tuh melihat dengan wanita lain, selain Alfira. Bocah posesif.

"Cantik dari mana, masih juga cantik mami," ucap Tian lalu pergi.

Astaga, memang anak sih Raga ini bisanya membuat hati Yura panas. Masa dirinya dibandingkan dengan Alfira. Kan itu wanita yang sudah merusak hubungan mereka lagi. Pakai acara disebut-sebut lagi. Sebal ah.

"Ra, maafin Tian ya." Raga mengajak Yura duduk di kursi teras. Dia tahu pasti Yura kaget dengan kedatangan putranya.

"Kamu harusnya bilang sama aku dong, kalau ada anak kamu ke sini. Aku bukannya gak suka sama anak kamu, cuma aku tuh kaget ada anak kecil di rumah. Aku sampai pikir, itu anak tetangga yang nyangkut ke sini," omel Yura. Baru pulang sudah disuguhkan rasa sebal, seperti nano-nano, mau marah salah, baikkan malah bisa ngelunjak.

"Iya maaf. Kamu bisa bantu aku buat cari pengasuh untuk Tian, kemungkinan Tian akan lama tinggal di sini." Yura menghela napas panjang, nggak masalah sih bagi jika dia yang mengurus Tian, tapi masalahnya dia harus kerja, pulang kadang malam, paling cepat juga sore.

"Biar aku yang mengurus dia, nggak perlu pakai pengasuh lagi, tapi, ada tapi-nya lho, aku bawa Tian ke tempat kerja.“ Yura kan udah biasa mengurus anak Aira, keponakkannya.

"Kamu serius?" Raga tak percaya Yura mau merawat Tian, padahal jika dipikir lagi, Tian kan penyebab mereka berpisah, kalau nggak ada Tian, sudah pasti mereka selalu bersama.

"Kapan sih aku bercanda?" lagian Yura nggak benci dengan Tian, meski anak itu penyebab mereka berpisah dulu. Emang sih Tian menjengkel, kurang lebih Raga lah, tapi mau gimana pun Tian tetap anak suaminya, otomatis akan jadi anaknya juga kan.

"Istri yang baik.“

Yura menghempaskan napas kasar, ia pun masuk ke dalam rumah. Yura kan belum siapkan makan malam mereka. Ketika masuk dalam rumah Tian malah mengejutkannya.

"Door!"

"Astaga, Tian. Kamu itu bisa buat Tante jantungan." Memang menyebalkan betul ini anak. Untung anak Raga, kalau bukan dia akan menjewernya.

"Haha. Gitu aja kaget. Emangnya Tante ini siapa? Kok bisa di rumah Papi." Tian kan dari tadi kepo, dia heran kenapa rumah papinya ada wanita. Setahu Tian, Raga kan cuma tinggal sendiri.

"Makanya kenalan dulu sama Tante Yura." Raga ikut nimbrung mereka, jika Tian dan Yura dekat kan, dia juga senang. "Tante ini nama Yura, dia cantik kan, dia is—-"

“Tante ini saudara jauh Papi kamu.“ Yura tahu anak sekecil ini sulit menerima adanya seorang ibu tiri, tentu bayangan tentang ibu tiri jelek.

"Benaran?“ Tian nampak tak percaya, dia menanap orang dewasa ini secara bergiliran, merasa aneh saja, masa sih saudara papinya, kok dia nggak tahu ya.

Raga mengangguk, tanpa Yura menjelaskan dia paham maksud Yura, mungkin belum saatnya, lebih baik menunggu mereka dekat, baru deh memberitahu Tian soal pernikahannya dan Yura.

“Oke, Tian percaya.“ Yura menghela napas lega, syukur ini bocah percaya.

"Tante bisa masak? Kita makan beli di luar aja. Mami selalu beli makanan di luar, mami kan nggak bisa masak." Yura terkekeh mendengar ucapan Tian yang polos.

"Ya udah kamu main dulu, biar Tante siapkan makanannya." Baru Yura berdiri, malah Raga kembali menarik tangan Yura, lalu terduduk di pangkuannya.

"Raga, lepas! Kamu jangan konyol ya!" Raga kan mau mesra-mesraan juga, Yura takut itu bocah mikir macam-macam.

"Kamu sama Tian baik, kok sama suami sendiri gitu amat." Raga iri kali, mau dipegang-pegang juga tangannya.

"Lepas ah! Kamu itu mau aku baik-baikan, jadi bayi kamu sana," cecar Yura menghentakan kakinya berulang kali. Dasar laki-laki menyebalkan, kagak lihat tempat. Untung Tian udah buru-buru ke kamarnya.

"Kasih cium kek, aku kangen tau." Euk. Ah rasanya Yura mau muntah, gombalan yang dari jaman dulu nggak pernah berubah, peningkatannya gitu-gitu aja.

"Gombalan nggak ada peningkatan sama sekali, tapi sayang kali ini aku nggak tergoda." Raga mendengus. Dia harua tahan banting, agar bisa dapatkan hati wanita ini lagi. Tubuhnya doang yang bisa dia miliki, hatinya nggak, perjalanan masih jauh, usaha harus lebih meningkat.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status