Malam ini Revan cs sudah mengumpul di rumah Eshar. Para bujangga pencari cinta itu berencana menginap di rumah Eshar karena si playboy di rumah sendiri, maklum anak tunggal. Orang tuanya sibuk urusan bisnis.
Karena Wisnu yang gila tenar, padahal sudah cukup tenar. Ia membelikan teman-temannya piyama yang didapat dari hasil endors di instagram, sekalian iklan katanya. Untuk pertama kalinya, malam ini Wisnu akan membuat channel youtube dengan konten pertama PESTA PIYAMA dan bintang tamu Revan, Eshar, dan Reyhan. Sebagai anak-anak most wanted mereka sudah terbiasa disorot banyak orang, walau tadi sempat ada perdebatan dengan Revan yang tidak mau gabung, tapi akhirnya dia menurut juga atas iming-iming Wisnu. Jadi konten malam ini tidak ada unsur paksaan. Semua suka rela.
Mereka sudah duduk lesehan di karpet bulu kamar Eshar, menggunakan piyama masing-masing lengkap dengan penutup mata. "Van, lo nggak pake ini?" Tanya Eshar yang memakai penutup mata tapi
Revan hengkang dari rumah Eshar bersama yang lainnya. Ingin cepat-cepat sampai kasurnya sendiri dan rebahan sampai siang, karena semalam tidurnya tidak aturan, disebabkan polah dua cecunguk yang tidak karuan. Tahu begitu, mending ia tidur di kasur yang ditempati Reyhan. Nyaman, tidak ada yang mengganggu, buktinya Reyhan bangun paling akhir, padahal bawah hidungnya sudah diolesi balsem. Memang dasar kebo.Tapi semua angan Revan gagal setelah mendapat kiriman pesan dari Bimo, teman sekelasnya.Karena weekend, kegiatan Vanessa setelah berbenah, hanya rebahan. Kalau sudah bosan kuadrat, paling nongkrong di depan televisi yang isinya dari pagi kartun. Karena mau nonton yang lainpun tidak bisa, tv selalu dalam kuasa Regan yang menonton tokoh kartun kelinci yang hanya bicara bwabwabwabwaa, tapi auranya menghantar Regan sampai gulingan di karpet.Vanessa memilih keluar rumah, sekedar cari angin menggunakan sepeda Regan. Semburat menguning yang muncul dari ufuk tim
Vanessa berjalan sambil bersenandung kecil, membawa kantong plastik putih berisi dua bungkus nasi goreng. Menuruti keinginan Regan yang aneh-aneh, ngidam nasi goreng. Paling ngeri sebenarnya jika melewati tembok bicara. Saat semua ungkapan lisan tidak diindahkan, tindakan para begajulan mencoret-coret tembok sengketa, meluapkan isi pikirannya. Macam bentuk grafiti dan kata misuh-misuh diabadikan dengan pilox berbagai warna. Memperburuk pemandangan. Tak jauh dari tempat itu, bunyi rusuh terdengar di seberang sana. Vanessa mendekat, mendapati sepeda motor yang terparkir awuran. Vanessa makin mendekat saat menemukan motor yang tidak asing. Itu vespa Revan! Di waktu yang bersamaan, ia melihat Revan sedang adu jotos entah dengan siapa. Vanessa menjatuhkan kreseknya lalu menerobos kerumunan. "Stop!!!" "Vanessa!" Tepat setelah itu Vanessa memejamkan mata, seseorang mendekapnya erat dari belakang. "Cabut, woi!" Setelah sese
Biasanya Vanessa akan pulang bersama Revan, tapi kali ini ia harus berjalan kaki menuju rumahnya yang tidak terlalu jauh. Revan benar-benar marah padanya, sampai senyuman Vanessa tidak diindahkan sama sekali. Bahkan, ia terang-terangan melewati Vanessa yang berjalan di pinggir jalan. Semarah itukah? Padahal hanya 1 minggu."Papa benar-benar kecewa sama kamu, Revan. Apa cowok yang pandai berkelahi menurut kamu hebat? Memang hebat, tapi lebih hebat cowok berkelahi pakai otak, bukan otot," suasana ruang tengah rumah Revan sangat tidak bersahabat. Tidak ada yang berani menyela saat ayahnya sedang marah, apalagi beliau tidak pernah marah kecuali ada sesuatu yang sudah keterlaluan."Papa nggak pernah mengajarkan kamu jadi sok jagoan, Papa membebaskan apapun hobi kamu selagi itu positif. Papa nggak mau apa yang Papa alami menimpa kamu.""Papa yang pemberontak baru merasakan akibatnya setelah berkeluarga. Mengorbankan mama kamu untuk ikut banting tulang, men
Untuk orang yang tidak bisa diam, suasana seperti ini sangat Vanessa hindari sebenarnya. Mau memulai obrolanpun rasanya wajah Revan tidak bersahabat sama sekali, dari tadi datar tidak ada ekspresi, sampai-sampai ia tidak berani berpegangan pada jaket Revan dan menjadikan jok pertahanannya."Turun," ucapnya datar setelah sampai di depan pagar rumah Revan. Pertama kalinya Vanessa diajak main ke sini."Iya, tau.""Bukain!" kalau bukan dalam rangka meminta maaf, tidak semudah itu menuruti perintah Revan. Yang Vanessa hentak-hentakkan conversnya berjalan menuju pagar. Membersilahkan si kuda besi antik dan tuannya masuk."Revan pulang!" Vanessa mengikut saja di belakang."Kebiasaan deh, ka
Langit kelabu, sesekali menampakkan kilatan di jauh sana, setelahnya bunyi gelagar akan mengepung pendengaran. Walaupun hujan akan turun, tapi tidak meredam bunyi pantulan bola basket dan decitan sepatu yang dibawa kabur sana-sini di lapangan sekolah, larut bersama sorakan dari para pemain. Bau itu datang lagi, bau yang hadir di beberapa hari terakhir. Karena cuaca penghujan, bau selokan di samping bangku tunggu menguar ke seluruh penjuru.Berjam-jam gadis itu menunggu jemputan, tapi tak kunjung datang, penyebabnya karena ia lupa tak membawa handphone. Converse-nya terus menari-nari, kepalanya terus menoleh ke kanan dan kiri, tapi tetap tak ada tanda-tanda seseorang menghampiri.Benar saja, tak lama hujan turun. Para pemain basket ikut memenuhi bangku tunggu, gadis itu sedikit bergeser, memberi ruang untuk mereka. "Kok belum pulang, Dek?" Tanya salah satu cowok di sampingnya. Astaga, dia yang merupakan salah satu cowok yang masuk list
"Revan pulang!" Suara Revan menggema ke seluruh sudut rumahnya. Ia menengok beberapa ruangan tapi tidak menemukan siapapun."Maaf, mas. Bapak sama ibu lagi keluar." Muncullah Mbak Hesti, orang yang membantu ibu Revan membersihkan rumah."Kemana, Mbak?""Saya nggak tahu, tapi tadi buru-buru." Jawab wanita berambut hitam legam itu.Revan mengangguk."Ya udah, Mas. Saya pulang dulu," pamit Mbak Hesti. Ia memang tidak tidur di rumah orang tua Revan, karena jarak rumahnya yang dekat dan anaknya masih kecil. Ibu Revan juga memberi kebebasan, jika pekerjaannya sudah selesai, ia boleh pulang.Revan berjalan menuju kamarnya, hendak melepas jersey tapi,Plak!Biji rambutan berhasil lolos menerobos jendela, ia menengok ke luar jendela. "Papa nganter mama ke Jogja," ucap seseorang yang nangkring manis di dahan pohon ramputan yang letaknya tep
"Duduk dulu, nak. Tante ambilin minum," wanita dengan daster itu berbalik menuju dapur untuk mengambil minum."Jadi, kamu pacarnya Vanes?" Tanya ayah Vanessa mengintimidasi, maniknya menyorot lensa Revan tegas. Vanessa yang disebut-sebut, menggelengkan kepalanya kuat."Bukan, Om. Cuma teman aja. Ini dari papa," Revan menyerahkan rantang yang tadi ia bawa ke hadapan Hardi, ayah Vanessa. Lelaki itu segera membuka dan tersenyum melihat isinya."Jadi kamu Revan, anaknya Arief?"Revan tersenyum canggung. "Iya, Om."Vanessa membatin, apa-apaan sih ini?"Ini adik kamu, siapa? Kerei?""Kirei, Om. Kalau susah panggil aja Rere." Jawab sang pemilik nama sambil mendengus. Revan menyenggol lengan adiknya dengan siku."Apaan, sih?" Geramnya setengah berbisik."Ini diminum, ya. Seadanya," ibu Vanessa mengalihkan sorot sengit kedua saudar
"Selamat ya, Van. Atas jabatan barunya." Ucap Mila di sela mereka menikmati batagor. Vanessa tersenyum, lalu menyedot es jeruknya untuk membantu jalan batagor itu melewati tenggorokannya. "Tapi gue masih ragu, La. Secara gue bukan anak basket di sini.""Sekarang emang enggak, tapi dulu lo pernah."Vanessa berjalan buru-buru menuju ruang kesiswaan, setelah namanya terpanggil melalui speaker yang berada di setiap kelas. Ia membuka pintu perlahan. "Kamu yang namanya Vanessa?" Tanya Pak Budi, guru kesiswaan. "Iya, Pak. Ada apa, ya, saya dipanggil?" "Kamu tahu 'kan, sekarang sedang pencarian ketua tim basket putri?" Vanessa mengangguk. "Jadi, kepala sekolah di sekolah kamu sebelumnya merekomendasikan kamu untuk menggantikan posisi Yuna. Kebetulan beliau kakak ipar saya, tidak sengaja saya cerita-cerita dan ternyata beliau tahu kamu. Kenapa kamu tidak lanjutkan