"Revan pulang!" Suara Revan menggema ke seluruh sudut rumahnya. Ia menengok beberapa ruangan tapi tidak menemukan siapapun.
"Maaf, mas. Bapak sama ibu lagi keluar." Muncullah Mbak Hesti, orang yang membantu ibu Revan membersihkan rumah.
"Kemana, Mbak?"
"Saya nggak tahu, tapi tadi buru-buru." Jawab wanita berambut hitam legam itu.
Revan mengangguk.
"Ya udah, Mas. Saya pulang dulu," pamit Mbak Hesti. Ia memang tidak tidur di rumah orang tua Revan, karena jarak rumahnya yang dekat dan anaknya masih kecil. Ibu Revan juga memberi kebebasan, jika pekerjaannya sudah selesai, ia boleh pulang.
Revan berjalan menuju kamarnya, hendak melepas jersey tapi,
Plak!
Biji rambutan berhasil lolos menerobos jendela, ia menengok ke luar jendela. "Papa nganter mama ke Jogja," ucap seseorang yang nangkring manis di dahan pohon ramputan yang letaknya tepat di depan kamar Revan. Sontak, ia menengok ke atas, tepat seonggok daging yang sedang nyemil santai sambil menikmati semilir angin. Aduhai sekali hidupnya, hawa yang begitu damai, lempar kulit sana-sini, habis ambil lagi, definisi dipetik langsung dari pohonnya.
"Kelakuan, dasar! Turun nggak?" Revan melempar balik biji rambutan kepada adiknya.
"Enggak mau, ah. Laper," jawabnya acuh.
"Di rumah nggak ada makanan?" Tanya Revan.
"Ada. Tapi masalahnya, belum dimasak."
"Ya, masaklah."
"Mana bisa, yang ada malah hangus tuh sekalian dapur-dapurnya." Ia melempar lagi biji rambutan yang keluar dari mulutnya kepada Revan.
"Eh dek, turun nggak?! Kodrat perempuan tuh, di dapur, masak. Bukan malah panjatan sana-sini kayak saudara lo, monkey!" Ucap Revan geram. Seperti inilah dia jika sudah memasuki istananya, hatinya akan menghangat, karena memang disilah pusat kebahagiannya.
"Eh bang, gue bilangin, ya. Sekarang tuh udah jamannya emansipasi wanita. Ibunda Kartini aja memperjuangkan susah payah, masa gue sebagai wanita mau diinjek-injek gitu aja. Lagian apa tadi lo bilang, mangki? Saudara gue 'kan Bang Revan, berarti abang mangki dong? Hahaha, ngelawak aja." Tawanya membahana, andai lalat lewat, ia akan tersedot. Bar-bar sekali. Tidak ada halus-halusnya.
"Ya udah, turun sayang. Adikku yang paling cantik, nanti jatuh." Ucap Revan lembut, dengan senyuman manis yang dipaksakan.
"Timbang jatuh doang, udah kebal. Nih, terjun dari pohon mangga waktu ngambil layang-layang. Nih, kejedot jendela kelas. Terus ini, oleng waktu sepedaan."
"Dibilang--"
Tin..tin..
Bunyi klakson mengalihkan perhatian mereka. "Buka, tuh!" Perintah Revan pada adiknya.
"Siap, bos!" Ucap Rere, Kirei Ariocha. Gadis dengan segala kelaki-lakiannya. Ia segera turun, pendaratan yang mulus, tangan dan kakinya menari-nari di batang pohon, satu lompatan yang sempurna. Ia segera berlari, mendorong gerbang dan gelantungan pada gerbang yang tergelincir di rel-nya. Revan melihat jelas kelakuan adiknya, ia hanya bisa geleng-geleng kepala.
Begitu melihat siapa yang keluar dari mobil, Revan keluar dari kamarnya. "Katanya ngater mama ke Jogja?"
"Cium tangan dulu," lelaki itu mengulurkan tangannya dan langsung disambut oleh Revan.
"Cuma nganter ke stasiun. Weekend kita nyusul ke Jogja." Jawab ayah Revan, Arief.
"Emang ada apa, Pa?"
"Mbah puterimu sakit, asmanya kumat."
"Ohh."
Dentuman melodi sendu yang berasal dari musik box itu menyelimuti kamar Vanessa, gadis itu sedang tidak sibuk apa-apa, hanya menghambiskan novel dari salah satu penulis ternama, yang membuat matanya sembab sampai sekarang ini.
"Selesai!" Pekiknya sambil menutup novel itu rapat-rapat, lalu ia kembalikan ke tumpukan buku-buku.
Matanya melirik ikan kecil yang berwarna jingga mengkilap, pemberian ayahnya 2 bulan lalu. Ikan kecil itu berada pada sebuah aquarium bening yang terisi terumbu karang buatan untuknya bersembunyi. "Kasian, belum makan, ya?"
"Jae, gimana sih, anaknya kok nggak dikasih makan?" Lagi-lagi Vanessa berbicara dengan poster itu. Ia diam sejenak seolah mendengarkan gambar itu berbicara. Memang setelah kehadirannya, Vanessa menganggap ikan itu adalah anaknya dengan Jaehyun.
"Oh, gitu? Ya udah, deh. Kalau kamu tadi latihan. Buruan istirahat, ya." Seketika ia berubah manis. Lalu menaburkan sedikit makanan ikan di air.
"Nihh, kamu makan yang banyak, biar tambah gede. Nanti kalau udah gede, Mama beliin susu. Kamu berenang di kolam susu, mau? Hihihi." Vanessa terkikik geli sendiri. Membayangkan bagaimana nanti kehidupannya setelah berkeluarga. Memiliki anak yang menggemaskan, suami yang tampan. Ah, sial! Kenapa saat membahas orang tampan, cowok itu singgah di pikirannya.
Dia cowok yang menyebalkan. Vanessa mengakui ketampanannya, dia juga suka kalau memandang wajah itu. Wajah yang kini sedang berkerut memandang berbagai macam bahan makanan. "Mau masak apa, Pa?" Tanya Revan pada ayahnya. Mereka bertiga, termasuk Rere, melipat tangan di dada dengan tangan kanannya memegang dagu. Sambil berpikir, apa gerangan yang akan dihidangkan malam ini.
"Papa ada ide!" Celetuk Arief, ia maju memilah sayur yang berjajar di meja makan, Revan dan Rere menatap apa yang akan di ambil ayahnya. Ia membuka almari kecil yang menempel pada tembok.
"Malam ini kita makan ini!" Arief menangkat mie goreng instant dan dua buah telur dihadapan anak-anaknya.
Revan dan Rere saling tatap.
"Jangan salah, ia bahan makanan keramat anak kos akhir bulan. Segala macam olahan mie sama telur udah papa kuasain. Tapi malam ini yang simple aja,"
"Rere, panasin air di panci. Revan, tuang minyak goreng ke wajan." Perintahnya. Mereka yang diperintah segera melaksanakan tugas masing-masing.
"Akhirnya makan mie. Kalau ada mama, pasti nggak boleh nih," ujar Rere sambil menunggu air memenuhi setengah panci.
"Kepepet." Jawab ayahnya.
Lantas, Arief menuangkan semua bumbu ke dalam minyak goreng. "Bukannya nanti bumbu itu dicampur sama mie ya, Pa?" Tanya Revan bingung.
"Udah ngikut Papa aja. Sekarang nyalain kompornya kamu aduk-aduk,"
"Enggak nanti nunggu mie-nya mateng?"
"Udah, lo nurut aja kenapa sih, Bang? Nggak tau juga, bawel aja." Ucap Rere sarkas. Ia berjongkok sambil menunggu mie matang. Sedangkan ayahnya yang sedang memotong sayuran hanya terkekeh.
"Udah nih, Pa. Sekarang gimana lagi?"
"Dek, itu airnya kamu buang, terus mie-nya masukin ke penggorengan." Rere hanya mengacungkan jempol. Ia menurut, karena memang tidak tahu apa-apa. Jadilah mereka sekarang menunggu di meja makan, memangku dagu, menunggu makanan.
"Makanan ala chef Arief sudah datang." Ucap Arief menggema dari dapur. Revan dan adiknya segera membalikkan piring dan mengambil sesuai porsi masing-masing. Tentunya porsi Rere lebih besar dari Revan, mungkin karena Rere lebih banyak tingkah.
"Revan, nanti habis makan, anterin makanan ini ke rumah temen Papa, ya? Biar dia nostalgia, ini andalan soalnya."
"Ikut!" Belum sempat Revan menjawab, Rere sudah menyela.
"Enggak, ah. Males bawa bocah," Rere mengerucutkan bibirnya atas jawaban Revan.
"Alamatnya udah ada itu." Ucap ayah Revan yang hanya dijawab anggukan karena ia sedang mengunyah.
Selesai makan, Revan berlari keluar deng rantang yang sudah di tangannya. Ia buru-buru mengambil jaket karena ia dengar suara vespanya. "Siapa yang suruh gembar-gemborin knalpot vespa? Nggak lihat tuh, tetangga baru istirahat, kalau digerebek gimana?" Siapa lagi dalangnya kalau bukan Rere. Ia sudah duduk anteng dengan helm yang sudah terpasang di kepalanya.
"Digerebek? Emang kita ngapain? Abang jangan macem-macem ya sama Rere, Rere masih kecil," ujarnya sambil menunjuk-nunjuk muka Revan.
"Siapa juga yang doyan sama gadis setengah perjaka?"
"Sialan! Udah cepet, Rere ikut. Kalau Bang Revan nolak, besok harus memperlakukan Rere layaknya ratu. Siapin baju Rere, iketin tali sepatu Rere, anter Re--"
"Monggo ndoro, silahkan duduk di belakang." Ucap Revan manis, padahal mengumpat dalam hati.
"Gitu dong cung, daritadi."
"Cung?"
"Kacung! Hahaha,"
Seperti yang Revan duga, Rere tak bisa diam saat di perjalanan. Beberapa kali vespanya oleng, untung kakinya panjang dan Revan masih bisa mengendalikan. Sesekali ia berdiri dan tangan berpegangan pada kepala Revan yang dilapisi helm sambil bersorak. Sekali tabokan ia kembali anteng, tapi beberapa menit kemudian berulah lagi.
Surai panjang gadis manis yang kini telah disisir sang ibu sambil berceloteh ria sambil menyempurnakan masker di wajahnya harus terhenti karena ketukan pintu dari luar. "Kamu bukain dulu, Bunda mau ke ayah."
"Oke,"
"Iya, sebentar!" Teriaknya setengah berlari. Siapa yang bertamu di jam seperti ini, tidak sabaran pula mengetuknya.
"Iya cari siapa?" Sepanjang kalimat yang ditanyakan, suaranya mengalami turunan.
"Aaa!!" Teriak tamunya saat mendapati gadis yang membuka pintu dengan piyama soft pink dan jangan lupakan masker yang membuat mereka terkejut.
"Kak Revan, ngapain ke sini?" Revan yang tak asing dengan suara itu, menamati wajahnya dalam-dalam, lalu terkesiap. Ia menengok ke belakang, ke arah pagar. Ah, kenapa dia tidak ingat, padahal tadi siang baru dari sini.
"Siapa yang datang, kok nggak disuruh masuk?" Suara laki-laki yang datang dari dalam membuat Revan segera menetralisir rasa terkejutnya.
"Ayo, Kak. Masuk," ucap Vanes sedikit minggir dan mempersilahkan tamunya masuk.
"Duduk dulu, nak. Tante ambilin minum," wanita dengan daster itu berbalik menuju dapur untuk mengambil minum."Jadi, kamu pacarnya Vanes?" Tanya ayah Vanessa mengintimidasi, maniknya menyorot lensa Revan tegas. Vanessa yang disebut-sebut, menggelengkan kepalanya kuat."Bukan, Om. Cuma teman aja. Ini dari papa," Revan menyerahkan rantang yang tadi ia bawa ke hadapan Hardi, ayah Vanessa. Lelaki itu segera membuka dan tersenyum melihat isinya."Jadi kamu Revan, anaknya Arief?"Revan tersenyum canggung. "Iya, Om."Vanessa membatin, apa-apaan sih ini?"Ini adik kamu, siapa? Kerei?""Kirei, Om. Kalau susah panggil aja Rere." Jawab sang pemilik nama sambil mendengus. Revan menyenggol lengan adiknya dengan siku."Apaan, sih?" Geramnya setengah berbisik."Ini diminum, ya. Seadanya," ibu Vanessa mengalihkan sorot sengit kedua saudar
"Selamat ya, Van. Atas jabatan barunya." Ucap Mila di sela mereka menikmati batagor. Vanessa tersenyum, lalu menyedot es jeruknya untuk membantu jalan batagor itu melewati tenggorokannya. "Tapi gue masih ragu, La. Secara gue bukan anak basket di sini.""Sekarang emang enggak, tapi dulu lo pernah."Vanessa berjalan buru-buru menuju ruang kesiswaan, setelah namanya terpanggil melalui speaker yang berada di setiap kelas. Ia membuka pintu perlahan. "Kamu yang namanya Vanessa?" Tanya Pak Budi, guru kesiswaan. "Iya, Pak. Ada apa, ya, saya dipanggil?" "Kamu tahu 'kan, sekarang sedang pencarian ketua tim basket putri?" Vanessa mengangguk. "Jadi, kepala sekolah di sekolah kamu sebelumnya merekomendasikan kamu untuk menggantikan posisi Yuna. Kebetulan beliau kakak ipar saya, tidak sengaja saya cerita-cerita dan ternyata beliau tahu kamu. Kenapa kamu tidak lanjutkan
Bukan Vanessa namanya kalau tidak menepati janji, walau tadi jantungnya hampir turun ke perut gara-gara sentuhan dan bisikan Revan, ia tetap mencoba biasa saja. Di lapangan sudah ada Revan dan teman-temannya, Vanessa segera menghampiri mereka. "Hebat juga lo, berani ngajak Yuki ribut." Ucap Revan mengawali percakapan."Gue nggak ngajak ribut. Dia duluan,""Gue mau ngomong sesuatu." Ucap Revan serius."Nggak mau ada mereka." Vanessa memandang teman-teman Revan."Buset, kita diusir? Kemaren, nih, pertama ketemu malu-malu kucing, lembut. Sekarang sangar gini, cuy." Ucap Reyhan sambil menepuk bahu Eshar. Sedangkan Wisnu, ia tak tahu apa-apa."Karena kemaren kebelet pipis," jawab Vanessa. Berdekatan dengan mereka terlalu sering, rasanya biasa saja. Lebih seru dulu, saat dia mengagumi mereka dari jauh.Revan mengibaskan tangannya, mengusir mereka."Siapa, sih?"
06 Kenangan usangSemilir angin pohon alpen yang bergoyang-goyang diterpa angin berhawa jingga. Paling syahdu memang menikmati senja menuju peradaban, di teras rumah. Memandang wajah-wajah kusam dan tawa riang bocah-bocah yang bajunya momot karena kelamaan berenang di kali. Mobil yang mengangkut Revan dan keluarganya baru saja memasuki pekarangan rumah joglo yang penuh pajangan barang antik. "Assalamuaikum, ibuk, bapak?" ucap ayah Revan mengetuk pintu yang tertutup sebelah.Tak lama datang seorang pria yang jalan terbungkuk-bungkuk sambil menyincing sarung, membuat ketukan berirama yang dihasilkan tongkat reyot. "Tari! Suamimu sama cucuku dateng ini," lantas ketiganya segera menyalami tangan keriput nan gemetar itu."Ayo masuk-masuk, mamamu masih nyuapin mbah puteri.""Udah besar putu lanang ini, ganteng tenan." Ucap kakek sambil menepuk-nepuk bahu Revan.Revan tersenyum lalu merangkul pundak kakeknya. "Kakung jangan tua dulu, bia
"Jadi aku ditantang main basket sama kakak kelas yang nyebelin tapi ganteng itu.""Menurut kamu gimana, Jan?""Enggak apa-apa, sih, aku tenang bisa curhat." Beberapa pesan Vanessa kirim pada akun instagram dengan username; hujan sore-sore. Itu hanya sebagian pesan, di atas masih banyak lagi. Walaupun pemilik akun tidak pernah membalas, tapi ia selalu membaca setiap pesan Vanessa. Pemilik akun tersebut merupakan penulis yang hampir seluruh karyanya Vanessa punya. Karyanya selalu masuk jajaran best seller, tapi ia tidak pernah menampakkan diri.Seorang gadis dengan rambut yang digerai indah lengkap dengan kacamata minusnya baru saja sampai menggunakan sepeda. Vanessa membuka jendela, melihat siapa yang datang, sudah bisa ditebak kalau itu Mila. Ia segera melambaikan tangannya, mengizinkan Mila untuk segera masuk. Sudah biasa Mila keluar masuk rumah Vanessa, karena gadis itu sudah akrab dengan orang tua Vanessa.Berbeda dengan Vanes
Vanessa bangun dari tidurnya yang kurang nyenyak. Mereka, Vanessa dan Mila, baru tidur jam dua dini hari, tahulah apa yang mereka lakukan. Vanessa terbangun karena posisi tidur Mila yang tidak karuan, sehingga ia hanya memiliki sedikit ruang untuk tubuhnya. Rencananya sih, mau lari keliling taman, lihat-lihat cogan calon kopral, habis itu sarapan bubur ayam langganan. Tapi semuanya, bullshit! Malah ketukan pintu tak sabaran yang ia dapat. "Permisi, Mbak. Apa non Mila sudah sarapan?" Tanya seorang wanita yang sama seperti kemarin sore."Ini ada sarapan, tolong diberikan ya, Mbak." Lanjutnya. Menyerahkan rantang berlapis emas, entah murni atau hanya cat, tapi berkesan mewah."Iya, makasih." Setelah menerimanya, Vanessa segera menutup pintu, sedikit dibanting."Non, ini sarapannya. Bibi siapin di atas meja, ya?" Ujar Vanessa menggoda Mila."Iya. Taruh situ aja." Mila belum tersadar, masih terbawa hawa-hawa rumahnya. Setelahnya
Dua cup boba menjadi saksi bisu panasnya persaingan antara Revan dan Vanessa, keduanya adu kebolehan dalam menembak bola. Beberapa kali gerakan Revan merebut bola dari Vanessa dengan posisi seperti memeluk dari belakang membuat Vanessa gagal fokus. Bisep Revan yang licin merengkuhnya, seirama dengan berontakan jantung yang ugal-ugalan ngajak tawuran. Licik juga. Dengan Wisnu sebagai wasit, membuat Vanessa tidak tenang, bisa saja Wisnu melebih-lebihkan poin Revan, tidak ada salahnya curiga, secara Wisnu sobat sepergerombolan.Prittt"Istirahat kedua." Intrupsi Wisnu membuat Revan membuang bola kecewa. Baru mau masuk ke daerah lawan, sudah istirahat lagi."Ini 'kan tandingnya pake jam pasir, nggak perlu istirahat berulang-ulang." Revan mengomel, setelahnya ia meraih asal minumnya. Kok red velvet?"Ya gue pake aturan yang biasa kita main aja," jawab Wisnu memelas.Revan tersentak. "Eh, ini ketuker?!" Ia meraih boba dari
Hari-hari terus berlalu, tidak ada hari tanpa pantulan bola basket. Hari ini di Pelita Malam mengadakan basketball cup yang diikuti beberapa sekolah lainnya. Kebetulan dari hasil undian, SMA Pelita Malam mendapat giliran dengan SMA sebelah yang merupakan musuh bebuyutan sejak generasi terdahulu. Entah karena apa masalahnya.Revan dan teman-temannya duduk di barisan paling depan kursi penonton karena mereka sudah tidak main, biar para junior yang menggantikan. Tabuhan drum band dari para suporter tak gentar dengan sorak-sorai yel-yel menyemangati mereka yang di lapangan. Revan duduk anteng sambil menikmati permainan, berbeda dengan Reyhan, yang ikut menyanyikan yel-yel dengan suara sumbangnya.Sedangkan Vanessa, cewek itu berdiri di depan pagar sekolah, menunggu jemputan. Ia tidak tertarik untuk menonton, jadi memilih pulang, lagi pula sekolah membebaskan untuk pulang atau menetap. Vanessa mengobrol dengan teman sekelasnya yang merupakan anggot