Share

Bekal untuk Eiden

Hari ini Nindi memutuskan untuk memasak sarapan pagi untuk dirinya beserta Aya dan juga Eiden.

Iya, Eiden. 

Nindi berpikir, mungkin hati Eiden akan luluh jika ia memberikan lelaki itu sekotak bekal. Jangan tanyakan kemampuan memasak Nindi, tentu saja ia jago dalam hal dapur, sebab, tak jarang gadis itu membantu Ibunya memasak di waktu senggang.

Dengan lihai, jemari lentik gadis itu menata sarapan di kotak bekal yang akan diberikannya kepada Eiden. Alis Nindi menyatu saking serius dan semangatnya.

"Semoga dia mau balikin kalung gue, deh."

Derap langkah kaki menghentikan kegiatan Nindi.

"Eh, tumben nyiapin sarapan di hari sekolah?" tanya Aya penasaran, didekatinya gadis yang sudah rapi dengan seragam batik itu.

Nindi hanya merespon dengan cengiran kaku, bingung harus menjawab apa.

"Lagi deket sama cowok, ya?" tanya Aya sekali lagi.

Aya curiga, karena wajah anak gadisnya hari ini memang seperti menandakan bahwa gadis itu sedang jatuh cinta. 

Nindi mendengus pelan. "Nggak, kok, Bu."

"Nindi cuma pengen bikin bekal aja sesekali, biar hemat. Sekaligus Nindi pengen Reyya nyoba masakan ala bintang lima milik Nindi," sambung Nindi dengan sombong seraya menaik-naikkan kedua alisnya.

Melihat tingkah Nindi yang super percaya diri membuat Aya tertawa, Aya bersyukur walaupun dalam hidup gadis itu kurang figur Ayah karena Farhan -Ayah Nindi- sangat jarang pulang ke Indonesia. Farhan sibuk dengan bisnis yang baru ia kembangkan setelah mengalami kebangkrutan dua tahun yang lalu. Kepulangan Farhan ke Indonesia bisa terhitung jari, hanya sekali dalam tiga bulan, itu pun jikalau pria itu tidak sibuk.

Tidak heran kalau Aya merasa Nindi akan kesepian, karena sebelum kejadian 'itu', Nindi sangat dekat dengan Farhan melebihi dirinya.

"Sayang, Ayah ada kasih kabar gak?"

Senyuman Nindi yang awalnya lebar menjadi perlahan pudar, mata gadis itu berkaca-kaca.

Sejujurnya, sejak 5 bulan yang lalu Farhan sudah tidak pernah menghubungi dirinya, jangankan menelepon, sekedar membalas email atau pesan darinya pun tidak. Namun, Nindi selalu merahasiakan itu dari Aya, tidak ingin membuat Aya menjadi semakin stress dengan tingkah Ayahnya.

Setiap beberapa bulan sekali, Nindi menyuruh Reyya mengirimkan balasan email palsu seolah-olah Reyya adalah Farhan. Gadis itu juga menabung agar dapat membeli beberapa bahan sembako untuk dikirim ke rumahnya, dengan alasan paket sembako itu kiriman dari Ayahnya.

Hati Nindi sesak, apakah Farhan sudah melupakan dirinya dan Aya disini?

Apakah Farhan sudah menemukan keluarga baru di negeri luar sana?

Nindi tidak tahu. Yang jelas, Nindi kecewa dan tidak habis pikir, Ayah yang dulu selalu ia banggakan di hadapan teman-temannya, Ayah yang selalu menjadi tameng ketika ia diusili anak tetangga, Ayah yang menjadi pelipur lara ketika Nindi sedih saat mendapatkan nilai yang jelek di sekolah, Ayah yang selalu membacakannya dongeng bintang jatuh sebelum tidur itu, kini telah benar-benar jauh darinya.

Seolah asing dan tidak pernah ada keberadaannya.

Melihat Nindi yang terdiam, Aya merasakan firasat buruk. Didekatinya Nindi, kemudian menaruh kedua tangannya di kedua bahu gadis itu. "Sayang, ada apa?"

Nindi tersadar dari lamunan, mencoba menepis berbagai perasaan menyesakkan yang bersemayam di hatinya. Nindi tidak boleh menunjukkan kesedihannya di depan Aya.

"Nggak apa-apa, Bu. Nindi cuma capek, tadi malem bergadang buat ngerjain tugas yang menumpuk, banyak banget," jelasnya meyakinkan Aya. "Tentang Ayah, Ayah baik-baik aja, kok. Tadi malem Nindi sempat teleponan, lho, sama Ayah. Ibu tahu? Disana ternyata banyak banget makanan enak, nanti kalau ada uang, kita susul Ayah, ya, Bu?" pintanya.

Aya tersenyum lega, ternyata hanya firasatnya saja. 

"Iya, nanti kita susul Ayah."

~

"Reyya!"

Pekikan Nindi sukses membuat gadis bule yang sedang bersantai di dekat jendela kelas itu menoleh. "Apaan? Udah gak sedih lo perihal Leo yang hilang?"

Nindi mencebik, kenapa Reyya selalu menyebalkan? Padahal baru saja Nindi ingin melupakan sejenak tentang hilangnya Leo, agar pikiran Nindi tidak terlalu kusut.

"Kenapa pake diingetin segala, sih? Bete deh gue sama lo," sebal Nindi lalu berjalan kearah mejanya yang berada tepat di belakang meja Reyya kemudian meletakkan tasnya dengan kasar.

Reyya menggelengkan kepalanya lelah dengan tingkah sahabat satu-satunya itu yang terlalu sensi. "Nin, lo lagi pms?" tanya Reyya, membalikkan tubuhnya mengarah ke Nindi.

"Gak lucu."

"Dih?"

Nindi mengendikkan bahu acuh seraya membuka resleting tasnya, mengeluarkan kotak bekal lucu berbentuk panda yang berwarna pink, Nindi mulai sedikit ragu apakah Eiden akan menerima kotak bekal yang seperti ini.

Yang penting isinya enak, pikir Nindi.

"Widiiih ... Buat gue, ya?" Reyya menatap kotak bekal itu dengan mata berbinar, baru saja ia ingin mengambil bekal Nindi, sahabatnya itu sudah lebih dulu menyembunyikannya di laci meja.

"Sembarangan, ini buat Eiden," ceplos Nindi.

Setelah beberapa detik, baru lah gadis itu menyadari bahwa dirinya keceplosan. Dilihatnya reaksi Reyya yang kini menampakkan wajah bingung serta usil. 

"Eiden? Jangan bilang Eiden kelas sebelah, ya?" goda Reyya sembari menaik-naikkan alisnya.

"Eh? Lo kenal?"

Reyya membusungkan dadanya sombong, lalu berpose dengan mengibaskan rambut blondenya. "Cogan mana yang gue gak kenal di sekolah ini, hm? Bahkan, tukang cuci piring yang cakep di kantin Bu Imah aja gue tahu, Nin."

Nindi menggelengkan kepalanya, sudah maklum dengan tingkah genit Reyya yang selalu kumat ketika mereka membahas cogan.

"Kelas sebelah, berarti IPA 1?"

Gadis blonde itu mengangguk antusias. "Eiden yang ciri-cirinya selalu pakai jaket, rambutnya kayak gak pernah di sisir, terus sok jadi kulkas berjalan gitu, 'kan, orangnya?"

Lagi-lagi Nindi mendelik, perasaan sewaktu ia bertemu dengan Eiden kemarin, rambut lelaki itu tergolong rapi walaupun sedikit messy.

"Iya."

Reyya bertepuk tangan sambil menggoda Nindi hingga menyebabkan kericuhan di dalam kelas. Nindi yang menjadi korban hanya bisa menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Lo kenal dia darimana? Sejak kapan sahabat kaleng peok gue ini punya teman cowok?" tanya Reyya ala mata-mata.

"Baru kenal kemarin, kalung gue jatuh dan dia yang nemuin. Makanya sekarang gue mau balas budi," tutur Nindi singkat tanpa menjelaskan kejadian detail bagaimana ia dan Eiden bertemu.

Bukannya Nindi tidak setia kawan, hanya saja Nindi paham sifat asli Reyya yang selalu heboh. Baru menyebut nama Eiden saja gadis itu sudah seperti sedang menjelma menjadi seorang Tarzan, apalagi kalau Nindi bercerita bahwa ia sempat kabur-kaburan bersama Eiden dan berakhir diantar lelaki itu sampai ke rumah. Bisa-bisa Reyya akan mengeluarkan suara 10 oktafnya, dan Nindi yakin itu tidak akan berakhir bagus.

"Jangan-jangan itu pertanda jodoh, Nin!" seru Reyya tiba-tiba lalu menunjuk Nindi dengan heboh.

Dengan cepat Nindi menepis tangan Reyya. "Apaan, sih, Rey?! Masih jadi pelajar udah bahas jodoh aja lo."

"Dih? Banyak kali yang seumuran kita udah nikah, jodoh mah gak pandang umur, Nin." saut gadis itu berapi-api. Masih kekeuh dengan spekulasi tidak masuk akalnya.

"Tau ah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status