Share

6. Brengsek

FEBRUARI, 03

Kriiing

"Selamat datang di Ethereal~"

Wendy mengangguk pada karyawan paruh waktu yang baru saja mulai bekerja kemarin, matanya mengitari suasana cafe sebentar.

Bagus, tidak terlalu ramai.

Entah kenapa Wendy merasa dia akan membuat sebuah kerusuhan besar sebentar lagi. "Di mana Tirtan, Rama?"

Rama, sang waiter paruh waktu tersebut dengan sigap mengambil alih belanjaan yang terlihat seperti bahan-bahan dapur dari tangan Wendy dan tersenyum. "Ada di atas, Kak."

Iya, Rama lebih muda 5 tahun dari Wendy, seorang mahasiswa semester satu, seorang anak rantau dan butuh uang untuk kehidupan sehari harinya.

Memiliki tinggi yang sama dengan Wendy, wajah yang luar biasa manis (dia adalah tipe tipe pria manis) dan tingkah laku yang luar biasa ceria.

Wendy mengangguk mengerti, tangannya menunjuk ke arah kantung belanjaan yang kini ada di tangan Rama, "Tolong suruh Amel memasak makanan kesukaanku untuk makan siang."

Rama dengan cepat melakukan hormat ala militer pada Wendy sebelum berlari ke dapur dengan kekehan gelinya sendiri.

~ o o o ~

Krieeet....

Tirtan menengadah pada pintu yang berbunyi, melihat Wendy yang dengan lesu masuk ke kamarnya dengan wajah separuh pucat.

"Wendy?"

Dengan sigap Tirtan berdiri, meninggalkan kertas kertas pekerjaannya dan menghampiri Wendy, membawanya pada dekapan hangatnya.

"Ada apa?"

Wendy dengan wajah suramnya melirik ke atas untuk memperhatikan wajah Tirtan. Perbedaan tinggi badan mereka membuatnya harus menengadah dengan tinggi, setelah melihat wajah khawatir dari Tirtan, Wendy menyembunyikan wajahnya kembali di dalam dada Tirtan.

"Apa kau berjanji tak akan marah jika ku bilang?"

Tirtan dengan sigap menangkup wajah Wendy dengan kedua tangannya, mengangkatnya agar menatap matanya dalam.

"Apa ada yang menyakitimu? Menggodamu? Ada seseorang yang membuatmu tak nyaman?"

Wendy mengangguk dan menggumamkan "eung" sebagai jawabannya.

Tirtan menggeram rendah, di dorongnya tubuh Wendy dengan lembut, sekedar memberi jarak agar dirinya bisa menatap Wendy dengan dalam.

"Siapa?"

Dingin, perkataan Tirtan terdengar sangat dingin dan mengancam. Wendy seolah merasakan bulu kuduknya berdiri, seandainya Wendy bukanlah adik Tirtan dan terlahir sebagai pria, dia pasti tidak mau berurusan dengan Tirtan dan anggota keluarganya.

"Berjanjilah untuk tidak marah." Wendy mengangkat tangan kanan Tirtan, menarik kelingkingnya untuk ditautkan dengan miliknya sedangkan Tirtan hanya terdiam melihat itu semua.

Wendy menghela nafas pelan.

"Cheline.."

Tirtan tiba-tiba terpaku dengan pandangan bingung nan bodoh.

"Kau tidak mempercayaiku"

Wendy dengan cepat menghempaskan tangan Tirtan, bersiap berbalik dan pergi sebelum tangan kekar Tirtan menghalangi kepergiannya.

"Tunggu Wendy, bukan itu maksudku."

Wendy menatap Tirtan penuh selidik, karena meskipun Tirtan berkata seperti itu, tapi jelas sekali wajahnya mengutarakan yang sebaliknya.

"Hanya saja, katakan padaku. Bagaimana dia mengganggumu? bukankah kau selalu terganggu olehnya?" Sedikit tergagap, Tirtan mencoba bertanya dengan tenang.

Dia tidak mau menyinggung adiknya, pun tak mau berpikiran yang tidak tidak mengenai kekasihnya.

"Ya, aku memang selalu merasa terganggu olehnya, tapi sikapnya kali ini benar benar menggangguku-"

"Apa itu Wendy?"

Belum kelar Wendy bicara Tirtan sudah memotongnya dengan pertanyaan gigih. Kedua tangan Tirtan mencengkram bahu Wendy dengan kuat, dan matanya menyiratkan keseriusan.

"Y-ya dia bukan menggangguku secara langsung-"

"Hhhhh, Wendy, bisakah kau akur dengan Cheline barang sejenak saja? Suatu saat kalian akan menjadi keluarga."

Lagi, perkataan Wendy di potong. Tirtan melepas pundak Wendy, menggeleng geleng pelan kemudian kembali duduk di kursinya.

Lalu apa itu? Akan menjadi keluarga?

Wendy tidak sudi.

Siapa yang mau memiliki ipar seorang gadis murahan seperti Cheline? Yang kerjaannya hanya menjadi lintah Kakaknya dan para pria paruh baya berjas mewah. Cheline bahkan tidak layak lagi disebut gadis.

"Kau tidak percaya padaku kan?"

Wendy mengepalkan tangannya, menatap Tirtan dengan pandangan menyalang.

"Bukan seperti itu Wendy, aku harus melihat dari kedua belah sisi." Tirtan belum menatap Wendy kembali, tangan dan matanya dengan asik mengamati kertas kertas laporan keuangan cafe ini.

Wendy berdecih.

"Melihat dari kedua sisi? Dengan cara memotong semua ucapanku?"

"Wen-"

Tirtan terdiam tak melanjutkan ucapannya. Matanya sudah kembali menatap Wendy.

Wendy yang gemetar hebat menahan amarah, dengan mata yang melotot tajam dan wajah yang memerah.

"Kau mengira aku ini anak kecil yang membuat masalah dan menunjuk orang lain sebagai dalangnya kan?"

"Tidak Wendy."

Tirtan kembali berdiri, melangkah mendekati Wendy.

"Kau bahkan tidak memberiku kesempatan untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Kau Tirtan, baru saja meremehkanku dan menganggap pendapatku angin lalu."

"Wendy." Kini Tirtan tinggal selangkah lagi berada di hadapan Wendy.

Ah, seandainya Tirtan tahu apa yang akan terjadi, dia pasti akan memilih untuk menjauh barang selangkah saja dari wajah Wendy. Karena apa yang akan dikatakan Wendy selanjutnya akan benar benar membuatnya hilang kendali.

"Kau Tirtan, kasihan sekali dirimu. Kau tahu apa yang kulihat tadi?"

Wendy bak orang gila, kedua tangannya yang ikut memerah mencengkram kerah Tirtan dengan kencang, wajahnya di majukan agar pandangannya setara dengan arah pandang Tirtan, matanya melotot dan giginya gemertak.

"Kekasihmu, tersayang. Sedang melacurkan dirinya ke pria lain saat kau yang kekasihnya sedang sibuk mencari uang."

PLAK

Maka sebuah tamparan di pipi lah yang Wendy dapatkan sebagai balasan.

Tirtan termenung, kaget dengan pergerakan tangannya sendiri secara tiba-tiba, di sisi lain, Wendy tengah memegangi pipinya yang nyeri. Matanya melotot tak percaya dan bibirnya yang terkatup bergetar.

"Oh Wendy, kau tahu aku tak bermaksud begitu. Seharusnya kau tidak memancing amarahku."

Wendy menatap mata Tirtan dengan bengis. "Sejak kapan kau jadi begini, Kak?"

Sakit.

Itulah yang Wendy rasakan, Kakak tersayangnya seperti orang lain saja saat ini, menamparnya tanpa ragu dan tanpa rasa penyesalan setelahnya.

"Dengar Wendy, aku minta maaf, aku tidak sengaja menamparmu. Hanya saja omonganmu membuatku marah, Wendy, Cheline adalah orang baik jika kau mengenalnya lebih dekat lagi, aku mohon aku sangat menyayanginya meskipun tidak melebihi dirimu."

Chelin Cheline Cheline Cheline

Dialah yang membuat Tirtan berubah, dialah yang membuat Tirtan dengan tanpa ragu menamparnya seperti tadi.

Cheline, jalang itu.

"....Murahan."

Tirtan menatap Wendy bingung. "Apa?"

"Gadis murahan."

Dengan ekspresi kaget, Tirtan mencengkram kembali pundak Wendy. "Wendy!"

"Murahan murahan murahan murahan murahan!!!"

Gila, Wendy nampak gila. Tirtan tahu Wendy sedang marah hebat. Sudah lama sejak terakhir kali Wendy kambuh seperti ini, bahkan di serang pelanggan wanita pun dia masih bisa bersabar, setelah beberapa kali rujukan ke Psikolog Wendy sudah membaik, kalau sampai kambuh seperti ini, itu artinya Wendy benar-benar marah.

Iya, Wendy adalah pengidap Intermittent explosive disorder, sesuatu yang Tirtan percayai menurun dari sang Ayah dan menunjukan gejala saat dia SMA.

"Wendy, dimana obat penenangmu?"

Tirtan dengan tergesa mengecek semua kantung yang ada di pakaian Wendy begitu juga di tas kecil miliknya.

"CHELINE MURAHAN!"

"DIAM!"

Tirtan menghentikan pergerakannya dan Wendy menghentikan beonya saat Tirtan membentaknya. Di depannya, Tirtan sudah nampak sangat mengerikan, dengan mata yang menyala nyalang dan gigi yang bergemeretak.

"Aku terlalu lama memanjakanmu, aku selalu menyayangimu Wendy dan ini lah balasanmu padaku." Tirtan menunjuk wajah Wendy yang masih melihatnya dengan menantang.

"Kau tahu siapa yang murahan? Kau Wendy."

Deg

Wendy melotot, merasakan adrenaline dalam dirinya mengalir deras saat mendengarkan perkataan Tirtan.

"Kau yang selalu tersenyum murahan pada para pelanggan pria yang jelas-jelas datang untuk menggodamu, kau yang selalu memamerkan lekuk tubuhmu pada mereka yang jelas-jelas terlihat seperti anjing kelaparan."

Bak di tusuk jarum, hati Wendy terasa perih mendengarkan kalimat merendahkan dari sang Kakak.

"Kenapa? Kau sakit hati? Itulah rasanya ketika kau di katai murahan, aku pun sakit saat kau mengatai Cheline seperti itu, bagaimana dengan Cheline?"

Cheline Cheline Cheline Cheline

Cheline bajingan.

"BRENGSEK!"

BUG

Kemudian sebuah tinju melayang ke perut Tirtan membuatnya terbatuk-batuk tak karuan. Di lihatnya Wendy yang berlari menjauh ke arah kamarnya.

BRAK

Dan sebuah gebrakan pintu terdengar setelahnya. Tirtan terduduk di lantai, masih dengan tangan yang memegangi perutnya, mengacak rambutnya sebentar dan menghela nafas ganas.

Tirtan dan perasaan menyesal yang baru saja menghantamnya.

"Bodoh bodoh bodoh bodoh!!"

Di sisi lain, Wendy di kamarnya sedang menendang nendang sofa untuk melampiaskan amarahnya.

Srek

Dengan gerakan cepat dia cari sebuah obat yang sudah cukup lama tak ia makan, obat penenang yang seharusnya dia bawa kemana-mana.

Di dalam laci rias, dia temukan botol berisi obat yang hampir saja dia lupakan, menenggaknya perlahan dan menaruhnya kembali pada tempatnya.

"Tirtan bodoh."

Merasa sedikit tenang, Wendy berbaring di atas ranjangnya, menatap langit-langit kamarnya dan mengingat kejadian yang baru saja terjadi antara dirinya dan Tirtan.

"Kau tahu siapa yang murahan? Kau Wendy."

Bug!

Menahan kesal, Wendy menghajar boneka beruang besar yang ada di kasurnya.

"1....2....3.....4...5...."

Tidak ingin mengamuk, Wendy mulai menghitung. Mengikuti saran dari Psikolognya untuk mengalihkan amarahnya dengan berhitung pelan sampai 10.

Wendy adalah wanita yang tumbuh dengan cacian sesama wanita di sekitarnya, bahkan beberapa pria yang dia tolak sempat mengamuk di depan matanya.

Di katai murahan bukan lagi hal yang mengganggu, namun berbeda jika hal itu di ucapkan oleh orang-orang terdekat dan tersayangnya, terlebih Tirtan.

Hanya Tirtan lah yang paling tidak boleh mengatainya murahan.

Srek

Kaki Wendy menginjak sesuatu, sebuah paper bag dengan tulisan Karin Style yang besar berada tepat di bawah kasurnya.

Terdiam, Wendy terdiam sejenak. Sebuah ide gila tiba-tiba muncul di kepalanya.

"Baiklah Tirtan, jika maumu adalah menjadikanku gadis murahan. Dengan senang hati aku akan melakukannya."

Wendy mengeluarkan gaun biru yang baru saja dibawanya pulang dari butik Karin, mengambil gunting dari nakasnya dan menguncir cepol rambutnya, pertanda dirinya sudah memasuki mode serius.

Betul Wendy, jika yang Tirtan sukai adalah gadis murahan seperti Cheline, maka bersenanglah! Buat Tirtan tersadar betapa Cheline lebih murahan dibanding dirimu.

Ayo Wendy, jika Tirtan mengatakan kau adalah gadis murahan, kau hanya tinggal mengingatkannya betapa kau selama ini sudah menjadi gadis baik yang penurut.

"Besok aku akan menjadi gadis murahan sesuai ekspektasimu, Tirtan."

Oh, seandainya Wendy tahu masalah apa yang akan menimpanya esok hari.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status