“Benarkah?” Tanya Nathaniel yang entah kenapa jadi kesal saat mendengar ucapan manis, seperti kata rindu atau semacamnya dari orang lain—meski sebenarnya Elena tidak bisa disebut orang lain.
“Kenapa bertanya begitu? Kau pikir aku hanya pura-pura merindukanmu? Untuk apa ibumu ini melakukan itu?” gerutu Elena kesal.
“Baiklah, maafkan aku,” jawab Nathaniel tidak enak hati. “Nanti akan ku telepon lagi, di luar dingin sekali. Aku mau pesan taksi dulu untuk pulang,” suara Nathaniel agak menggigil.
“Kau di luar? Mobilmu mogok lagi?” Tanya Elena cemas.
“Iya,” sahut Nathaniel singkat.
“Biar ibu yang menjemputmu, kau di mana?” Tanya Elena.
Nathaniel terdiam sejenak, merasa mungkin tidak ada salahnya jika menerima perhatian dari Elena— toh dia ibunya, ibu kandungnya. Nathaniel akhirnya menyebut lokasi tempatnya berdiri karena memang kebetulan posisinya tak j
Nathaniel terbangun dari tidurnya, mata kembali terpejam sejenak sebelum membuka perlahan. Tirai motif karakter di kamar sudah terbuka, mungkin Elena yang melakukannya agar sinar matahari yang lembut bisa menyusup masuk. Udara musim dingin masih terasa menusuk tulang, hingga membuatnya malas bangkit dari balutan selimut tebalnya. Namun Nathaniel ingat bahwa hari ini ia harus berangkat ke kantor. Dengan gerakan lambat, ia memaksa diri untuk bangkit dari tempat tidurnya yang nyaman. Merapikan selimut sejenak, ia kemudian melangkah keluar dari kamar. Di ruang makan, Nathaniel melihat Elena yang sibuk menyiapkan sarapan dibantu oleh seorang pelayan wanita tengah baya. Wajah ibunya terlihat ceria meskipun sibuk. Elena melihat Nathaniel keluar dari kamar dan melangkah ke arahnya. Perempuan itu langsung tersenyum, lalu memberi kode kepada pelayannya untuk meninggalkan mereka berdua, seolah Elena ingin mengobrol lebih intens dengan putranya tanpa adanya orang luar di
Isabella berdiri dengan kedua tangannya yang terlipat di depan dada, menatap marah pada Henrik yang kini duduk santai di sofa ruang tengahnya.“Ayolah, Bella. Kau tidak seharusnya menunjukkan wajah seperti itu,” kata Henrik sambil menyeringai licik.“Kau tahu jika kau tidak disambut di rumahku,” jawab Isabella dengan ketus. Namun Henrik sama sekali tak terganggu oleh ucapan bernada sinis itu.“Kau makin manis saat marah-marah,” goda Henrik sambil bangkit lalu mendekat pada Isabella. Ia menyentil hidung mancung Isabella dengan santai, membuat Isabella refleks menepis tangan Henrik. Ia jijik pada pria itu, bahkan sentuhan kecil tersebut membuatnya bergidik. “Jangan sembarangan menyentuhku!”“Baiklah, aku akan minta izin setelah ini,” balas Henrik sembari menyeringai.“Sebenarnya apa lagi yang kau mau? Bukankah aku sudah melakukan apa yang kau minta?” Isabella mendengus, tak habis pikir karena Henrik masih saja datang mengganggunya.
Henrik meletakkan piringnya ke meja, kemudian mengusap perutnya yang kenyang setelah menghabiskan kari buatan Isabella. “Sudah selesai kan? Sekarang segeralah pergi,” ucap Isabella dengan tegas. “Sayang, kenapa kau tidak menanyakan pendapatku tentang masakanmu?” tanya Henrik dengan santainya, sambil mengeluarkan suara sendawa. Isabella makin jijik melihatnya. “Aku tidak butuh pendapatmu, aku hanya ingin kau segera pergi.” “Padahal aku ingin memuji masakanmu, sangat enak. Aku harap bisa menikmatinya setiap hari,” kata Henrik sambil mengusap bibirnya, di mana ada sisa bumbu kari di sana. “Jangan berharap berlebihan,” tegas Isabella, semakin muak dengan pria di depannya. “Kenapa tidak? Toh dulu kita sudah pernah melewati hari menyenangkan bersama.” Henrik sambil bangkit, lalu berjalan mendekati Isabella. Isabella merasa tidak nyaman ketika Henrik mendekat. “Mau apa lagi?!” tanyanya. “Kita bisa bersenang-sen
Dengan langkah terburu-buru dan perasaan kalut yang memenuhi pikirannya, Nathaniel berlari menyusuri penjuru rumah, mencari tanda-tanda Isabella. Hatinya berdegup kencang dalam keremangan yang menyelimuti rumah tersebut. “Isabella!!!” Saat tiba di ruang tengah, Nathaniel terbelalak kaget melihat Isabella terkapar di lantai dengan pakaian compang camping dan tubuh yang dipenuhi luka. “Nate!” pekik Isabella dengan suara lega saat melihat Nathaniel datang. Namun, kelegaannya segera berubah menjadi ketegangan saat Nathaniel melihat Henrik—yang nyaris saja menodainya. Tanpa berpikir panjang, dengan emosi yang membuncah dan keinginan melampiaskan amarahnya, Nathaniel langsung menghampiri Henrik dan menghantamnya dengan pukulan berkali-kali. “Manusia biadab! Beraninya kau melakukan hal ini pada Isabella!” teriak Nathaniel penuh amarah. Tubuh Henrik terhuyung, dan akhirnya terjatuh menabrak meja kaca hingga pecah, memenuhi ruangan
Malam mulai menyapa, namun suasana di rumah Isabella masih dipenuhi dengan ketegangan. Isabella tertunduk, air matanya mengalir tanpa henti—merasa begitu bersalah pada Nathaniel. Di sisi lain, Nathaniel masih terdiam, pikirannya terasa keruh, emosinya campur aduk, membuatnya sulit untuk menentukan bagaimana seharusnya dia merespons Isabella.Saat itu, suara lenguhan Henrik mulai terdengar, tanda bahwa pria itu mulai tersadar dari pingsannya meskipun hanya merintih kesakitan. Nathaniel dan Isabella menoleh pada Henrik sejenak, tapi kemudian mengabaikannya. Mereka berdua terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing, dan menganggap Henrik tidak lagi penting dalam momen tersebut.Di tengah kesunyian malam, hanya suara isak tangis Isabella yang memecah keheningan. Nathaniel menatap itu, lalu menghela napas dalam-dalam. “Aku... Aku tidak bermaksud menyalahkanmu, Isabella,” ucap Nathaniel pada akhirnya, emosinya sudah mulai mereda.Isabella menghapus ai
Nathaniel baru saja akan mematikan lampu di kamarnya ketika ponselnya berbunyi. Tangannya segera meraih ponsel di meja nakas, ia melihat ada pesan dari Elena.[Tolong!!!”] Pesan singkat itu seketika membuatnya terbelalak, menyebabkan rasa kantuk yang baru saja menghampirinya sirna dalam sekejap. Kekhawatiran langsung menggantikan kelelahannya.Nathaniel segera membalas pesan, tetapi tidak ada jawaban. Bahkan ketika dia mencoba menelepon nomor Elena, suara sambung tidak terdengar. Nomor itu seolah-olah tidak aktif.Tanpa meraih kunci mobilnya yang terletak di atas meja. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan-bayangan buruk tentang apa yang mungkin terjadi pada ibunya, dan dia tidak bisa duduk diam.Dengan hati yang berdebar-debar, Nathaniel bergegas menuju mobil Elena yang masih ada di luar rumah. Dia memasuki mobil dan segera memutar kunci kontak. Dia mengendarai mobil dengan cepat, membelah jalanan yang se
Nathaniel segera menerimanya, lalu memotong kue tersebut dan meletakkannya pada piring-piring kecil yang sudah disediakan di meja ruang tengah. “Jangan tanya siapa yang mendapat potongan pertama, aku sudah memotongnya sama rata,” ucap Nathaniel saat membagi kue tersebut pada Gabriel, Camilia, lalu pada Elena dan Isabella. Semua menerima potongan kue itu dengan suka cita. Suasana kebersamaan yang hangat dan bahagia terasa begitu nyata di antara mereka, menghangatkan hati Nathaniel dan menyatukan mereka lebih erat lagi. Setelah menikmati kue, Gabriel tiba-tiba teringat sesuatu. “Ah, kami juga sudah menyiapkan hadiah untukmu,” ucapnya sambil mengeluarkan sesuatu dari sakunya, lalu memberikan sebuah kotak kecil pada Nathaniel. Nathaniel menerima kotak itu. “Bukalah, aku harap kau suka,” kata Gabriel. Nathaniel membuka kotak itu dan melihat sebuah jam tangan Rolex yang elegan di dalamnya. “Terima kasih, Ayah,” ucapnya dengan tulus. Tak mau
Malam itu, Isabella menghabiskan waktunya bersama Nathaniel dan keluarganya. Mereka begadang, bercerita, dan tertawa bersama hingga larut malam. Namun, semakin larut, semakin terasa kelelahan menghampiri mereka, dan mereka pun memutuskan untuk beristirahat. Gabriel dan Camilia sudah lebih dulu istirahat di kamar, sementara Elena berniat mengantar Isabella menuju kamar tamu. Elena tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya. “Kau bisa tidur di ruang tamu, atau malah kau ingin tidur di kamar Nate saja?” ucap Elena sambil tersenyum. Isabella menjawab sembari tertawa kecil, “Tentu saja aku mau, tapi sepertinya Nate akan keberatan jika aku tidur di kamarnya.” Isabella menoleh pada Nathaniel, mencari reaksi dari pemuda itu, namun Nathaniel hanya terdiam, sepertinya sibuk dalam pikirannya sendiri. Ada sesuatu yang mengganggunya, tapi Isabella tidak yakin apa itu. “Nate?” panggil Isabella. Nathaniel tersadar dari lamunan dan menatap Isabella dengan tatapa