"Tuan, Bea sudah tidur dengan nyaman dan saya sudah memastikannya," ucap Bianca sambil menundukkan kepalanya. Aura mengintimidasi dari wanita yang sudah cukup berumur di depannya membuat Bianca sangat gugup."Siapa dia, Bryan?" tanya ibu Bryan, Eveline. Bryan bingung harus mengenalkan Bianca pada Eveline sebagai siapa di rumah ini. Namun, sepintas ide terlintas di otaknya membuat Bryan tersenyum dalam hati."Dia adalah baby sitter Boo," jawab Bryan sambil memberikan kode pada Bianca agar menganggukkan kepalanya."Benar, saya adalah baby sitter di sini," sahut Bianca patuh layaknya sebagai bawahan sungguhan.Eveline jelas tidak langsung percaya begitu saja karena sikap Bianca begitu mencurigakan. Namun, dia hanya bisa menganggukkan kepalanya sedikit percaya. Bianca sendiri hanya bisa pasrah dengan peran palsunya sebagai baby sitter."Di mana Bea?" tanya Eveline."Dia sedang tidur, Ma. Apa perlu aku bangunkan?" jawab Bryan. Eveline menganggukkan kepalanya, Bryan memberikan Bianca seka
Mengingat kejadian di kolam renang tadi, Bianca kembali merasakan sensasi luar biasa. Pikirannya tiba-tiba kembali ke kejadian itu hingga tubuhnya seperti di bawa ikut juga.Sampai ketika ciuman mereka terlepas, beberapa detik setelahnya Bianca masih belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Hingga tiba-tiba Bianca mendengar jika Bryan berdehem menyadarkan dirinya."M—maafkan saya, Tuan." Ucapan minta maaf pertama kali Bianca katakan. Bryan menggeleng karena laki-laki itu berpikir jika bukan Bianca yang salah melainkan dirinya."Bukan kau yang salah, Bianca. Tapi saya, jadi saya minta maaf untuk kelancangan saya menciummu." Bukankah mereka saling menikmati dan saling menerima? Bianca berpikir bahwa mereka melakukannya karena suasana yang mendukung. "Kita sama-sama menikmati, Tuan. Saya pikir tidak ada yang salah di sini.""Menikmati?" "Y—ya, menikmati.""Kau menjadi nakal ya sekarang? Apa kita boleh melanjutkannya lagi? Saya rasa yang tadi kurang." Demi Tuhan apa yang dikatakan B
"Tuan, anda baik-baik saja?" Melihat Bryan yang seperti orang kebingungan membuat Bianca sendiri iba."Lupakan saja, masuklah ke dalan kamar, Bianca. Di sini sangat dingin dan kau akan kedinginan kalau terlalu lama di sini." "Saya baik-baik saja, Tuan." "Masuklah ke dalam, saya tidak menerima penolakan." Bianca pun akhirnya menurut, daripada dia harus terus berdebat dengan Bryan dan jelas itu tidak akan ada ujungnya.Dengan perlahan Bianca kembali masuk ke dalam diikuti oleh Bryan di belakangnya. Sesekali Bianca melirik ke belakang dan mendapati Bryan berjalan sambil menundukkan kepalanya."Saya akan membuatkan teh untukmu, jadi tunggulah sebentar," ucap Bryan."T—tidak usah, Tuan. Saya akan membuatnya sendiri saja," sahut Bianca cepat. Bryan yang baru saja ingin ke luar langsung menghentikan langkahnya. "Kau tahu kan jika saya tidak menerima penolakan, Bianca? Jadi apa yang saya mau akan saya lakukan.""Baiklah kalau begitu, Tuan." Bianca sudah tidak mau terus membantah apa yang
"Ehm, kau terlihat sangat cantik hari ini, Bianca." Teguran seorang lelaki yang tiba-tiba terdengar, membuat Bianca–yang sedang mengelap meja–menoleh. Dia tersenyum saat mendapati salah satu pelanggan menyapa dirinya. "Oh, Maxim … apa selama ini aku tidak cantik?" tanyanya sambil tersenyum, mengangkat sebelah alisnya. "Kau selalu cantik, Bianca, bahkan dengan apron dan lap kotormu itu. Aku bahkan menyukai wajahmu yang berkeringat," goda Maxim lagi, cepat-cepat duduk di meja yang baru saja dibersihkan oleh Bianca. "Terima kasih, itu terdengar seperti sebuah pujian," kata Bianca meringis. "Aku memang sedang memujimu, Sayang." Maxime terkekeh. "Jadi, kapan kau mempunyai waktu luang untuk menerima tawaran kencan dariku?" "Aku akan menghubungimu, jika sudah senggang," kata Bianca serius. "Kau di sini untuk merayuku, atau mau pesan beberapa kue?" "Tentu saja pesan kue dan juga melihatmu," ucap Maxime terkekeh. "Bawakan aku red velvet dan juga moccacino,"pintanya."Kalau begitu tunggu
"Siapa kalian? Kalian mau apa?" teriak Bianca, yang langsung memposisikan diri di depan Bea untuk melindungi bocah itu. Dia begitu takut, jika para lelaki itu adalah komplotan penculik yang ingin menculik anak kecil. Mau bagaimana pun, Bianca tidak tahu siapa dan bagaimana bentuk orang tua Bea. Dia hanya ingin melindungi bocah itu, sampai seseorang yang benar-benar bisa membuktikan jika mereka memang orang tua Bea, datang menjemput."Maaf, Nona, kami hanya ingin mengajak Nona kecil kami untuk pulang," jawab seorang lelaki yang terlihat seperti pemimpin kelompok, berbicara begitu sopan dengan Bianca. Dahi Bianca berkerut dalam, masih merasa curiga dan tak mempercayai mereka. "Memangnya siapa Nona kecil kalian?" tanya Bianca ketus. Lelaki yang berdiri di hadapan Bianca itu tak menjawab, hanya mengangkat dagu untuk menunjuk bocah yang ada di belakang Bianca. Tak mendengar jawaban, membuat tatapan Bianca memicing. "Siapa nama Nona kecil kalian?" tanyanya lagi. "Bealize Caethleen Stef
"Boo, ayo tidur, ini sudah malam." Seruan tegas penuh perintah tiba-tiba mengalihkan Bea dan Bianca yang sedang bermain ular tangga di ruangan khusus bermain. Bianca segera duduk tegak, dan lagi-lagi dia menjadi gugup saat harus berhadapan dengan Papa Bea. Tadi, saat pertemuan pertama mereka, keduanya hanya berbincang sebentar sebelum akhirnya Papa Bea menerima telepon dan meninggalkan mereka. Bea yang masih ingin bersama dirinya, memaksanya untuk ikut bermain. Bianca sudah menolak halus, bagaimana pun dia harus pulang untuk melihat tokonya lagi. Tetapi, lagi-lagi Bea menangis dan merengek padanya yang membuat Bianca kalah telak. Untung saja selama beberapa jam terakhir ini, Papa Bea tak ikut bermain. Mau bagaimana pun, Bianca merasa tak nyaman. Karena Papa Bea telah membuat jantungnya berdegup kencang dengan liar sore tadi. Tapi kini, lelaki itu kembali muncul di hadapannya. Dan lagi-lagi, Bianca tak bisa mengontrol detak jantungnya. Cepat-cepat dia mengalihkan pandang, dan berus
"Mama, tolong." Suara teriakan anak kecil itu, seketika membuat Bianca menoleh. Dia yang sedang menyibukkan diri membuat resep baru, segera bangun dengan tergesa untuk mendatangi anak kecil yang sedang terjatuh itu. Namun, dia kalah cepat. Seorang wanita muda tiba-tiba datang menolong anak kecil tadi, menggendongnya lalu menenangkannya. Hal ini membuat tubuh Bianca kaku, dalam hatinya bertanya-tanya, apa yang sedang dia lakukan saat ini? Tadi saat mendengar anak kecil menangis, dia mengira itu adalah suara Bea yang meminta tolong. ‘Ada apa dengannya? Kenapa dia selalu memikirkan tentang Bea selama ini?’Seminggu telah berlalu, sejak pertemuan pertama Bianca dan juga Bea. Seminggu sudah mereka berpisah, dan tak pernah lagi bertemu. Tetapi, entah kenapa Bianca merasa rindu pada bocah perempuan kecil tersebut. Terlebih lagi, bayangan sosok Papa Bea selalu menghantui benaknya setiap malam. Wanita itu menghela napas panjang, menggelengkan kepala cepat berusaha sadar dalam angan-angan.
"Tidak, tidak, kau salah paham. Bukan dia!" sahut Bianca cepat, dia segera bangun, dan berdiri di samping Papa Bea seraya menatap Maxim serius. "Kukira dia, jika dia, aku pasti sudah melampiaskan kekesalanku," gumam Maxim berdecak. Lelaki itu menghela napas panjang, lalu mendekati Bryan dan menepuk pundak lelaki itu dua kali. "Hati-hati, Bro, jangan sampai terpesona pada pemilik toko kue ini. Dia sudah punya calon suami. Jika kau nekat, kau bisa patah hati sepertiku," imbuhnya berpura-pura sedih, lalu berpaling pergi dari sana. Bianca hanya meringis mendengar ucapan Maxim, dan dia memaksakan senyumnya saat Papa Bea itu menatapnya lekat. "Bu, ini siapa? Ganteng amat," bisik Mary yang tiba-tiba ada di dekatnya, merangkul tangannya erat. Bianca tampak bingung menjelaskan. "Apa beneran dia bukan calon suami Ibu? Jika beneran, bolehkan saya berkenalan dengannya?" bisik Mary lagi sambil terkekeh pelan. "Mary, jangan seperti itu. Ayo yang sopan, dia kenalanku. Lagi pula, bukankah kamu