Share

DDC 3: Tak Seindah Namanya

Hari-hari terus berlalu. Malam terus berganti. Harapan menjadi impian dan masa lalu menjadi kenangan. Setiap jam, setiap menit, dan setiap detik adalah perjuangan. Setiap waktu adalah menerjang langkah menghantam rasa pilu. Salwa meninggalkan masa lalu untuk ia raih dengan sabar atas takdir hidupnya.   

  

“Ya ampun ini gimana pulangnya kalau ujan begini?” gumamnya. Dia menengadah ke langit dan merasakan tetes-tetes di tangannya. 

 

    Baru saja Salwa turun dari bus Way. Perjalanan dari hotel ke halte dekat rumahnya. Tapi sepertinya perjalanannya terhenti cukup lama disini karena terhalang oleh hujan yang cukup deras.

Menghela nafas dalam beberapa kali, sudah dua puluh lima menit lamanya Salwa menunggu. Entah sampai kapan hujan mereda. Sementara tubuhnya sudah teramat lelah. 

 

Kembali duduk, Salwa melamun memikirkan bagaimana caranya pulang. 

 

“Malam-malam sendiri disini?” 

 

Salwa pun berjingkat, menoleh ke arah samping tempat duduk yang tiba-tiba telah di duduki oleh seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahunan. Dalam diamnya, Salwa mengagumi. Bahwa pemilik suara itu, berparas tampan dan rupawan. 

   

“Maaf, aku ikut duduk disini.”  

  

Salwa tak menjawab sama sekali gumamnya. Dia hanya merespons dengan tersenyum dan menganggukkan kepala. 

    

“Hujannya semakin malam malah semakin deras,” terdengar pria itu menggerutu. “Jadi, kamu ngapain sendirian disini? Nanti ada orang jahat.” 

    

Salwa kembali menoleh ke samping. Namun sebelum menjawab, laki-laki itu malah kembali berucap. “Nggak takut?” 

 

Salwa kembali menggeleng, takut untuk apa? Memang begini pekerjaannya sehari-hari. Dunia malam adalah dunianya. Tak perlu khawatir. Dengan preman saja Salwa tak pernah takut. 

 

“Kamu diam saja? Kamu takut aku orang jahat? Tenang, aku bukan orang jahat,” lanjutnya lagi. Beranjak berdiri, lelaki itu mengatakan, “Yaudah, kamu tunggu di sini sebentar.” 

 

  Laki-laki yang masih belum diketahui namanya itu tiba-tiba meninggalkan tempat duduk, menyisakan bangku yang kosong dan meninggalkan tas ranselnya yang menurut dari penglihatan mata Salwa, berisi cukup banyak barang.  

    

Salwa mengamati laki-laki itu yang berjalan cepat untuk menghindari kebasahan. Mendekati seorang penjual minuman seduh di seberang. Yang menjajakan dagangannya dengan memakai sepeda. 

   

Beberapa menit berlalu, laki-laki itu kembali dengan membawa dua cup minum yang masih berasap. 

  

“Hei, ini aku beli teh.” Dia menyodorkannya kepada Salwa, “Tenang, aku nggak kasih apa-apa di dalamnya kok. Ini aku beli sama pedagang yang itu.” tangannya menunjuk si pedagang yang masih berada di tempat yang tadi. 

    

Meskipun merasa kurang nyaman, Salwa pun menerimanya dengan gerak ragu.  

   

“Terima kasih.” 

    

Laki-laki yang belum diketahui namanya tersebut lantas menanggapi ucapan terima kasih Salwa dengan menganggukkan kepala dan sedikit tersenyum. 

    

Masih merasa ragu dengan teh hangat yang sedang ia peluk dengan jari-jarinya, Salwa menoleh. Mengamati lamat-lamat orang yang berada di sampingnya.

Wajar ‘kan? Tentu saja ia masih dalam mode waspada. Bagaimanapun dia orang asing. Setidaknya, jika ada apa-apa terjadi dengannya, Salwa sudah memahami orang itu. 

Sebegitu konyolnya dia berpikir. Ini hanya satu gelas cup teh hangat, Salwa.  

  

“Kamu masih takut berbicara denganku ya?” tak berapa lama pria itu menyodorkan tangannya, “Oh iya, namaku Rafa.”

  

Salwa menyambut uluran tangan orang yang bernama Rafa itu, “Namaku Salwa.”   

  

“Nama yang bagus, berarti ketenangan.” Salwa tertegun. Rafa mengetahui arti nama Salwa di luar kepalanya. “Apa nama kepanjangan nya?” 

 

Lagi-lagi, Salwa menatapnya dengan heran. Haruskah ia mengatakan nama kepanjangan nya dengan orang asing?

Namun, beberapa detik kemudian Salwa mengatakan nama panjangnya. Dalam hatinya mengakui bahwa dia sudah mulai merasa nyaman dengan orang ini. Sepertinya, dia orang baik-baik. 

“Nurjannah.” 

 

  “Ketenangan cahaya surga,” jawab Rafa dengan cepat, “arti namamu.” 

   

Kenapa bisa tahu? Batin Salwa. 

 

Salwa membenarkan ucapan Rafa barusan dengan senyum tipis dan anggukan kepala.

Tapi, rasanya, ia malu dengan namanya sendiri. Terkadang, ia berpikiran ingin menggantinya saja karena nama itu karena tak sesuai dengan perilakunya.

Ayah bilang, nama itu adalah pemberian dari almarhum ibu. 

   

“Kamu belum jawab pertanyaanku,” 

    

Salwa menaikkan alisnya. “Pertanyaan yang mana?”   

    

“Kamu kenapa malam-malam sendirian disini?” 

   

“Aku habis pulang kerja.” 

 

“Kerja apa pulang sampai malam-malam begini?” 

   

Salwa menelan ludahnya susah payah. Kali ini dia kembali diam lantaran tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Apa perlunya orang ini tahu? Batinnya mengatakan demikian.

 

“Tinggal di mana? Nanti pulangnya aku antar sampai depan rumah.”

 

Ucapan Raffa sontak membuat Salwa mengerut. Sampai mau repot-repot mengantarkannya, memangnya Salwa anak kecil?

 

 “Nggak usah, aku tinggal di dekat sini kok.” 

   

“Iya dekat sininya di daerah mana?” 

   

“Cirendeu.” 

    

“Oh daerah situ. Aku juga mau ke bawah Situgintung.”  Raffa menariktasnya dan mencari-cari sesuatu di sana.

Selanjutnya, dia mengeluarkan benda persegi empat berwarna putih dan korek api. Sepertinya, Raffa akan merokok. 

 

“Maaf, kalau kamu tidak suka aku akan menyingkir.” 

 

 “Nggak perlu, santai saja.” 

   

Ah iya, ngapain menyingkir. Terkena asap rokok bukannya sudah biasa? 

 

 “Kamu ngapain bawa-bawatas ransel sebesar itu?” tanya Salwa. Terus terang, ia teramat penasaran. Dan salwa pikir, Raffa seperti orang yang sedang kabur dari rumah.  

   

“Kabur dari rumah?” 

   

“Pergi dari rumah Abi sama Umi.” 

    

Dari panggilannya saja Salwa bisa menilai bahwa, Raffa pasti lahir dari orang agamis. Tapi kenapa penampilannya sedikit brutal? Dan malah justru terlihat berantakan?

   

“Oh, kamu lagi ada masalah?”   

  

“Ya.” jawab Raffa singkat, kemudian melanjutkan kalimatnya lagi. “Wanita yang akan kunikahi, mengkhianatiku tanpa sebab. Dan aku memergokinya sendiri.” 

 

  “Sakit.” sambil menunjuk bagian dadanya. “Hahahaaa…” 

   

Salwa mengernyit pada saat melihat Raffa menertawakan dirinya sendiri. 

    

“Manusia hidup memang gitu, kalau nggak meninggalkan, pasti ditinggalkan.” 

    

Masih dengan bergumam sendiri, Salwa melihat laki-laki yang kacau di sebelahnya menghabiskan batang rokok hingga habis setengah wadahnya.

Dan ternyata hujan pun mereda pada saat hari menjelang pagi. Entah kenapa, Salwa seperti enggan untuk pergi. Sesaat, kenyamanan itu ia dapatkan. Raffa telah berhasil menularinya tawa. Menghiburnya dalam kesunyian. 

 

Salwa membuang bekas minumnya ke tong sampah. Ternyata minum teh hangat membuat tubuh Salwa menjadi lebih hangat dan perasaannya jauh lebih baik. 

    

“Nah itu angkot lewat.” tunjuk Raffa pada angkot yang berwarna biru bernomor empat kosong satu jurusan Cirendeu. 

   

Kenapa nggak dari tadi sih? gerutu Salwa dalam hati. 

   

Angkot di daerah ini memang beroperasi selama dua puluh empat jam. Biasanya mereka sering mangkal di terminal lebak bulus. Tapi tak bisa dipungkiri keadaan mereka sudah sangat jarang karena kebanyakan orang-orang zaman sekarang lebih menyukai atau menggunakan ojek online. 

   

“Tapi gimana dengan kamu Raff?” 

   

Tapi kenapa Salwa justru mengkhawatirkan Raffa? Laki-laki yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu.  

 

 “Yaudah, aku ikut. Nanti aku berhenti di gang yang mau masuk Situgintung.” 

Walaupun bukan jurusannya, tapi langkah Raffa mengikuti Salwa yang masuk ke dalam angkot itu. Keduanya lantas duduk dan duduk bersebelahan. 

   

“Sepertinya kamu kedinginan.”  Salwa memperhatikan Raffa yang sedang melepas jaket yang dipakainya. “Kamu pakai ini, ya.”     

  

“Nggak usah,” tolak Salwa cepat. “Sebentar lagi juga pasti nyampe.” 

   

“Sudah, pakai saja.” Raffa langsung mengalungkan jaketnya kepada Salwa. Salwa menatap Raffa dengan senyum hangat. Salwa senang diperhatikan seperti ini, merasa dispesialkan. “Terima kasih Raffa.” 

   

Raffa mengangguk sebelum membuang tatapannya ke arah jalanan. 

   

“Masih jauh?” tanya Raffa tanpa menoleh. 

   

“Aku berhenti di pos polisi.” 

   

“Oh ....”   

   

Entah kenapa Raffa pun merasa kehilangan karena sebentar lagi pasti angkutan akan ini berhenti menurunkan Salwa. Itu berarti sudah waktunya mereka berpisah. 

    

“Aku dah hampir sampai, ini jaketnya,” Salwa mengembalikan jaket itu. “Ini lumayan membuat tubuhku sedikit hangat.” 

 

Raffa terpaksa menerimanya meskipun seperti tak rela. “Harusnya kamu pakai saja.” 

   

Salwa menggeleng. 

   

“Hati-hati Salwa.” 

 

“Iya, Raffa kamu juga!” serunya karena posisi Salwa sudah turun dari mobil. Meninggalkan Raffa yang masih saja menatapnya. 

   

Seolah ada yang terlupa, Raffa menyesali sesuatu. Ya, penyesalan memangselalu datang terlambat. Raffa lupa meminta atau meninggalkan nomor teleponnya.

Namun, ia telah mengetahui nama indah yang mungkin tak pernah bisa ia lupa. Salwa nurjannah. Ketenangan cahaya surga. Harapan terbesarnya, suatu saat nanti ia bisa bertemu lagi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status