Share

Harta Milik Istri Pertama

“Kamu jangan menjanjikan apapun ke orang apalagi pakai nama aku!”

“Ya maaf, Mas. Memang kamu tidak mau membuat ibu dan bapak senang? Hanya mobil loh, Mas. Uang kamu itu pasti banyak.”

Aku menghela napas panjang, mengusap wajah dengan kasar. Sepertinya aku harus pastikan jika Laras bukan wanita yang matre, belum satu bulan menikah malah minta dibelikan mobil untuk orang tuanya. Nanti apa lagi?

Banyak uang bukan berarti aku suka menghamburkannya. Nilam bahkan menyarankan aku untuk berinvestasi daripada harus membeli sesuatu yang tidak penting. Laras malah sebaliknya, dia merongrong.

“Lebih baik sekarang cari tempat tinggal dulu saja. Memang kamu mau tetap di sini?” Langsung kualihkan pembicaraan.

“Tapi aku yang pilih ya, Mas.” Senyumnya kembali merekah.

“Iya. Aku ada rekomendasi tempat tinggal dari temanku.”

Jangan harap aku akan membawamu tinggal di apartemen mewah seperti yang ad adalam benakmu. Aku ingin tahu apakah kau bisa menerima jika tinggal di tempat sederhana atau tidak.

Tidak lama kami di rumah orang tua Laras. Langsung pamit agar tidak kemalaman sampai di tempat tujuan.

“Mas, kok masuk ke dalam perkampungan begini sih? Masa rumah elit lewat tempat kumuh,” celetuk Laras sambil memperhatikan tempat yang dilewati.

“Diam dan lihat saja nanti.”

Kuparkirkan mobil di halaman sebuah rumah.

“Ini rumah siapa, Mas?”

“Rumah yang akan kita tinggali,” jawabku langsung turun, tidak sempat melihat seperti apa ekspresi wajah Laras.

“Mas, Mas Bagas!” Laras menyusul sambil berteriak memanggil.

“Tidak usah berteriak begitu. Malu didengar tetangga,” tegurku.

“Kamu bilang tadi kita akan membeli rumah sesuai dengan keinginanku. Kenapa malah ini sih? Aku tidak mau.” Laras mencebik sambil melipat tangan di dada.

“Ya sudah, terserah. Mau kembali ke rumah orang tuamu, silahkan.” Tanpa memperdulikannya aku mengayunkan langkah masuk ke dalam.

Pemilik kontrakan ada di dalam. Aku mengirimkan uang sewanya dan lebih dulu melihat kondisi kontrakan yang rapi dan terawat ini lewat foto. Rumah ini lebih luas daripada tempatku dan Nilam mengontrak dulu, hanya satu ruangan dan di ruangan itu dijadikan kamar dan juga dapur. Sedangkan kamar mandi ada di luar. Menyedihkan memang kehidupan kami dulu.

“Kalau ada masalah apa-apa langsung hubungi saya saja ya, Mas Ganteng,” ujar Ibu kontrakan sebelum berlalu.

“Ish! Tua-tua genit.” Laras mendengkus kesal.

“Tidak jadi kembali ke rumah orang tuamu?”

“Aku mau di sini saja bersamamu, Mas. Dimanapun kamu berada aku akan ikut.”

Sikapnya langsung berubah. Apa mungkin takut tidak aku berikan uang tambahan?

Kami langsung menata barang-barang.

Rumah ini sudah bersih dan tinggal di tempati. Perabotan pun lengkap hanya kurang mesin cuci saja, kulkas ada meskipun tidak besar.

Laras tidak lagi mengoceh protes soal rumah ini. Kalau memang selama beberapa bulan ini dia tidak mengeluh maka aku berjanji akan membelikan apartemen untuknya, atas namanya. Sekarang aku hanya ingin menguji karena dia sendiri mengatakan tidak masalah hidup sederhana asalkan denganku.

“Mas, nanti aku mau ikut arisan ya,” kata Laras sambil menyisir rambutnya.

Aku yang sedang duduk bersandar di ranjang sambil membaca laporan langsung mendongak.

“Tidak usah ikut arisan-asrisan begitu. Di sana tempat orang-orang yang suka pamer. Nilam saja tidak pernah mau.”

Brak!

Dengan kasar Laras menaruh sisir sambil menggebrak meja.

“Kenapa sih kamu terus bawa-bawa nama dia. Aku ‘kan sudah bilang kalau sedang berdua tidak usah membawa namanya apalagi membahas soal dia dan aku paling benci kalau kamu membanding-bandingkan aku dengan dia.”

“Namanya juga refleks, Ras.”

Aku tidak bohong. Mungkin juga karena aku sangat merindukan dia.

Bahkan seutas senyumnya di pagi hari sangat kurindukan. Tidak pernah kulihat Nilam absen tersenyum meski sehari, dalam keadaan sakit pun bibirnya menyunggingkan senyum. Namun setelah aku ketahuan menikah lagi, tidak ada senyum yang kulihat darinya.

Perhatianku beralih saat sebuah pesan masuk.

[Terjadi penurunan drastis karena kabakaran kemarin, Pak. Hampir 50%.]

“Apa? Kenapa bisa sedrastis ini? Padahal aku juga sudah memberikan ganti rugi, mereka malah tidak lagi menggunakan jasa ekspedisiku. Apa-apaan ini.”

Diwaktu istirahat begini, ada saja yang membuatku sulit tidur. Kalau begini caranya aku harus putar otak, selain itu juga aku akan mengembangkan sayap untuk mencari peruntungan lain. Tidak mungkin hanya mengharapkan dari satu arah saja.

“Kenapa, Mas?” Laras berjalan mendekat, naik ke atas kasur dan duduk di sampingku.

“Hanya masalah pekerjaan. Aku ini banyak sekali masalah jadi jangan manja dan membuatku semakin pusing, Laras.”

Tangannya naik memijat pundakku, “Makanya kalau ada apa-apa kamu harus cerita, aku ini istri kamu, Mas.”

“Kalau merasa kamu istri aku, kamu harus berperan sebagaimana istri sesungguhnya. Jangan banyak mengeluh.”

Laras tersennyum tapi seperti dipaksakan, “Iya, Mas.”

***

Mobil kuparkirakan agak jauh dari rumah. Sengaja karena aku ingin melihat kondisi rumah secara diam-diam. Biasa jam-jam seperti ini Nilam sedang berada di depan rumah sedang berjemur sambil menyiram tanaman.

Perkiraanku memang tidak salah. Aku bersembunyi di balik mobil yang terparkir di seberang rumah.

Nilam baru saja keluar dari rumah dengan senyum di bibirnya, dia tidak sendiri. Ada Tasya bersamanya. Pasti Mbak Dilla juga ada di dalam.

Setidaknya aku tenang jika Nilam tidak sendirian di rumah.

“Tante, nanti tanam bunganya warna pink ya. Tasya suka warna pink.”

Suara Tasya terdengar sampai sini.

“Iya, nanti kita tanam berbagai warna di sini,” jawab Nilam dengan suara lembut.

Aku sampai terpaku karena melihatnya tampak lebih cantik meski wajahnya pucat. Sampai sekarang aku belum tahu kondisi Nilam karena Bang Haikal masih belum memberikan aku informasi.

Sebenarnya bisa saja aku membayar orang untuk mencari tahu tapi itu bukan gayaku. Aku lebih percaya pada orang terdekatku.

“Nilam, Mas sangat merindukanmu.” Ingin sekali aku mengatakannya langsung.

Melihat dia dari kejauahan dan mendengar suaranya saja membuatku sangat senang.

“Om Bagas!”

Deg!

Aku tersentak Tasya tiba-tiba memanggil. Tubuhku langsung membeku tak dapat bergerak.

Sialan. Aku ketahuan sedang memperhatikannya. Padahal aku sudah hati-hati.

“Om Bagas sini!” Tasya dengan girangnya melambaikan tangan padaku.

Langkahku terayun menghampiri mereka. Nilam pun langsung membukakan pagar, aku kira akan diusir olehnya ternyata tidak.

“Kamu ke sini pasti ada urusan penting ‘kan, Mas?” tebaknya seolah tahu apa yang akan aku bicarakan.

Senyum yang tadi menghiasi bibirnya bahkan langsung lenyap.

Aku mengangguk, “Bisa ‘kan kita bicara sebentar saja?”

“Duduk,” ujarnya lalu meraih tangan Tasya, “Tasya bantu Tante siram tanaman yang di belakang mau ya?”

Tasya mengangguk, “Mau, Tante.”

Nilam melirikku, “Aku akan kembali. Silahkan duduk.”

Pintu ditutup rapat membuatku tidak bisa ikut masuk. Jika seperti ini aku jadi tamu di rumah sendiri.

Tak lama Nilam datang membawa secangkir teh.

“Silahkan diminum.”

Dia memperlakukanku seperti tamu sungguhan.

“Sayang-”

“Kita sudah jadi mantan ya. Tolong ingat itu,” ucapnya dengan ketus.

“Tapi sikapmu jangan begini. Kenapa kamu ketus sekali?”

Jujur aku tidak nyaman. Selama kami menikah bahkan Nilam tidak pernah seperti ini, seberapa marahnya pun tidak pernah aku diperlakukan begini.

“Ada perlu apa ke sini?” Dia bertanya tanpa menatapku.

“Mas mau membicarakan soal aset.”

Keningnya berkerut, “Aset mana?”

“Perkebunan dan tanah yang ada di kampung.”

“Itu milikku, atas namaku. Bahkan seluruh harta yang kamu miliki itu hakku, Mas. Perlu aku ingatkan surat perjanjian yang pernah kita buat sebelum menikah? Semua harta yang kamu miliki akan jatuh ke tanganku saat kamu memiliki wanita lain. Lupa?”

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
mantab nih istri kek gini. tegas & lugas. smg karakternya tetap bertahan di bab2 berikutnya ya
goodnovel comment avatar
Noer Gofer
novel ngawur
goodnovel comment avatar
Anna Fauza
bagus sekali
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status