Share

Doa Istri Pertama Mendatangkan Derita
Doa Istri Pertama Mendatangkan Derita
Author: Azalea

Hari Pertama dan Derita

“Selamat ya, Mas. Akhirnya kamu mendapatkan pendamping baru. Kamu sudah bebas sekarang, tidak perlu lagi mengurus aku yang berpenyakitan.”

Deg!

Jantungku seperti berhenti berdetak mendengar suara Nilam. Darimana dia tahu kalau aku sudah menikah lagi?

“Sa-sayang. Apa maksudmu? Mas tidak mengerti.” Aku langsung menutup pintu kamar pengantin dan mengunci dari dalam, jangan sampai ada yang tiba-tiba masuk.

“Jangan lupa ambil barang-barangmu di rumah. Aku tidak mau ada satupun barangmu yang tertinggal.”

“Nil-”

Tut ....

Sambungan telepon langsung terputus sebelum aku selesai bicara.

“Argh!”

Kenapa Nilam bisa tahu soal pernikahan ini? Orang tuaku saja tidak tahu.

Dia pasti akan menerima setelah kujelaskan. Aku tidak ingin kehilangannya, aku sangat mencintai Nilam.

Kusambar kunci mobil tanpa memperdulikan mereka yang meneriaki ku. Saat ini aku hanya ingin mendatangi Nilam, takut jika dia berbuat hal konyol.

Mobil milik Nilam masih terparkir di pekarangan rumah. Aku langsung turun, berlari menuju pintu masuk.

Keningku mengernyit saat aku tidak bisa membuka pintu, menempelkan ibu jari bahkan memasukkan pin tidak membuat pintu rumah langsung terbuka.

Dia menggantinya?

Kriet!

Pintu terbuka sebelum aku menekan bell. Nilam mendorong keluar dua koper besar dan bisa kupastikan itu adalah barang-barangku.

“Kurang baik apa aku ini. Sudah kukemasi semua barang-barangmu agar kau tidak perlu berlama-lama di sini.”

“Sayang ....”

“Kenapa masih berdiri di situ? Pergilah. Pengantinmu pasti menunggu.”

Suara Nilam terdengar begitu santai, tapi aku bisa melihat luka dari sorot matanya.

“Sayang. Mas minta maaf.” Aku berniat meraih tangannya namun dia malah mundur seolah tak ingin kusentuh.

“Maafmu kuterima tapi kehadiranmu tidak akan lagi kudamba. Semoga saja istri barumu bisa mendampingi saat kau melarat nanti. Dan jangan harap dia bisa sepertiku.”

“Kenapa kamu bicara begitu! Kamu itu istriku, jelas kamu harus ada disampingku dalam kondisi apapun. Kalau Mas melarat kamu juga yang susah nanti.” Tanganku mengepal mendengar perkataannya.

Baru sekarang aku melihat Nilam bicara sekasar ini. Dia seperti mendoakan aku kembali miskin seperti dulu. Aku jelas tidak akan mau, tidak mudah bagiku ada di posisi sekarang. Butuh waktu panjang dan juga perjuangan, dia tidak tahu bagaimana jatuh bangunnya aku karena dia hanya ada di rumah.

Nilam menyeringai, “Sebelum menikah denganmu aku bekerja, bisa memiliki penghasilan sendiri dan setelah berpisah denganmu tidak sulit bagiku menjalani kehidupan seperti dulu. Kalau kau mengira aku tak bisa tanpamu, kau salah besar, Mas. Aku bisa tanpamu, Mas. Ingat, aku ini istri yang sudah kau jatuhi talak tiga. Apa perlu aku ingatkan, betapa kejamnya dirimu yang meninggalkan aku yang sedang berjuang melawan penyakit malah kau berikan talak.”

“Saat itu Mas dalam keadaan kalut, ada masalah besar di kantor dan kamu malah terus ingin ditemani.”

Dia menganggukkan kepalanya, kulihat matanya sudah berembun dengan bibir bergetar seperti menahan tangis, “Dalam keadaan apapun talak yang kau ucap tidak bisa ditarik lagi jadi silahkan pergi. Nikmati hari-hari manis bersama pengantimu sebelum nanti kau harus menelan pahitnya empedu,” ujarnya lalu melangkah masuk dan menutup pintu.

Aku tidak tahu jika Nilam sudah pulang dari rumah sakit bahkan yang membuatku kaget dia juga tahu soal aku yang sudah menikah dengan Laras.

Memang salah jika aku menikah lagi? Aku akan adil pada Nilam dan juga Laras, karena Nilam yang berulang kali keguguran membuatku tidak tega melihatnya jika harus hamil dan berujung hal yang sama. Aku menikahi Laras juga agar bisa memiliki keturunan. Perusahaanku harus ada yang menjalankan, karena aku tidak akan selalu muda.

Baru saja aku berniat menekan bell, ponsel langsung berdering.

“Mas ... kamu dimana? Cepat kembali.” Suara Laras begitu mendayu dari ujung telepon membuatku tidak tega untuk menolak.

Kuhela napas panjang sebelum meninggalkan rumah itu. Rumah yang kuberikan pada Nilma sebagai hadiah untuk hari jadi pernikahan kami yang ketujuh tahun lalu.

***

Pikiranku terganggu, bayangan wajah Nilam berkelebat di dalam benak. Hatiku berdenyut nyeri membayangkan dia menangis sendirian karena ulahku.

Sengaja aku tidak memberitahu siapapun karena menghindari agar Nilam dan orang tuaku tidak marah. Tapi kenapa bisa Nilam sampai tahu. Jika Nilam tahu, sudah pasti orang tuaku juga akan tahu cepat atau lambat.

Kuhempaskan bokongku di kursi yang ada di teras. Orang-orang sibuk membereskan bekas resepsi.

“Laki-laki busuk sepertimu memang tidak pantas mendapatkan wanita sebaik Nilam.”

Aku terperanjat mendengar suara itu dan sontak menoleh, mengerutkan kening, mengingat siapa wanita di depanku ini.

“Hatiku teriris melihat sahabatku dikhianati begini.”

“Dea ....” Aku baru mengingatnya, “kau yang memberitahu Nilam soal ini?”

Dea melemparkan amplop coklat tepat di wajahku, “Aku kembalikan uangmu itu. Andai tahu dari awal kau yang menikah, aku tidak akan sudi menjadi MUA untuk jalang itu. Tanganku malah kotor nantinya.”

“Jaga ucapanmu!” pekik Laras yang tiba-tiba ada di sampingku.

“Jangan bangga hanya karena sudah merebut suami orang, menghancurkan kebahagiaan orang lain. Ingat doa orang yang terzalimi itu mudah sekali terkabul. Kalian siap-siap saja.” Dea berbicara sakras sebelum pergi begitu saja.

“Ya ampun, ternyata Laras itu merebut suami orang?”

“Baru bangganya lagi dia pamerkan ternyata hasil curian.”

“Masih punya harga diri dia sampai membuat pesta pernikahan ini.”

“Kasihan sekali istri pertamanya.”

“Sebentar lagi juga mereka menderita. Pelakor itu berteman akrab dengan karma.”

Beberapa orang yang ada disana langsung mencibir

“Diam kalian!” bentak Laras, “kalian di sini aku bayar ya.”

“Cih. Kami tidak sudi bekerja untuk pelakor sepertimu, lagi pula belum ada uang yang kami terima. Anggap saja itu sumbangan untukmu yang suka mencuri,” ujar salah seorang wanita paruh baya bertubuh tambun.

“Iya, betul. Ayo, mending kita pergi saja.”

“Mas. Mereka menghinaku.” Laras bergelayut manja di lenganku.

Aku mengurut pelipis yang terasa berdenyut, baru saja satu hari dan hal-hal seperti ini malah bermunculan membuat kepalaku seperti akan pecah.

“Tidak usah didengarkan. Ayo masuk.” Aku merangkul pundaknya masuk ke dalam mobil.

Niatnya memang kami mau ke hotel yang sudah disiapkan. Selain karena ingin anak, jujur aku memang tertarik pada Laras sejak dia pertama kali bekerja di kantorku. Dia selalu berpenampilan menarik, membuatku sulit menjauhkan pandangan darinya.

“Mas, bulan madu kita ke Swiss ya.”

“Aku masih banyak pekerjaan. Dan-”

“Mbak Nilam? Bisa tidak kamu jangan memikirkan dia kalau kita lagi berdua, Mas. Bikin kesel tahu.” Dia yang tadi bersandar mesra di pundakku langsung menjauh.

“Iya, maaf.”

“Aku maafin tapi belikan kalung ya. Aku bosan sama kalung ini.”

Aku hanya mengangguk. Selama perjalanan menuju hotel hanya dia yang terus berceloteh, aku hanya menyahut sesekali karena masih merasa kalut dengan sikap Nilam.

“Mas, ponsel kamu bunyi.”

Aku terhenyak saat Laras menepuk pundakku. Segera kutepikan mobil dan menjawab telepon dari kakakku.

“Kenapa, Mbak?”

“Ke rumah sakit sekarang. Di rumah sakit dekat rumah,” ucap Mbak Dilla..

“Siap-”

Sambungan telepon diputus sepihak. Ingatanku langsung tertuju pada Nilam.

“Turun, Ras.”

“Loh, kenapa kamu minta aku turun di sini. Hotel masih jauh loh, Mas.”

“Turun! Kamu pakai taksi, ini ada hal darurat.”

“Hal apa yang lebih penting dari aku, Mas?” Dia sangat keras kepala.

“Turun, Laras!” Nada suaraku meninggi membuatnya tersentak, “jangan membuatku marah.”

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
asik lo gantian sama Om mu perempuan racun itu si Laras
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status