Share

Masa Lalu

Saat Arga akan berbalik, mata mereka bertemu, dan menimbulkan keterkejutan di antara keduanya.

"A--rga?" 

"K--amu?" balas Arga yang juga tak kalah kaget melihat Yuna ada disini. 'Kenapa? Kenapa mereka harus bertemu lagi?' Batin Arga

Lalu, pandangan Yuna beralih ke botol susu bayi yang dipegang Arga dengan tatapan penasaran. Ada banyak tanya yang berkelindan di kepalanya melihat lelaki yang pernah mengisi hari-harinya ada di sini, sembari memegang botol susu. Sudah menikahkah dia? Batin Yuna bertanya. 

Hubungan mereka yang nyaris ke jenjang yang lebih serius harus kandas, terhalang restu orang tua. Mengingat itu membuat hati keduanya terasa sesak.

Ya, Yuna di jodohkan dengan lelaki lain, anak sahabat ayahnya, itulah yang membuat hubungan mereka yang sudah serius harus kandas. Arga yang sudah matang dengan pilihannya, akhirnya memilih mundur, bukan tanpa alasan. Tetapi, siapa sangka kalau ternyata Yuna juga tidak jadi menikah karena laki-laki yang dijodohkan dengannya yang ternyata bukanlah lelaki yang baik.

"Maaf, aku duluan!" ucap Arga akhirnya setelah mereka sejenak saling terdiam, dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

Tanpa menunggu jawaban dari Yuna, Arga pun melangkah.

"Ga!" panggil Yuna yang akhirnya terpaksa menghentikan langkah Arga.

"Eum ... Se--lamat ya!" ucap Yuna, Yuna menduga jika Arga telah menikah dengan perempuan lain, dan ia hanya ingin mengucapkan selamat meski hatinya sendiri begitu patah. Dalam hati ia tak menyangka jika Arga secepat itu menemukan pengganti dirinya, sementara hatinya sendiri masih berharap akan kesempatan itu.

Sejenak Arga terdiam, ia tak mengerti apa maksud dari Yuna, walau akhirnya ia memilih tersenyum. Arga sengaja menghindar, semakin melihat wajah Yuna sekan membangkitkan luka lama yang selama ini berusaha ia sembuhkan.

Arga pun kembali melanjutkan langkahnya, menemui Bik Jum yang mungkin saja sudah panik menunggu, karena bayi mungil itu belum juga berhenti menangis. Benar saja begitu sampai bayi dalam gendongan Bi Jum masih saja menangis.

"Maaf ya, Bik lama," ucap Arga sembari menyerahkan botol susunya. Bi Jum pun langsung mengambil botol susunya, dan memberikannya. Walau sempat menolak akhirnya tangis yang membuat Bik Jum dan Arga sempat cemas itu mereda seiring isi botol yang perlahan mulai berkurang.

Bik Jum dan Arga pun bernapas lega, bersamaan itu pintu IGD terbuka.

"Apa Bapak suami pasien?" tanya salah satu perawat yang menangani Laila.

Arga bingung, dan sekilas menoleh ke Bik Jum seakan minta penjelasan.

"Ah, kami saudaranya bagiamana dengan keadaan Laila Sus?" tanya Bik Jum cepat, seakan mengerti kegelisahan yang terpancar dari mata Arga.

Suster dengan tag name dibagian dada, bernama Raya Rahayu itu pun menjelaskan.

"Sepertinya Bu Laila kecapekan, dan tertekan. Ibu Laila sedang masa pemulihan pasca melahirkan, Jadi untuk Bapak tolong lebih diperhatikan lagi kondisi istrinya, jangan sampai kecapekan, dan tertekan," terang susternya. Walau ragu akhirnya Arga hanya bisa mengiyakan. 

Bersamaan itu Yuna datang, dan sempat mendengar obrolan mereka, ada perasaan perih yang tak bisa ia jelaskan seketika menjalari hatinya mendengar hal demikian, ternyata benar Arga sudah menikah.

"Nah kebetulan dokter Yunanya sudah datang yang nantinya akan menangani istri Bapak," terang suster Raya begitu melihat Dokter Yuna datang.

Mendengar nama Yuna disebut, dada Arga berdebar ada perasaan gugup yang tak bisa ia jelaskan. Kenapa? Diantara banyak dokter kenapa harus Yuna? Batin Arga bertanya. 

Baginya semakin sering bertemu, semakin besar kesempatan luka itu kembali terbuka.

"Ah, i--ya. Terima kasih," jawab Arga gugup.

"Silahkan, Bu!" ucap Raya mempersilahkan Dokter Yuna untuk masuk, dan memeriksa keadaan Laila lebih lanjut sebelum akhirnya dipindahkan ke ruang rawat inap.

Meski ada perasaan sesak Yuna tetap bersikap profesional layaknya seorang Dokter yang menangani pasiennya. Sekarang ia tahu seperti apa perempuan yang telah mengisi hati Arga.

Sememtara di tempat lain, Adam tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Ada rasa penasaran yang tak bisa ia temukan jawabannya hanya dengan berdiam di rumah, ia ingin tahu bagaimana dengan keadaan Laila, bagiamanpun Laila pernah membersamainya, dan bahkan baru saja melahirkan anaknya.

"Kamu kenapa sih, Mas kayak gelisah gitu?" tanya Farah melihat Adam yang sejak tadi hanya diam, dan memperlihatkan wajah kecemasan. "Jangan bilang kamu kepikiran perempuan itu!" Mata Farah menyipit sembari menatap Adam dengan tatapan penuh intimidasi.

"Ah, masa sih? Eng--gak, kok," jawab Adam gugup. "Mungkin, Mas hanya kurang istirahat aja karena beberapa hari kemarin di rumah sakit," lanjut Adam berkilah, walau kenyataannya memang begitu, tetapi perasaan lain lebih mendominasi.

"Oh begitu, ya udah kalau gitu, Mas istirahat aja. Aku kebetulan ada perlu," jawab Farah yang akhirnya percaya mendengar jawaban Adam yang memang terdengar masuk akal.

"Maaf ya, Mas gak bisa anterin kamu!"

Farah tersenyum. "Gak apa, ya udah aku pergi dulu ya!" Adam mengangguk. Sementara Farah langsung bangkit dari tempat duduknya.

"Lho-lho, Nak Farah mau kemana? Kok, buru-buru?" tanya Bu Ratmi heran melihat Farah bersiap pergi.

"Eh, Tante. Iya Tan, aku ada sedikit urusan, dan harus segera pergi," jawab Farah. Lalu, menyalami tangan Bi Ratmi.

"Dam kenapa kamu malah diam aja, kamu gak mau anterin Farah?" tanya Bu Ratmi melihat anak lelakinya hanya diam saja.

"Eum ... Gak apa Tan, tadi Adam bilang dia kecapekan, jadi biarin aja dia istirahat. Ya udah aku pergi dulu ya, Tan!"

"Oh begitu, ya udah hati-hati ya Sayang!" ucap Bu Ratmi, sembari melambaikan tangannya ke calon menantu kesayangannya.

Setelah Farah pergi, Adam pun segera bangkit dari tempat duduknya, dan berpamitan pada sang Mama untuk istirahat di kamar. Walau pada kenyataanya hatinya terus saja memikirkan Laila. Apa dia mulai jatuh hati pada perempuan yang selama ini dijadikannya sebagai pelarian patah hatinya? Ah, entahlah.

Meski Laila tak bisa melahirkan anak laki-laki seperti yang diharapkan keluarganya, harusnya tak mesti berakhir dengan seperti ini.

Di sisi lain, bukankah harusnya dia senang, berpisah dengan Laila, dan akan bersanding dengan perempuan yang pernah membuatnya tergila-gila pada masanya, tetapi mengapa ia merasa semua itu biasa saja.

Perlahan ia memutar kenop pintu kamarnya dengan perasaan gamang, kamar ini terasa sepi tanpa keberadaan Laila. Biasanya ada perempuan yang selalu tersenyum menyambut kedatangannya, tetapi kali ini sepi, sunyi.

Pikirannya tertuju pada Laila, ada perasaan yang memaksanya untuk menemui perempuan tersebut, dan melihat keadaannya. Tiba-tiba perasaanya kembali bersemangat ia pun langsung menyambar jaket di balik pintu, dan mengambil kunci mobil setelahnya buru-buru keluar.

Saat akan mencapai pintu utama, terdengar suara seseorang yang seketika menghentikan langkahnya.

"Adam? Mau kemana kamu?" nyali Adam seketika ciut, dan setelahnya.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status