Share

Bab 5. Tingkah Abimanyu

“Halo, Ayumi! Kamu ada masalah, ya?”

Pertanyaan Mama membuatku tergagap.

“Eh, enggak ada, kok, Ma. Enggak ada masalah apa-apa. Semuanya baik-baik saja,” jawabku hati-hati.

“Jadi kalian kapan akan menginap di sini? Sudah lama, ‘kan?”

“Oh, hm ... nanti aku bilang ke Mas Abi dulu, deh,” balasku gugup.

Aku tidak tahu, Mas Abi sudah mengatakan keputusannya semalam atau belum kepada Mama Vani. Namun, mendengar pertanyaan Mama membuatku yakin jika lelaki di hadapanku itu belum mengatakan apa pun kepada Mama.

“Si Abi itu, sibuk terus. Kalau enggak dipaksa main ke sini, enggak pernah mau. Kamu harus paksa dia ya, Ayumi,” keluh Mama.

“Ba-baik, Ma. Nanti aku paksa Mas Abi agar segera berkunjung ke rumah Mama,” sahutku cepat seraya menunduk.

“Baiklah kalau begitu. Mana suami kamu itu?”

Aku langsung memberikan ponsel ini kepada Mas Abi. Mendengar kata ‘suami’ keluar dari lisan Mama membuat hatiku kembali berderak patah. Sungguh-sungguh menyedihkan nasibku sekarang. Aku menjadi seorang janda di usia pernikahan yang belum sampai satu tahun. Lebih parahnya lagi, aku belum pernah disentuh oleh suamiku layaknya pasangan suami istri yang sebenarnya.

Seharusnya diriku ini lega karena masih perawan, ‘kan? Entahlah. Yang jelas, di sudut hatiku yang lain serasa ada yang meremasnya. Sakit sekali, sebab belum bisa menjadi istri yang sempurna. Padahal usiaku sudah tidak muda lagi. Di umur dua puluh tujuh tahun ini diriku harus merasakan patah hati, bahkan sebelum kuncup cinta itu tumbuh subur.

Setelah sambungan terputus dan aku tidak mendengarkan suara Mas Abi yang bercakap-cakap, aku memutuskan berdiri. Segera pergi dari sini tentu akan lebih baik.

“Ayumi, kamu mau ke mana?” tanya Mas Abi kaget.

“Permisi, Mas. Saya akan segera pergi dari sini,” ujarku seraya menggeret koper keluar rumah.

“Tunggu, Ayumi! Biar aku antar.” Mas Abi menahan koperku. Mau tak mau, aku pun menghentikan langkah lalu berbalik menghadapnya.

“Maaf, Mas. Urusan kita sudah selesai. Mas Abi juga sudah mengizinkan saya keluar. Tidak ada lagi yang perlu diurus di antara kita selain surat-surat perceraian. Aku juga ingin hidup tenang,” pintaku memohon.

“Tapi aku enggak mungkin membiarkan kamu pergi sendirian tidak tentu arah begini, Ayumi,” ucapnya tak mau kalah.

“Seharusnya Mas membiarkan aku pergi seperti Mas menalakku semalam. Tidak ada yang perlu dipikirkan. Aku juga sudah tidak ingin berurusan denganmu lagi, Mas,” tegasku.

“Tapi, bagaimana aku menjelaskan semua ini ke Mama?” tanyanya sedih.

“Jangan jadi pengecut, Mas! Berlakulah layaknya seorang lelaki. Keputusan ini sudah diambil ....”

“Bagaimana kalau kita rujuk saja?”

Ha? Gila ini orang!

“Maaf, aku tidak tertarik. Urusan rujuk dan Mama itu urusanmu.”

“Tapi ... aku benar-benar belum siap mengatakannya kepada Mama, Ayumi. Tolonglah!” Mas Abi memohon. “Apalagi setelah Mama menelepon tadi dan meminta kita berkunjung ke rumahnya. Pakai acara menginap lagi.”

Aku melongo dibuat lelaki itu. Ini adalah hari bersejerah bagiku, di mana aku bisa mendengar Mas Abi yang mengoceh panjang lebar. Padahal selama kami menikah, dia hanya berbicara seperlunya, sepadat dan sesingkat-singkatnya. Namun, lihatlah sekarang! Seorang Abimanyu bisa berbicara sepanjang itu. Sungguh berita besar.

Aku juga baru tahu jika ternyata ... Mas Abi adalah orang yang tidak memiliki perasaan. Bisa-bisanya dia meminta rujuk hanya karena bingung bagaimana menjelaskan kondisi kami kepada orang tuanya. Dasar laki-laki tidak berperasaan.

Aku mendecih kesal. “Itu urusanmu. Kita sudah bercerai. Kamu sudah menalakku dan aku tidak mau kembali kepadamu. Permisi.” Aku melangkah cepat keluar dari rumah itu, mengabaikan panggilan lelaki itu di belakangku.

Aku pikir, Mas Abi akan membiarkanku pergi dengan tenang. Akan tetapi, penilaianku itu salah besar. Entah apa sebenarnya yang diinginkan mantan suamiku itu?

Tepat saat tanganku memegang pintu pagar, bertepatan dengan saat lelaki itu menarik tanganku. Menggenggam erat pergelangan tanganku sampai terasa panas dan pedih secara bersamaan.

“Ayumi ....” Napas Mas Abi ngos-ngosan. “Aku tahu aku salah. Tolong maafkan aku. Aku juga ingat jika semalam telah menalakmu. Hanya saja, kenapa rasanya sakit sekali saat melhatmu pergi meninggalkan rumah ini?”

Aku mendelik galak seraya menepis tangan Mas Abi dengan kasar.

“Tolong, Mas. Jangan memberikan harapan palsu,” tegasku. “Aku juga tidak ingin kembali kepadamu,” lanjutku penuh penakanan di setiap kata yang kuucapkan.

Aku membuka pagar dengan gerakan kasar lalu melangkah cepat meninggalkannya. Aku tidak ingin goyah melihat raut penyesalan di wajah Mas Abi. Dia telah membuangku dan aku tidak akan sudi untuk kembali ke sini.

Ya Allah! Tolong teguhkan hatiku dengan keputusan ini.

“Ayumi, tolong mengerti keadaanku ini.” Rupanya Mas Abi masih tidak ingin menyerah.

Aku heran dengan sikapnya. Aku telah terbiasa dengan sikap dingin lelaki itu, tiba-tiba berubah menjadi kekanakan seperti ini sedikit banyak membuatku tak percaya.

“Apa, sih, Mas?”

Aku kesal karena Mas Abi menarik koperku.

“Aku tidak akan membiarkanmu pergi seperti ini,” desisnya dengan wajah memerah.

“Mas, sadarlah. Kita bukan siapa-siapa lagi,” tegurku mengingatkan.

“Aku tahu dan aku menyesal karena itu. Tidak seharusnya aku mengambil keputusan secepat itu,” gumamnya penuh penyesalan.

“Semuanya sudah terjadi, Mas ....”

“Tapi kamu peduli sama aku, ‘kan? Selama ini kamu melayani keperluanku dengan baik. Itu berarti kamu mencintaiku, Ayumi.” Dia berkata keras kepala.

Aku menggeram kesal melihat tingkahnya pagi ini. Aku sangat menyesal kenapa harus dicerai saat malam Minggu. Kalau saja kejadian semalam bisa diubah menjadi malam Senin atau malam-malam kerja yang lain, pasti pagi ini Mas Abi telah sibuk dengan pekerjaannya. Dia tidak akan merecokiku seperti ini. Dan aku bisa pergi dengan tenang.

“Kamu diam berarti iya, ‘kan, Ayumi? Kalau kamu mencintaiku, aku bisa meralat kesepakatanku tentang pernikahan kita,” lanjutnya dengan binar di manik matanya.

“Maafkan aku, Mas. Tapi aku sungguh tidak bisa kembali kepadamu,” sahutku tegas. “Selamat tinggal,” lanjutku seraya melangkah pergi.

“Ayumi!”

“Ayumi!”

Aku memejamkan mata, menepis rasa yang memintaku untuk berbalik atau pun menoleh ke belakang. Biarlah, semua menjadi kenangan masa lalu. Menjadi pelajaran berharga dalam hidupku.

“Ayumi!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status