Ekstra Part 5"Bagaimana, Mbak Citra? Sudah siap?" tanya Dokter Budi. Lelaki itu mendekat saat Melda sudah menyadari kehadirannya.Melda buru-buru menyingkir dari tempat itu lantaran merasa malu karena sudah ketahuan membicarakan orang lain di hadapan yang bersangkutan."Antara siap dan tidak siap sih, Dok." Citra meringis."Sebenarnya saya deg-degan, karena ini pengalaman pertama saya. Tolong dimaklumi ya, Dok.""Tidak apa-apa. Tidak akan terjadi apa-apa. Kami semua sudah mempersiapkan dengan baik. Jangan khawatir Mbak Citra." Tangan lelaki itu terulur, mengusap kepala sang pasien kesayangannya.Lelaki itu merasa bersyukur, kini dia sudah selangkah lebih maju. Hakim sudah ketok palu dan Citra sudah resmi bercerai dari suaminya, walaupun mungkin masa iddahnya baru berakhir setelah wanita ini melahirkan. Ya, hanya sebentar lagi. Sebentar lagi ia bisa menyatakan perasaannya kepada wanita ini. Wanita cantik dan mandiri, sangat pas dengan kriteria wanita idamannya. Dia membutuhkan seoran
Ekstra Part 6 (Penutup)Kenapa penyesalan selalu datang terlambat?!Ingin rasanya ia menangis, tetapi tak bisa. Dia seorang laki-laki, pantang baginya untuk menangis. Dia harus tegar menghadapi kenyataan ini. Dialah yang membuat Citra akhirnya menggugat cerai dirinya. Dia yang tidak bisa menerima anak itu. Dia tidak bisa menerima kehamilan Citra, padahal Citra tidak salah. Yang salah disini adalah Kevin yang sudah berbuat curang. Sepanjang pernikahannya dengan wanita itu, dia sudah menyakitinya, bukan membuatnya bahagia. Apalagi ibu dan kakak perempuannya yang selalu saja menindas, menuntutnya macam-macam. Citra sama sekali tidak menemukan ketenangan hidup saat menikah dengannya.Dia pula yang membiarkan kedekatan Citra dengan dokter Budi, direktur rumah sakit ini. Kedekatan yang terjalin karena ia memang tak pernah mendampingi Citra kontrol kehamilan dan kemungkinan faktor itu yang membuat dokter Budi simpati kepada Citra. Sekarang hasilnya apa?!Kedekatan yang membuat Yudha akan sa
Bab 1 Langkahnya tertatih menyusuri lorong rumah sakit. Sesekali ia berhenti saat perut bagian bawahnya terasa perih. Namun ia harus kuat demi menyusul suami dan ibu mertuanya yang sudah berjalan jauh, bahkan mungkin sudah keluar dari pelataran rumah sakit ini. Sembari menggendong bayinya, Zakia terus melangkah. Sebelah tangannya menyeret tas berisi perlengkapannya dan bayinya. Seorang lelaki muda berpakaian putih-putih berlari kecil menyusul dan meraih tas besar itu, lalu menyuruh Zakia duduk di kursi roda yang dibawanya. Lelaki muda itu mendorong kursi roda, hingga akhirnya keluar dari pelataran rumah sakit, menyusuri halaman dan berhenti di sisi mobil yang akan membawa Zakia pulang ke rumah. Suami dan ibu mertuanya berdiri di samping mobil dengan wajah cemberut. "Kenapa lama sekali, Zakia? Kemana aja sih kamu?! Jalan kok lelet amat. Mama sudah tidak sabar ingin segera pulang. Kamu ini ya, dua hari di rumah sakit merepotkan saja," sembur wanita paruh baya itu. Marina tak perduli
Bab 2"Ada apa ini? Kenapa dia menangis?" tegurnya. Tidak sedikitpun tergerak di hatinya untuk menggerakkan sepasang kakinya demi menghampiri Zakia yang tengah sibuk menenangkan bayinya."Seperti yang kamu lihat, Mas. Dia menangis," sahut Zakia lugas.Namun jawaban Zakia justru membuat Yudha pertama emosi. "Kamu pikir telingaku tuli, hah? Aku juga tahu kalau anak itu menangis!" Rahangnya mengeras. Matanya tajam menatap Zakia dan bayinya dengan pandangan tak suka. "Ibu macam apa kamu?! Masa iya menenangkan bayi saja kamu nggak bisa? Dasar nggak becus jadi ibu!"Zakia menoleh. Perhatiannya kini teralih sebentar pada suaminya. "Naya menangis karena payudaraku tidak memproduksi ASI. ASI ku hanya beberapa tetes yang bisa disedotnya, karena aku belum makan. Terakhir makan hanya pagi, sarapan saat di rumah sakit. Mas ngerti nggak sih?!" Suara Zakia meninggi. Emosinya ikut tersulut karena selalu saja dari tadi ia yang disalahkan, baik oleh Yudha maupun Marina."Kalau kamu mau makan, ya maka
Bab 3Lagi-lagi hanya beberapa tetes yang bisa dihisap oleh Naya, bahkan tetes terakhir hanya berupa cairan seperti air putih, tidak berbentuk cairan putih susu. Tangis Naya kembali terdengar keras. Zakia mendekap erat bayinya, membisikan kata-kata penuh penghiburan dengan air matanya yang berurai.Tiba di dapur, Zakia langsung menuju kulkas dan membukanya, mengambil beberapa bahan masakan yang tersedia di dalam lemari pendingin itu. Tampaknya ibu mertuanya baru saja belanja, karena seingat Zakia, saat ia pergi ke rumah sakit dua hari yang lalu, kulkas dalam keadaan kosong. Melihat bahan-bahan yang ada, akhirnya Zakia memutuskan untuk memasak sop ikan gabus. Sop ikan gabus baik sekali untuk orang yang habis menjalani operasi seperti dirinya. Di samping itu, dia juga mengambil dua buah jagung, menyisirnya dengan pisau dan ditampung di mangkok ukuran besar untuk membuat empal jagung. Sesekali dia menepuk pelan tubuh kecil putrinya. Tangis Naya masih belum mereda. Zakia membiarkan bayi
Bab 4"Ibu macam apa kamu? Menenangkan satu bayi saja tidak bisa. Dari tadi nangis terus. Bosan aku mendengarnya!" sembur Yudha yang seketika membuat Zakia mengurungkan niatnya untuk melangkah keluar kamar, karena orang yang akan dicarinya sudah berada di sini.Zakia menghela nafas kesal. "Mas, Naya menangis karena kelaparan dan kehausan. Bahkan badannya sampai panas begini. ASI ku tidak mencukupi, karena hanya beberapa tetes. Mas ngerti nggak sih?""Kalau dia haus, kamu tinggal kasih minum saja. Apa susahnya?!""Kasih minum pakai apa, Mas?!" Dada Zakia bergemuruh. Antara marah dan kesal yang membumbung hingga ke ubun-ubun. "Tolong Mas belikan Naya susu formula, biar dia tidak nangis terus dan demamnya bisa segera turun," pinta Zakia dengan berani."Susu formula? Kamu pikir susu formula itu murah? Jangan ngada-ngada kamu, Zakia! Kalau anak itu haus, kasih minum air putih atau air tajin. Beres, kan?" sergah Yudha enteng."Air putih? Apa Mas sudah gila?! Mana boleh, Mas?! Makanan bayi
Bab 5 Seolah mengerti ucapan ibunya, bayi cantik nan menggemaskan itu mengerjapkan mata. Tangisnya sudah benar-benar reda. Entah karena kelelahan menangis atau memang sudah merasa kenyang hanya dengan air putih yang ia hisap melalui pucuk payudara ibunya. "Anak pintar," bisik Zakia mengusap pipi putrinya, lantas bangkit dari kasur. Meskipun tubuh putrinya masih panas, tapi setidaknya sudah lebih tenang. Zakia memutuskan untuk meninggalkan putrinya sendirian. Hari sudah menjelang malam dan ia harus memasak untuk makan malam. Jangan sampai orang seisi rumah marah-marah karena ia dianggap lalai menyediakan makan untuk mereka. Zakia kembali membuka kulkas, mengeluarkan beberapa bahan makanan dan mengolahnya menjadi masakan yang lezat. Masakan Zakia memang juara. Semua orang di rumah ini selalu lahap menyantap hasil karyanya. Entah karena saking sukanya atau memang serakah, selalu saja Zakia kebagian makanan sisa. Hal ini berlaku sejak Zakia menginjakkan kakinya di rumah ini, sebagai is
Bab 6Zakia meraih bayinya yang terlihat menggeliat, lalu menggendongnya. Wanita itu menepuk-nepuk belakang tubuh mungil putrinya. Saat terdengar suara tangis Naya, dia buru-buru mengeluarkan payudaranya, kemudian duduk di kasur dan berusaha memberi putrinya ASI. "Tunggu dulu, Zakia! Kamu ini apa-apaan sih? Main ngeloyor aja. Dasar tidak menghargai suami!" sembur Yudha. Rupanya laki-laki itu menyusul ke kamar ini karena merasa diabaikan."Sudahlah, Mas. Jangan buat keributan di sini. Naya sedang menyusu. Nanti kita selesaikan semuanya di luar," tegur Zakia sembari menempelkan jari telunjuk di hidungnya."Tidak bisa! Kamu sudah keterlaluan! Kamu tahu, kan, dia itu ibuku dan kakak perempuanku. Tidak sepantasnya kamu melawan mereka. Kamu ini tidak belajar sopan santun, apa?!" hardik Yudha yang membuat putri mungilnya kaget dan spontan melepas pagutannya ke pucuk payudara Zakia."Mas bicara soal sopan santun?!" sahut Zakia akhirnya sembari tersenyum sinis."Apa Mas pikir mereka memiliki