Share

Dua minggu lagi

"Tidur, kalau kamu maraton terus nonton Chicago fire, bisa-bisa otak kamu yang ke bakar mikirin jalan cerita itu series." Gumam Pandu yang sudah merebahkan diri sembari memeluk guling. Sedangkan Zita, masih fokus nonton dengan bersandar pada kepala ranjang yang ia ganjal dengan dua bantal miliknya.

"Lagi seru. Kamu tidur aja, Mas." Sahut Zita santai. Pandu berdecak seraya memejamkan mata. Tangan kirinya merayap ke pinggang istrinya itu.

"Perboden, ey. Tangan-tangan." Tegur Zita. Pandu justru melempar guling lalu merapatkan diri ke pinggang Zita, menenggelamkan wajahnya ke sana.

"Mas Pandu! Ih, geli!" protesnya. Pandu masa bodoh. Ia mengeratkan pelukannya lalu memejamkan mata. Zita yang susah payah menghindar, kalah juga, karena tak lama justru suara dengkuran halus pria itu yang terdengar. Zita cuek, ia fokus menonton TV lagi.

Pagi hari.

Karena kurang tidur, Zita malas membuat sarapan, dengan motor milik Pandu, ia membeli sarapan di dekat rumah, ada perkumpulan penjual sarapan di dekat lapangan.

Pilihannya banyak, tapi Zita tertarik membeli sarapan ketupat sayur padang. "Kak, dibungkus dua ya, pake telor."

"Iyo." Jawab penjual yang masih muda.

"Ta! Zita!" suara tetangga sebelah rumahnya - Maya - dia juga sedang membeli sarapan.

"Eh, Kak Maya, beli apa, Kak?"

"Ini, lontong medan. Eh, suami kamu berangkat juga hari ini kan? Bareng sama suamiku, satu shift mereka."

"Oh, iya, aku nggak tanya-tanya, Kak," kekeh Zita.

"Nggak pa-pa, pelan-pelan juga paham. Zita, kamu udah ikut arisan grup kita belum? Kalau belum daftar ya, sebulan seratus ribu, yang main dua puluh orang."

Zita mengangguk, "ikut deh, Kak, nanti daftarnya ke siapa? Kak Dety?"

"Iya, ke Dety, dia kan bendahara sama seksi perlengkapan. Kamu nanti kalau butuh apa-apa, ke rumah aja ya, ditinggal suami ke laut, BT juga karena apa-apa harus sendirian."

Zita tersenyum juga mengangguk. Pesanannya sudah siap, ia memberikan uang lalu pamit duluan ke Maya yang masih mengantri. Jam menunjukan pukul delapan, tak lama lagi Pandu harus bersiap.

Sesampainya di rumah, Zita mendengar gemericik air dari kamar mandi, baguslah suaminya sudah bangun dan mandi. Membangunkan Pandu tidur sama aja kayak bangunin orang pingsan. Zita menyiapkan sarapan untuk keduanya, tak lama, Pandu keluar dari kamar mandi, bersandar di ambang pintu, menatap istri yang mungil di matanya dengan tatapan tak tega meninggalkan Zita bekerja.

"Jangan lihatin, buruan pake baju, sarapan udah siap." Celetuknya sembari menuangkan teh hangat ke cangkir.

Pandu memeluk Zita yang masih biasa saja, tak ada getaran apa pun di dalam dadanya. Berbeda dengan Pandu yang sudah bercukur sehingga wajahnya bebas bulu, dan menciumi pipi empuk juga lembut istrinya itu.

"Nggak asih ah! Nggak ada reaksi apa-apa." Pandu melepas pelukannya, lalu duduk di kursi, menyesap teh hangat lalu makan. Zita diam, menatap suaminya yang suka berlaku semaunya kepada dirinya.

"Pakai baju dulu baru makan, Mas Pandu. Nggak sopan di meja makan telanjang dada gitu, pake celana pendek doang juga, hih." Zita kesal, ia berjalan ke kamar. Menghentakan kaki ke lantai. Kembali keluar kamar dan menyerahkan kaos ke suaminya. Pandu bergeming, asik makan.

Helaan napas Zita terdengar, ia lalu memakaikan kaos ke suaminya yang masih diam walau tak menolak Zita pakaikan bajunya.

"Mas, kamu barengan sama suami Kak Maya? Nanti tuh ke kantor di jemput apa gimana?"

Masih diam, tak menjawab pertanyaan Zita. Ok, Zita ngalah, ia menikmati sarapannya, hingga keduanya selesai makan, masih tak ada suara.

Zita ke kamar, memeriksa tas bawaan Pandu, takut-takut ada yang tertinggal. Pandu masuk ke kamar sembari berbicara dengan seseorany di telpon. "Kenapa harus pakai seragam sekarang? Emang langsung terbang?" tanyanya.

Zita melongo, ia menghentikan kegiatannya untuk memastikan sesuatu. Keluarin seragam warna orange. Perintah Pandu begitu pelan. Zita mengangguk. Ia mengeluarkan seragam, kaos dalaman putih polos juga.

"Zona C bukan saya yang pegang, kan? Alan yang pegang." Tampak Pandu panik, ia dengan santai melepaskan kaos dan celana pendek, membuat Zita berbalik badan memunggui suaminya yang buru-buru memakai seragam.

Bahu Zita dicolek, ia menoleh, Pandu mengecup keningnya masih dengan berbicara dengan rekannya di ponsel. Pandu mendekat, Zita mengerjap pelan. Suaminya menunjuk ke restleting bajunya, minta ditarik hingga atas. Zita mengangguk.

"Sepuluh menit lagi? Ok, on time. Saya udah siap." Pandu melempar ponsel ke ranjang, lalu memeluk Zita erat. Wanita itu gak membalas pelukan, hanya mendongak menatap suaminya.

"Ada masalah di Zona C, doain semua lancar ya, Zit."

Deg.

Kali ini jantung Zita seperti berhenti sejenak, ia mengangguk, masih tak berkata apa pun. Pandu melepaskan pelukannya. Ia kini duduk di tepi ranjang, menggenggam jemari Zita sembari menatap mata indah istrinya itu.

"Aku usahain, kasih kabar kamu kalau sampai di sana atau, setelah kekacauan itu selesai aku urus. Ada kesalahan pemasangan beberapa pipa, anak baru di minta koordinatorku turun, jadinya gini, nggak bahaya, tapi tetap harus aku cek langsung.

Aku dijemput duluan, nggak bareng sama Ado, suami Maya. Kamu hati-hati di rumah ya, kalau naik motor jangan ngebut-ngebut,  nanti aku ajarin setir mobil juga. Sori, kamu harus jadi istri mandiri. Resiko nikah sama kuli bor tambang minyak lepas pantai."

Pandu tersenyum, Zita membalas dengan senyuman keraguan, lagi.

"Boleh minta sesuatu dari kamu, Zit?" Pinta Pandu.

"Apa?"

"Peluk," ucapnya. Zita diam sejenak, mencoba meyakinkan diri.

"Aku di sini banyak yang jagain, kok, Mas Pandu fokus kerja aja, yang penting hati-hati juga, jangan bercanda terus, jangan galak-galak sama anak buah. Inget pesen aku yang ini, jangan biarin aku jadi janda muda. Nggak mau aku."

Lagi-lagi Pandu tertawa geli. Ia mengangguk. Zita mendekat, memeluk suaminya itu yang begitu erat memeluk pinggangnya dengan mata terpejam. "Tapi, resiko besar itu pasti ada, Zit, makanya kamu buruan jatuh cinta sama aku."

Plak.

Zita memukul punggung Pandu, suaminya mengaduh tapi tidak melepaskan pelukannya. "Lepas, Mas, mau ke kamar mandi aku, kebelet."

"Halah, bokis. Paling kamu ngerasa malu, kan, aku peluk gini. Baper ya, baper kan? Jujur?" Pandu mendongak. Zita hanya berdecak sembari manyun-manyun. Pelukan terlepas, Zita melesat berjalan ke kamar mandi, menuntaskan hasrat buang air kecilnya, namun mendadak senyum tersungging di bibirnya.

Tak lama, terdengae suara teriakan Pandu memanggilnya. Ia buru-buru menyelesaikan membersihkan diri lalu berjalan keluar kamar mandi.

"Apaan pake teriak-teriak, kayak di hutan!" omel Zita.

Pandu sedang memakai sepatu, tas juga sudah bersandar di depan pintu. "Jemputanku udah dateng, aku berangkat, ya." Ia berdiri, Zita mengangguk. Tangannya meraih jemari tangan sang suami. Diciumnya punggung tangan itu.

"Hati-hati," ujar Zita. Ia tersenyum. Pandu mengangguk, lalu ia memeluk Zita sembari menghirup aroma wangi istrinya itu. Diciumnya kening, kedua pipi, lalu berakhir mengecup singkat bibir mungil Zita.

"Kita ketemu dua minggu lagi, ya. Hati-hati di rumah, istrinya Pandu."

Aneh, Zita merasa hatinya seperti diremas, kebersamaannya beberapa waktu setelah menikah, membuat dirinya terbiasanya dengan adanya Pandu. Setelah menikah, Pandu meninggalkannya sepuluh hari, dan di rumah lima hari. Tapi sekarang, semua berubah mendadak, kebijakan perusahaan berubah. Hal itu dipengaruhi Pandu yang bisa dibilang ahli di bidangnya.

Zita melambaikan tangan saat mobil melaju, Pandu tersenyum, Zita menjulurkan lidah meledek suaminya itu yang di balas gelak tawa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status