Share

Menikah

Pernikahan sederhana telah di gelar. Tanpa undangan terhadap teman-temannya atau yang lain. Hanya beberapa keluarga yang menghadiri.

Kini pasangan muda itu berada di kamar yang sama.

"Mandi sana kak. Ntar gantian."

Lily mendengus kesal. Lihatlah, bahkan anak itu tidak punya sopan santun. Bersandar di ranjang pengantin mereka dengan santainya mabar.

Sebenarnya jika dilihat dengan seksama, Doni ini cukup tampan. Wajahnya bersih dan rapi. Hidung mancung yang terpahat indah di atas bibir tebalnya yang kenapa terlihat seksi. Doni juga tinggi. Jadi melihatnya selintas, tak akan ada menyangka jika anak itu masih kelas dua STM.

Lily mengambil pakaian gantinya dari dalam lemari. Dan meletakkan diatas meja.

Ia bermaksud membuka resleting gaunnya. Namun apalah, tangannya tak sampai.

Ia melirik Doni yang sedang serius mabar. Ya kali dia meminta bantuan pada bocah mesum itu. Bisa-bisa habis dia malam ini. Tapi kalau tidak juga, bagaimana ia mandi.

"Kenapa kak?"

"Tidak apa-apa," jawabnya jutek. Doni tersenyum kecil. Turun dari ranjang dan menghampiri Lily.

"Kalau kesulitan, minta tolong. Jangan dipaksa," ujarnya sembari menarik resleting gaunnya. Tubuh Lily menegang. Bulu kuduknya meremang. Dapat ia rasakan hembusan napas Doni menerpa tengkuknya.

"Sudah."

Lily langsung bergegas mengambil bajunya dan bergegas ke kamar mandi. Menutup pintunya dengan keras.

"Dasar cewek. Gue juga mesum milih-milih kali," gumam Doni.

"Tapi, gue pikir-pikir, kak Lily cantik juga," ujarnya sembari tersenyum.

Ia kembali ke ranjang dan melanjutkan mabarnya. Tapi pikirannya teralih, bohong jika dia tadi tidak tertarik dengan punggung mulus Lily. Dia tadi bahkan sempat menelan salivanya kasar. Bagaimana bisa ia bertahan satu rumah dengan Lily untuk kelanjutannya.

"Sial! Kenapa gue tiba-tiba mikirin itu sih!"

Ia lempar ponselnya dan mengusap wajahnya kasar.

----

Lily selesai mandi dan mendapati Doni yang tertidur pulas. Ia hanya mendecak. Bisa-bisanya dia tertidur padahal belum mandi.

Lily menghampiri Doni dan bermaksud membangunkannya, tapi ia urung. Melihat wajah Doni yang kelihatan sekali lelahnya.

Akhirnya dia membiarkan pemuda itu larut dalam mimpinya. Lalu dia sendiri menggelar kasur lantai dan berbaring di bawah.

----

Esok harinya, Doni bangun lebih dulu. Dia terkesip dengan seberkas sinar matahari yang menerobos lewat jendela kamar. Asing, itu kata yang pertama kali muncul. Mana serba pink lagi. Girly sekali. Tempelan bulan bintang memenuhi tembok kamar. Juga wallpaper kupu-kupu dan bunga di sudut lain.

Doni menguap dan bangun dari rebahannya. Netranya menangkap sosok yang terbaring pulas di atas kasur lantai. Oh ya, baru sadar kalau ternyata dia sudah menikah sekarang.

"Ck. Kenapa gak bangunin gue aja sih. Gini kan kesannya gue yang jahat," gerutunya.

Dia beranjak menghampiri Lily, bukan untuk membangunkannya, melainkan memindahkannya di kasur.

"Kecil-kecil gini ternyata berat juga yah," gumamnya.

Lalu dia mengambil handuknya dan bergegas mandi.

Lily menggeliat, menguap lebar. Kaget saat menyadari dirinya sudah pindah di kasur. Dia bergegas memeriksa pakaiannya. Masih sempurna menempel di badannya. Ia meraih cermin di nakasnya, melihat leher atau bagian lainnya. Aman. Untung pemuda itu tak mengganggunya.

Lily menghela napas lega.

"Cklek!"

Lily reflek menoleh. Mendapati Doni yang hanya keluar mengenakan handuknya. Rambutnya basah habis keramas. Aroma sabun menguar di penciumannya. Lily menelan salivanya susah. Bagaimana bisa badan anak yang masih SMA sebagus itu. Apakah Doni rajin nge-gym? Tubuhnya bagus.

"Buruan mandi, ada jam juga kan?" ujar Doni.

"Emang lo mau berangkat sekolah?" Tanyanya heran.

"Ya iyalah, ngapain juga gue mandi pagi-pagi kalau gak sekolah,"

Lily melirik jam mungilnya. Sudah pukul tujuh kurang sepuluh menit.

"Percuma. Bakal telat juga."

"Gak masalah. Emang biasanya juga gue berangkat telat," tukasnya santai tanpa beban. Lily mendengkus. Sepertinya dia salah mencari lawan bicara.

"Mau kuliah atau diam aja?" tukas Doni lagi.

Lily membuang selimutnya kasar. Kalau saja tak ingat ada jam pak Rendra, ogah banget dia kuliah. Mana jarak rumah dan kampus hampir dua jaman.

Doni hanya menggelengkan kepala melihat tingkah bar-bar istrinya.

"Ck. Mimpi apa gue dapat istri kayak dia," ujarnya sembari mengambil seragamnya.

-----

Untung saja kemarin Doni membawa motornya sendiri. Alias dia datang di pernikahannya dengan membawa motor gedenya. Ya niatnya kan biar gak ada yang curiga dengan kepergiannya. Meski tentu saja orang-orang di rumah Lily melongo melihat tingkah calon pengantin. Untung ganteng.

Doni mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Di belakang Lily memejamkan mata dengan berpegangan bagian belakang motor Doni. Dia menolak untuk berpegangan pinggang Doni. Malu dong.

Ia hanya bisa berharap semoga tuhan belum berkenan mengambilnya. Dosanya masih banyak. Dia belum punya suami untuk kedua kalinya, eh maksudnya suami yang dia cintai. Masih pengen punya anak, terus cucu, terus pokoknya belum pengen mati.

Di depan Doni menyeringai, puas mengerjai gadis di belakangnya. Siapa suruh mengabaikan peringatannya.

Sampai di gerbang kampus, Doni menghentikan laju motornya. Lily menarik napas lega. Membuka helm, rambutnya berantakan kena angin. Lalu menyerahkan helm kasar pada Doni.

"Nanti jam berapa keluar?"

"Ntar aja, gue hubungi," ujar Lily datar dan langsung bergegas masuk.

Doni memandangi Lily dari belakang, tersenyum tipis dan kemudian menghidupkan motornya. Melaju entah kemana.

---

"Itu tadi siapa Ly? Adek lo?" ujar Bila dengan wajah kagumnya. Dia tadi melihat Lily diantar Doni. Seketika terpana dengan ketampanan cowok itu. Sayang, seragamnya masih putih abu-abu.

"Bukan. Dia suami gue,"

"What! Suami? Yang bener?" Mata Nabila membulat tak percaya. Mana mungkin, Lily yang terkenal ogah-ogahan dengan cowok itu tiba-tiba nikah? Sama berondong ganteng lagi.

"Iya, gara-gara kemarin tuh. Kalian ngajakin gue ke club. Tiba-tiba aja gue gak inget apa-apa. Eh, besoknya gue tidur sama tuh bocil."

"Tidur? Maksud lo, lo udah.. emmm," Bila menyatukan kedua tangannya.

Lily menoyor kepala Bila.

"Enak aja. Kagaklah. Kita cuma tidur doang."

"Jangan-jangan dia yang ngeracun minuman lo. Soalnya lo waktu itu habis minum langsung pamit pulang. Kata lo pusing. Mau diantar gak mau. Ya udah deh. Orang kamunya nolak."

Lily terdiam. Kok dia gak ingat sama sekali ya? Doni bilang dia kebetulan sedang di club dan meilhat dirinya ditarik oleh seorang pria.

Bahkan Doni menunjukkan bekas lebam di pelipisnya yang memang tidak terlalu kentara sih. Cuma herannya kenapa dia mengaku pada orang tuanya kalau dia sengaja menjebak dirinya? Entahlah.

"Gimana? Lo setuju kan?"

Lily terdiam. Mereka tetap melangkah menuju kelas.

"Entahlah. kayaknya gak deh. Gue rasa dia jujur. Tapi memang ada yang di sembunyiin. Udahlah Bil. Jangan bahas. Gue lagi pusing."

"Oke deh. Lagian dia ganteng. Tinggi lagi. Kalo aja dia pakai baju kasual, gak bakal ada yang ngira dia masih SMA."

"Udah. Jangan bahas."

Bila malah terus menggodanya, membuat Lily kesal.

"Awas aja lo ngasih tahu yang lain. Bogem melayang," ancamnya.

"Ih, sadis." Bila bergidik tapi tertawa.

"Bodoh amat."

Bila tertawa dan terus-terusan menggoda Lily.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status