"Kadang aku lebih suka bermimpi.
Karena ketika mataku terpejam. Aku bisa lari sejenak dari pahitnya kehidupan."
-Mayangsu
***
Suasana di ruang makan nampak hening. Menyisakan deru sendok dan garpu yang beradu.
April jarang makan bersama di rumah. Biasanya dia berangkat pagi-pagi sekali, dan dia lebih memilih membeli nasi bungkus di dekat kantornya untuk sarapan.
"Monna mana, Ma? Kok, nggak kelihatan?" tanya April berbasa-basi mencoba untuk mengurangi rasa canggungnya.
"Ah. Anak itu, mah, jam segini masih molor di kamarnya. Palingan nanti bangunnya jam sembilanan."
"Oh," jawab April singkat.
April hanya membatin dalam hati. Monna itu enak sekali, ya, hidupnya. Monna bisa bangun jam berapa saja dia mau. Monna boleh leha-leha di rumah serta tidak usah pusing bekerja. Pulang malam pun tidak akan ada yang memarahinya. Monna... si anak emas di keluarga ini.
Ingin rasanya April merasa iri. Tapi dia cukup tahu diri.
"Makan yang banyak, ya, Pril. Kamu akhir-akhir ini kelihatannya agak kurusan. Nih, Mama udah masakin makanan kesukaan kamu."
April yang tidak tahu harus berbuat apa hanya mengangguk sambil mengucapkan terima kasih ketika Mamanya mengulurkan piring berisi makanan yang sudah disiapkan untuknya.
April mengerjab. Nasi dan omelete? Sejak kapan Mama tahu makanan kesukaannya? Apa jangan-jangan ada maksud tersembunyi? Bahkan April sampai berpikir, salah makan apa Mamanya tadi malam. Seolah Mama sudah mempersiapkan ini semua untuknya.
Bukannya begitu, seumur hidup April tidak pernah diperlakukan sebaik ini oleh Mama. Mama selalu tidak suka dengan kehadirannya di rumah ini. Beliau sering berkata ketus secara terang-terangan. Baginya, April hanyalah beban keluarga.
Tidak ada angin, tidak ada hujan. Lantas kenapa Mama bisa berubah baik hati hanya dalam satu malam?
"Jangan cuma dilihatin aja. Ayo buruan dimakan. Nanti keburu dingin."
"I-iya, Ma."
April memaklumi jika Mama tidak menyukainya. Mereka tidak memiliki ikatan darah sama sekali. April hanyalah anak angkat. Kedua orang tuanya sudah meninggal sejak dia masih duduk di bangku SD. Dari kecil April dirawat oleh Oma. Setelah beberapa tahun hidup bersama. Tuhan juga mengambil Oma dari sisinya.
Waktu itu satu-satunya keluarga yang April kenal hanyalah Om Danu. Pesan terakhir dari Oma adalah supaya Om Danu merawat April dengan baik. Akhirnya Om Danu membawa April ke rumah ini dan menjadikan April sebagai anaknya.
Maka dari itu, disajikan makanan oleh Mamanya benar-benar di luar ekspetasi. Ini... ini semua terasa seperti mimpi.
Apa jangan-jangan Mama sudah bisa menerima kehadirannya di rumah ini, ya?
April menyendok makanannya lagi. Nasi putih dengan omelet. Sederhana tapi ini adalah makanan kesukaan April sejak kecil. Karena omelet selalu mengingatkannya dengan Oma yang sudah tiada.
Mungkin Mama tahu dia menyukai omelet dari Papa.
April tersenyum. Pikirannya seolah ditarik mundur ke belakang. April masih ingat betul waktu itu dia sedang duduk di kursi makan sambil menikmati suapan demi suapan yang diberikan oleh Omanya. April kecil begitu menikmati makanan sederhana itu, sampai-sampai ia mengayunkan kaki kecilnya yang menjuntai. Seolah tidak memiliki beban. Ingin rasanya dia kembali ke masa-masa itu.
"April ini bekal buat kamu," ucap Mama sambil memberikan kotak bekal berwarna hijau kepadanya.
"Makasih, Ma."
"Loh, kok, makanannya masih banyak. Nggak enak, ya, masakan Mama?"
April buru-buru menggeleng. "E-enak, kok, Ma." Kemudian April menyendok lagi makanannya supaya tidak menyinggung perasaan Mama.
Mama duduk di kursi sebelah Papa sambil menatapnya terus-menerus dengan senyum mengembang. Dilihati seperti itu malahan membuat April merasa sedikit tidak nyaman.
"Kenapa, Ma?"
"Apanya yang kenapa? Emangnya salah, ya, kalau Mama masakin makanan kesukaan anaknya Mama?"
Hah? Apa April tidak salah dengar. Anaknya Mama?
"Em... nggak, kok, Ma. Cuma hari ini Mama kelihatan aneh aja. Soalnya Mama nggak pernah kayak gini sebelumnya."
Mama tersenyum. Berbeda dengan Mama, ekspresi Papa yang berada di sebelahnya malahan terlihat tidak nyaman, seolah Papa sedang menyembunyikan sesuatu. April berusaha acuh tak acuh dan melanjutkan menikmati makanannya lagi.
"Eh, iya, Pril. Bukannya rumah kamu yang ada di Sadewa itu kosong, ya? Gimana kalau Monna aja yang nempati rumah itu? Daripada dianggurin, kan, sayang."
Seketika April memelankan gerakan mengunyahnya. Matanya mengerjab pelan. Tangannya yang sedang memegang sendok pun juga terasa kaku sulit untuk digerakan.
A-apa?
Sekarang barulah April mengerti maksud semua ini. Mulai dari Mamanya yang tiba-tiba baik kepadanya. Bahkan sampai memasakkan makanan kesukaannya segala. Menyiapkan bekal untuknya.
Ternyata ini semua ada maksudnya....
Ingin rasanya April menyunggingkan senyum ironi namun hal itu ditahannya kuat-kuat. Sepiring nasi omelet dan sekotak bekal yang ditaburi *topping *kasih sayang palsu itu haruskah dia bayar dengan rumah milik peninggalan Omanya?
April membisu dalam diam. Apa menurutmu ini semua tidak keterlaluan? Apakah harga kasih sayang semu selama sepuluh menit yang tadi dirasakannya semahal itu harganya?
"Maaf, Ma. Rumah April yang itu memang sengaja April kosongin," tolak April sehalus mungkin.
Papa menatapnya dengan wajah penyesalan. April hanya mencoba tersenyum walau getir. Dia paham. Papanya tidak salah, pasti di hati kecilnya, Papa juga tidak menginginkan ini semua terjadi kepadanya. Pasti ini semua rencana Mama untuk mengambil alih rumah warisan dari Oma.
Mendengar penolakan April, sontak membuat wajah Mama berubah menjadi masam. Ekspresi sehari-hari yang biasa April lihat kini hadir kembali.
"Kamu itu, loh! Sama saudara sendiri aja pelit banget, sih, Pril!" ucap Mama dengan kasar. Terkesan blak-blakan.
April mengepalkan tangannya kuat-kuat di bawah meja.
Saudara? Haha, yang benar saja! Jadi kalau sudah menyangkut perihal uang barulah dia dianggap sebagai saudara, ya? Lalu selama ini kehadirannya di rumah ini dianggapnya sebagai apa?
"Udahlah, kasih aja rumah kamu itu ke Monna. Toh, kamu juga sebentar lagi bakalan nikah sama Tara dan bakalan tinggal bareng, kan, sama Tara. Hitung-hitung rumah kecil itu sebagai imbalan karena selama ini kamu udah numpang tinggal di sini!"
"Ma!" Papa mencoba memperingati jika perkataan istrinya sudah keterlaluan.
April paham, benar kata Mama. Tidak ada yang gratis di dunia ini.
Ingin rasanya April berteriak, marah, balik menyerang perkataan Mamanya. Namun kenyataannya dia tidak bisa. Mulutnya hanya diam. Om dan Tantenya yang sudah bertahun-tahun memberikan tumpangan tempat tinggal kepadanya dan juga sudah ia anggap sebagai pengganti kedua orangtuanya yang telah tiada. Lalu, mana bisa dia memakinya?
"Maaf, Ma. Tapi April bener-bener nggak bisa ngasih rumah itu karena rumah itu peninggalan dari Oma," ulang April, lagi.
Walaupun rumah itu kecil, tetapi letaknya strategis. Dekat dengan sekolahan, dari SD, SMP, SMA, bahkan sampai perkuliahan pun ada. Jadi wajar meskipun rumah itu kecil, tapi menjadi rebutan keluarga karena harganya pasti lumayan ketika dijual.
"Ck! Percumalah aku pagi-pagi masak buat anak nggak tahu diuntung kayak gitu," kata Mama sambil berdiri dan mengambil kembali kotak makan yang tadi sudah disiapkannya untuk April.
Bibir April gemetar menahan diri agar tidak menangis di sini. April berdiri, tampak makanan di piringnya masih banyak.
"Pril! April!" panggil Papa ketika April berlari keluar rumah. Ingin rasanya April memuntahkan semua isi perutnya supaya dia tidak memiliki beban.
Tangisnya baru keluar ketika dia melajukan motornya membelah jalan kota. April benar-benar merasa sakit hati. Bulir bening itu pun terus menetes di pipinya tanpa permisi.
Hatinya berbisik lirih....
Benarkah tidak ada yang tulus menyayanginya di dunia ini?
Hanya Omalah yang sayang kepadanya. Tapi, Tuhan sudah mengambilnya.
"Oma... April kangen."
Harapan terakhir April adalah sesegera mungkin menikah dengan Tara, kekasihnya. Dengan begitu, dia bisa keluar dari rumah Tantenya yang terasa seperti neraka.
***
Sampailah April di kantor dengan wajah kusut. Padahal masih sepagi ini. Energinya seolah sudah tersedot habis karena kejadian tadi.
Dia berjalan gontai dan menghapus sisa-sisa air matanya. Ketika hendak menuju lift yang akan mengantarkannya ke lantai lima. Tiba-tiba tubuhnya menabrak seseorang membuat April mengaduh kesakitan. Rasanya seperti menabrak tembok yang kokoh saja.
April bersumpah-serapah dalam hati. Kenapa, sih, hari ini dia sial sekali!
Baru saja ia hendak memaki. Laki-laki di depannya pun membuka kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya dengan pongah.
"Heh! Nggak punya mata, ya?!" teriak anak muda itu kepadanya membuat April membuka mulutnya tidak percaya.
What....
The....
Fuuck!
DIA YANG MENABRAK KENAPA DIA YANG LEBIH GALAK!
***
Kalau kalian suka dengan cerita ini. Maka jangan lupa tinggalkan Like dan Komentar, ya, supaya aku semangat updatenya. Makasih.
Instagram Penulis: @Mayangsu_
"Mungkin Tuhan mempertemukan kita karena kau ditakdirkan sebagai pelengkap cerita."(Sean)***
"Pacaran itu sama anak IT.Titik koma coding aja diperhatiin. Apalagi kamu?"(Sean)***Pak Hans mengembuskan napas berat dan menggelengkan kepala.“Nggak mungkin. Mama kamu udah lama nggak ada, Sean. Bahkan kamu tahu itu.”Sean memang sudah kehilangan Mamanya sejak kecil. Terakhir kali ingatan Sean mengenai Mamanya adalah ketika Mamanya menjemputnya saat pulang sekolah. Dari jalan seberang Mamanya terlihat merentangkan tangannya menunggu Sean untuk menyebrang jalan dan memberikan pelukan kepadanya.Namun belum sempat Sean menyebrang, beberapa pria dewasa dengan wajah bengis menarik paksa tangan Mamanya dan membawanya masuk ke dalam mobil hitam.Sejak itulah Mamanya menghilang entah ke mana. Bahkan sampai sekarang pun Sean belum pernah bertemu lagi dengan Mamanya.
"Kamu April, kan?" tanya Sean sambil menunjuk wanita yang sedang dicarinya.Ya, iyalah April! Masak Milea. Huh! Sepertinya keponakan Pak Hans ini agak tidak waras, deh."Apa?!" jawab April dengan ketus. Namun yang diajak bicara malahan tersenyum senang."Eh, iya. Kalau nggak salah katanya kamu lagi nyewain rumah, ya? Nah, kebetulan aku lagi nyari tempat tinggal dan aku mau nempatin rumah kamu.""Nggak! Nggak jadi aku sewain!" kata April sambil memutar badannya menghadap layar komputer lagi.Sean mengernyitkan dahi. Loh, kenapa pula wanita galak ini jadi berubah pikiran seperti itu?Lebih baik April tidak menyewakan rumahnya kepada bocah itu daripada dia mati muda karena darah tinggi."Kenapa? Bukannya tadi kamu bilang lagi nyari orang buat nyewa rumah kamu? Gimana kalau satu juta per bulan?" tawar Sean dengan saksama.Lantaran April itu mata duitan. Mendengar nominal satu juta yang baru saja diucapkan oleh Sean pun mem
"Ini, mah, kandang Ayam!" teriak Sean seketika.April sebal. Keponakan Pak Hans ini terlalu banyak protes, deh."Ya, udah kalau nggak mau nggak usah tinggal di sini!" teriak April tak kalah kerasnya lantaran merasa kesal.Dengan cemberut Sean duduk di sofa panjang yang berada di depan dinding salah satu kamar. Ia pasrah. Mungkin sofa panjang ini digunakan April ketika dia menonton TV."Ini kamar kamu nantinya. Udah ada kamar mandinya di dalem," kata April ketika membuka kamar yang berada di belakang sofa tempat duduk Sean saat ini.Karena merasa penasaran, Sean pun berdiri untuk melihat isi dari kamar yang hendak ditempatinya nanti.Langsung saja dahi Sean mengeryit lagi. Kamar ini jelek, hanya ada satu lemari kayu berwarna cokelat, meja belajar di sebelahnya, dan tempat tidur yang untungnya sudah darispring bed."Oh, iya, aku kelupaan sesuatu. Satu juta tujuh ratus ribu itu belum termasuk biaya listriknya, loh, ya. Nan
“Gimana? Jadi nggak aku masakin tapi bayar dua puluh ribu?” ulang April lagi.“Yaudah, yaudah.”Cuma dua puluh ribu saja, kok. Enteng,batin Sean menyombongkan diri.Dengan perasaan senang April menyalakan kompornya yang sudah lama tidak ia gunakan.Masih bisa tidak, ya? Ah, untung saja masih mau menyala.Memang April membeli kompor dan mejikom. Jaga-jaga kalau dia kabur dari rumah maka dia masih bisa masak sendiri daripada beli makanan karena menurut April memasak sendiri lebih hemat.Sekiar sepuluh menitan April berkutat di dapur mungilnya tersebut untuk membuat dua mangkuk mie rasa ayam bawang dengan telur ceplok setengah matang.“Udah jadi!”April tersenyum senang dan menaruh dua mangkuk mie buatannya di atas meja lipat panjang. Mereka berdua saat ini seperti sedang makan di tempat makan lesehan saja. Sean menyantap mie telur ceplok setengah matang buatan April. Enak juga, sih.
Pagi ini April akan memasak sayur bayam dengan tambahan gambas yang dipotong-potong membentuk bulatan kecil, lalu dia juga akan membuat sambal korek serta lauk tempe goreng.April menengok ke belakang hanya untuk melihat sekilas Sean yang sedang bersandar malas di sofa. Makanan yang dimasaknya memang masakan rumahan sederhana. Apa nanti ketika dia membaginya dengan Sean anak itu mau memakan masakannya, ya?April mengedikkan bahunya cuek. Entahlah lidah orang kaya mau atau tidak memakan masakan seperti ini. Tapi kalau sampai Sean mencibir masakannya sebagai makanan ayam pasti April akan menghajar bocah itu betulan.“Halo, Chikaku, Sayang. Apa kabar? Udah lama, ya, kita nggak teleponan lagi. Hari ini kamufreenggak? Nanti malem nonton, yuk, cantik.”Perkataan Sean barusan membuat April yang semula sedang asyik-asyiknya mengulek sambal pun secara otomatis menoleh ke belakang. Oh, ternyata bocah itu sedang bertelepon ria dengan seorang
“Ta-Tara….”Mata April terbeliak saat melihat kedatangan Tara yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu rumahnya.Apalagi saat ini terlihat wajah tampak... tampak sangat marah.Dengan kesusahan April mencoba berdiri dari atas tubuh Sean. Dia merutuki kebodohannya sendiri. Kenapa pula dia bisa jatuh dan berakhir dengan posisi seperti itu. Pasti Tara akan berpikiran macam-macam.“Ta-Tara. Dengerin a-aku....”Bagaimana dia menjelaskan ini semua kepada Tara?Tara tampak mengeratkan rahangnya. Tangannya mengepal kuat-kuat. Ditatapnya Sean dengan pandangan mematikan.“Tar. Ini nggak seperti yang kamu bayang—”Belum sempat April menyelesaikan ucapannya. Dengan langkah cepat Tara menghampiri Sean yang sedang mengusap bajunya kotornya karena terjatuh. Tanpa ba-bi-bu Tara pun mencengkeram erat kerah baju Sean.“Siapa kamu? Apa yang kamu lakuin di rumah tunangan saya, hah?!&r
“Terkadang semesta memang sebercanda itu kepadamu. Kau dibuat jatuh hati sedangkan orang lain yang ditakdirkan untuk memiliki.”-By: Sean Ganteng***Sean memasang wajah masam, dia malas sekali meladeni keinginan pacarnya April itu untuk bicara empat mata dengannya.Awalnya Tara ingin mereka membahas hal ini di kamar Sean. Tapi Sean ngeri, takut diapa-apakan. Lagi pula aneh saja kalau dua lelaki dikurung dalam satu kamar. Bisa-bisa baku hantam.Jadi berakhirlah Sean di sini, duduk bersebelahan di sofa ruang tamu bersama Tara.“Lo ngomong apa? Gue ini sibuk,” ucap Sean yang malas berbasa-basi.April diam-diam menguping pembicaraan mereka dari balik pintu kamarnya. Dia menempelkan telinganya erat pada pintu kamar supaya dapat mendengar suara mereka lebih jelas lagi. Apa Sean hendak disidang Tara, ya?“Jadi kamu beneran nggak ada hubungan apa-apa s