"Ini, mah, kandang Ayam!" teriak Sean seketika.
April sebal. Keponakan Pak Hans ini terlalu banyak protes, deh.
"Ya, udah kalau nggak mau nggak usah tinggal di sini!" teriak April tak kalah kerasnya lantaran merasa kesal.
Dengan cemberut Sean duduk di sofa panjang yang berada di depan dinding salah satu kamar. Ia pasrah. Mungkin sofa panjang ini digunakan April ketika dia menonton TV.
"Ini kamar kamu nantinya. Udah ada kamar mandinya di dalem," kata April ketika membuka kamar yang berada di belakang sofa tempat duduk Sean saat ini.
Karena merasa penasaran, Sean pun berdiri untuk melihat isi dari kamar yang hendak ditempatinya nanti.
Langsung saja dahi Sean mengeryit lagi. Kamar ini jelek, hanya ada satu lemari kayu berwarna cokelat, meja belajar di sebelahnya, dan tempat tidur yang untungnya sudah dari spring bed.
"Oh, iya, aku kelupaan sesuatu. Satu juta tujuh ratus ribu itu belum termasuk biaya listriknya, loh, ya. Nanti listriknya kamu beli token sendiri."
Sean menjatuhkan rahangnya.
WHAT!
Ah, ya, sudahlah. Lagi pula uang yang diberikan Kokonya juga berjuta-juta, kok. Hanya Sean heran saja bisa bertemu wanita seperti April yang apa-apa peritungan sekali.
"Aku tinggal dulu, ya. Mau bersihin kamarku di sebelah."
***
April dengan gesit membersihkan kamarnya sendiri. Rencananya untuk beberapa hari ke depan dia lebih memilih untuk tinggal di sini sebentar.
Mungkin dua atau tiga harian sampai suasana hatinya mulai membaik kembali mengingat kejadian tadi pagi di ruang makan bersama Mama.
April mengambil handphone-nya yang berada di dalam tasnya. Ia menyenderkan punggungnya sejenak pada tepian ranjang untuk mengirimkan pesan kepada Papa.
April: Papa... April mau ngabarin ke Papa kalau kayaknya untuk beberapa hari ke depan April nggak pulang dulu. April nginep di rumah jalan Sadewa buat nenangin diri. Papa jangan khawatir, ya, sama April.
Ketika April telah menekan tombol kirim dan menunggu beberapa saat.
Pesan w******p-nya pun kini berubah mejadi centang dua biru-yang artinya Papa di seberang sana sudah membaca pesan darinya.
Ada rasa berdebar ketika April melihat di bawah nama kontak Papa terdapat kalimat sedang mengetik cukup lama.
Sesaat kalimat sedang mengetik itu pun hilang, kemudian muncul lagi. Mungkin tadi Papa sudah mengetik namun dihapusnya kembali.
Papa: Ya, udah kalau gitu. Kamu jaga kesehatan dan jaga diri baik-baik, ya, Pril. Nanti kalau suasana hatimu udah baikan jangan lupa buat pulang ke rumah.
April tersenyum tipis membaca pesan dari Papanya. Jika seperti ini April selalu teringat akan kisah-kisah sedih yang dimilikinya.
Ia teringat kembali... dulu kalau tidak salah pernah beberapa kali April mendapati Mama dan Papanya cekcok mengenai keberadaannya di rumah.
Mama selalu tidak suka dengan kehadirannya lantaran April hanyalah anak angkat sedangkan Papa selalu mempertahankan keberadaannya di rumah. Dulu, sayup-sayup April pernah mendengar seperti ini ketika Papa berdebat dengan Mama di dalam kamar....
"Kalau April tinggal di sana sendirian... gimana kalau nanti dia sakit?"
"Ya, itu urusan dia! Aku mana peduli. Orang anakku aja bukan, kok!"
"Tapi dia keponakan aku. Kamu bisa nggak peduli karena dia nggak sedarah sama kamu. Coba kalau nantinya Monna bernasib kayak gitu. Apa kamu tega kalau itu Monna?"
"Kenapa kamu nyangkutin sama anak kita! Monna sama April jelas beda. Intinya aku nggak suka sama anak itu!"
"Apa kamu pernah mikir siapa yang bakalan jagain April kalau dia tinggal sendirian? Dia itu anak perempuan dan sebatang kara. Cuma aku keluarga yang saat ini dia punya!"
Tapi April sadar. Alasan lain Papa memberati kepergiannya adalah karena dulu Papa pernah berjanji kepada Oma jika Papa akan menjaganya dengan baik sebelum ajal menjemput Oma. Janji yang dipegang teguh oleh Papa angkatnya yang tak lain adalah Omnya sendiri sampai saat ini.
April mengembuskan napas berat. Hanya menikah dengan Taralah ia baru bisa keluar dari rumah bak neraka itu. Baru sekitar sepuluh menit meratapi nasibnya yang jelek itu. April terperanjat ketika mendengar suara benda jatuh dari arah dapur.
Ada apa, sih?
Karena penasaran, akhirnya April pun keluar kamar untuk mengeceknya.
"Cari apa?!" teriak April ketika melihat Sean memungut panci yang dijatuhkannya. Nampak juga beberapa daun pintu lemari dapur terbuka lebar.
"Aku laper. Nggak ada makanan apa? Kulkas mana?" tanya Sean dengan kesal.
"Mana ada kulkas, kalau mau makan mending nge-grabfood atau beli di warung aja deket sini."
Sean kembali duduk di sofa panjang itu sambil mengacak rambutnya frustrasi. Kelaparan membuatnya tiba-tiba naik darah.
Sean hanya mampu mengomel dalam hati. Sumpah ini rumah apaan, sih. Kenapa apa-apa tidak ada!
"Masakin aku, dong, Pril. Aku nggak suka makanan grabfood."
April memutar bola matanya ke atas. Manja sekali, sih, anak ini.
Sebenarnya April hendak menolaknya saja. Tapi melihat Sean memegang perutnya seperti itu. Dia terlihat benar-benar kelaparan sekali sehingga membuat April tidak tega. Apalagi tadi sehabis pulang kerja Sean langsung mampir ke sini. Pasti dia belum makan.
Ya, sudahlah. Nanti kalau sedang tidak malas April akan membuatkan makanan untuknya.
"Kayaknya aku masih punya simpenan mie instant sama telur seperempat di lemari. Kamu mau?"
Sean menganggukkan kepala. Tidak apalah makan mie instant daripada mati kelaparan.
"Yaudah sana masak aja. Ada di situ," kata April sambil menunjuk salah satu laci lemari dapur menggunakan dagunya.
"Nggak bisa," bohong Sean. Bukannya Sean tidak bisa memasak mie. Dia hanya malas saja lantaran sudah kelaparan. Ususnya terasa sudah melilit.
"Kalau gitu aku masakin mau?" tawar April sambil tersenyum lembut kepada Sean membuat bocah itu ikutan tersenyum senang dan menganggukkan kepala seperti anak kecil yang menggemaskan.
"Tapi jasa masaknya dua puluh ribu, loh, ya," ucap April membuat Sean menganga.
Gila! Wanita ini memang rentenir! Masak satu piring mie telur dibandrol dengan harga dua puluh ribu rupiah!
Padahal kemarin ketika Sean menginap di rumah Riki. Mereka sempat memesan makanan menggunakan grabfood saja hanya habis dua puluh ribu itu sudah dapat makanan plus lauk karena kena promo, lho.
"Gila! Mahal banget!"
"KALAU NGGAK MAU, YA, UDAH! SANA MATI AJA KELAPERAN!" teriak April dengan galak.
Memangnya di dunia ini ada yang gratis apa? Cuma mengupil dan kentut saja yang gratis. Kencing saja dua ribu, kok.
Apalagi keponakannya Pak Hans itu kaya. Harus dimanfaatkan dengan baik, dong, tentunya.
***
Hai... Cuma mau ngingetin, nih. Jangan lupa berikan like & komennya, siapa tahu kalian kelupaan ninggalin jejak karena keasyikan baca. Makasih. (IG: Mayangsu_)
“Gimana? Jadi nggak aku masakin tapi bayar dua puluh ribu?” ulang April lagi.“Yaudah, yaudah.”Cuma dua puluh ribu saja, kok. Enteng,batin Sean menyombongkan diri.Dengan perasaan senang April menyalakan kompornya yang sudah lama tidak ia gunakan.Masih bisa tidak, ya? Ah, untung saja masih mau menyala.Memang April membeli kompor dan mejikom. Jaga-jaga kalau dia kabur dari rumah maka dia masih bisa masak sendiri daripada beli makanan karena menurut April memasak sendiri lebih hemat.Sekiar sepuluh menitan April berkutat di dapur mungilnya tersebut untuk membuat dua mangkuk mie rasa ayam bawang dengan telur ceplok setengah matang.“Udah jadi!”April tersenyum senang dan menaruh dua mangkuk mie buatannya di atas meja lipat panjang. Mereka berdua saat ini seperti sedang makan di tempat makan lesehan saja. Sean menyantap mie telur ceplok setengah matang buatan April. Enak juga, sih.
Pagi ini April akan memasak sayur bayam dengan tambahan gambas yang dipotong-potong membentuk bulatan kecil, lalu dia juga akan membuat sambal korek serta lauk tempe goreng.April menengok ke belakang hanya untuk melihat sekilas Sean yang sedang bersandar malas di sofa. Makanan yang dimasaknya memang masakan rumahan sederhana. Apa nanti ketika dia membaginya dengan Sean anak itu mau memakan masakannya, ya?April mengedikkan bahunya cuek. Entahlah lidah orang kaya mau atau tidak memakan masakan seperti ini. Tapi kalau sampai Sean mencibir masakannya sebagai makanan ayam pasti April akan menghajar bocah itu betulan.“Halo, Chikaku, Sayang. Apa kabar? Udah lama, ya, kita nggak teleponan lagi. Hari ini kamufreenggak? Nanti malem nonton, yuk, cantik.”Perkataan Sean barusan membuat April yang semula sedang asyik-asyiknya mengulek sambal pun secara otomatis menoleh ke belakang. Oh, ternyata bocah itu sedang bertelepon ria dengan seorang
“Ta-Tara….”Mata April terbeliak saat melihat kedatangan Tara yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu rumahnya.Apalagi saat ini terlihat wajah tampak... tampak sangat marah.Dengan kesusahan April mencoba berdiri dari atas tubuh Sean. Dia merutuki kebodohannya sendiri. Kenapa pula dia bisa jatuh dan berakhir dengan posisi seperti itu. Pasti Tara akan berpikiran macam-macam.“Ta-Tara. Dengerin a-aku....”Bagaimana dia menjelaskan ini semua kepada Tara?Tara tampak mengeratkan rahangnya. Tangannya mengepal kuat-kuat. Ditatapnya Sean dengan pandangan mematikan.“Tar. Ini nggak seperti yang kamu bayang—”Belum sempat April menyelesaikan ucapannya. Dengan langkah cepat Tara menghampiri Sean yang sedang mengusap bajunya kotornya karena terjatuh. Tanpa ba-bi-bu Tara pun mencengkeram erat kerah baju Sean.“Siapa kamu? Apa yang kamu lakuin di rumah tunangan saya, hah?!&r
“Terkadang semesta memang sebercanda itu kepadamu. Kau dibuat jatuh hati sedangkan orang lain yang ditakdirkan untuk memiliki.”-By: Sean Ganteng***Sean memasang wajah masam, dia malas sekali meladeni keinginan pacarnya April itu untuk bicara empat mata dengannya.Awalnya Tara ingin mereka membahas hal ini di kamar Sean. Tapi Sean ngeri, takut diapa-apakan. Lagi pula aneh saja kalau dua lelaki dikurung dalam satu kamar. Bisa-bisa baku hantam.Jadi berakhirlah Sean di sini, duduk bersebelahan di sofa ruang tamu bersama Tara.“Lo ngomong apa? Gue ini sibuk,” ucap Sean yang malas berbasa-basi.April diam-diam menguping pembicaraan mereka dari balik pintu kamarnya. Dia menempelkan telinganya erat pada pintu kamar supaya dapat mendengar suara mereka lebih jelas lagi. Apa Sean hendak disidang Tara, ya?“Jadi kamu beneran nggak ada hubungan apa-apa s
“Yang lebih berat itu bukanlah cinta beda keyakinan. Melainkan cinta beda alam. Karena kau tidak akan bisa bertemu dia lagi.”-April***“Kak April. Kak Tara... Kak Tara... Dia kecelakaan,” ucap Bima dengan terbata membuat April membuka mulutnya tidak percaya.A-apa? Kecelakaan?Mendengar hal tersebut. Tubuh April pun kaku membeku, bahkan rasanya jantungnya seolah berhenti berdetak. Dia syok dan menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Nggak mungkin! Ini semua nggak mungkin. Kamu bohong, kan, Bim?” April mencengkeram kedua lengan.Kini mata April mulai terasa panas. Hingga akhirnya air matanya pun jatuh membasahi pipi.“Sekarang Taranya ada di mana?” tanya Papa sambil memegangi lengan April yang menangis sejadi-jadinya, ia mulai hilang kendali.Bima menyebutkan alamat rumah sakit serta ruangan tempat kakaknya saat ini berada.&ld
Bima: Kak April. Aku mau ngasih kabar kalau Kak Tara sudah berpulang ke rahmatullah siang tadi.Jantung April berdetak cepat ketika membaca pesan masuk dari Bima pada whatsapp-nya. Sampai-sampai April membaca pesan duka tersebut berulang-ulang, berharap ini semua hanyalah berhalusinasi.Be-benarkah Tara meninggal? Benarkah nyawa Tara tidak dapat diselamatkan?Buru-buru April menghubungi nomor Bima namun Bima menolak panggilan teleponnya.Nggak mungkin, kan? Pasti Bima bohong, kan?Kemudian beberapa detik setelahnya Bima mengirimi pesan lagi kepadanya.Bima: Maaf, Kak, nggak bisa angkat. Di sini lagi banyak orang. Semoga Kak April tetap kuat, ya, di sana.Bima: Oh, iya, Kak. Boleh nggak Kak, aku minta tolong sesuatu sama Kak April?Bima: Maaf, Kak, sebelumnya. Aku minta tolong banget sama Kak April supaya untuk sementara waktu Kakak jangan berkunjung/melayat dul
Entah pukul berapa Sean terbangun dari tidurnya. Mungkin sekarang hari sudah malam. Dan benar saja, ketika Seina menatap ke arah jam yang berada di dindingnya, ternyata ini sudah pukul setengah tujuh malam. Dengan kantuk yang masih tertahan. Sean berjalan gontai keluar kamarnya. Dia ingin mengecek keadaan April. Apakah dia baik-baik saja. Apakah mienya sudah dihabiskan? Sean meringis ketika melihat mi yang berada di atas nakas tidak disentuh April sama sekali. Mi itu sekarang sudah dingin dan mengembang parah. April terlihat tidur miring meringkuk seperti bayi dalam kandungan, mungkin dia kelelahan karena menangis. “Pril….” Sean menggusap pelan lengan April. Namun dahi Sean seketika mengerut ketika merasakan kulit April terasa hangat. Punggung tangan Sean menyentuh dahi April dengan perlahan, kemudian Sean berganti menyentuh kulit pada leher April. Sial! Dia demam! Tangannya memang hangat, tapi suhu pada dahinya panas se
Ketika matahari masih malu-malu untuk menampakkan sinarnya. April mulai terbangun dari tidurnya.Dia mengerjabkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya ruangan.“Sean?” ucap April tatkala mendapati Sean yang saat ini sedang terlelap persis beberapa senti depan wajahnya.Sean tertidur dengan kaki yang berada di lantai sedangkan kepalanya bertumpu di ranjang April.Jadi… Semalam Sean tidur di sini?Tangan April terulur hendak menyentuh pundak Sean untuk membangunkannya, namun tidak jadi.Pasti bocah itu kurang tidur mengingat posisi tidurnya saat ini terlihat sangat tidak nyaman.“Makasih, ya, Sean.”April tersenyum dan mengusap pipi Sean dengan pelan. Takut apabila dia terbangun.“Makasih karena semalem udah ngerawat aku....""Makasih karena ketika Tuhan ngambil semuanya dari aku. Kamu, yang bahkan bukan siapa-siapa aku tetep mau berada di sam