Aku terkejut saat membuka pintu dan mendapati Mas Adnan meringkuk dan hampir terinjak olehku. Mungkin semalaman ia tidur di depan pintu kamar ini karena aku tak kunjung membuka pintu untuknya. Beberapa kali ia memang mengirim pesan agar aku membuka pintu, namun aku tak membukanya karena moodku terlanjur kacau oleh bentakannya itu."Inara?" gumam Mas Adnan seraya bangun, ia langsung meraih kedua tanganku dan kembali meminta maaf."Aku benar-benar tak bermaksud membentakmu, sayang. Maafkan aku!" ucapnya."Iya, gak papa kok, mas! Mungkin aku memang harus terbiasa dengan semua perubahan ini," sahutku seraya melanjutkan langkahku.Saat ini aku hendak membuatkan susu untuk Dara, namun ternyata begitu aku kembali ke kamar di sana sudah ada Karin yang sedang bermain bersama Dara.Melihat wanita itu, seketika aku teringat kejadian kemarin, aku langsung menghampirinya dan memintanya untuk berhenti bekerja dengan alasan agar Dara bisa lebi
Malam ini aku merasa sangat gelisah, entah kenapa Mas Adnan malah membiarkan Dara tidur dengan Karin padahal aku sangat ingin dekat dengan Dara namun Mas Adnan seolah tak mengerti perasaanku. Alasannya yang mengatakan agar aku tidak kelelahan dan terjaga tengah malam karena tangisan Dara menurutku tidak masuk akal. Bukankah itu adalah hal yang wajar bagi seorang ibu?"Sayang, kok kamu belum tidur?" tanyanya.Mas Adnan mengusap pipiku dengan lembut lalu mengecupnya singkat. "Kamu kan tau, aku ingin tidur bersama Dara," sahutku."Sayang, aku kan sudah menjelaskan semuanya. Ini hanya untuk sementara," jelasnya.Ia terus berusaha membujuk ku yang terus merajuk ingin tidur bersama Dara, berbagai alasan tentang kesehatanku terus ia ucapkan hingga membuat aku malas untuk terus berdebat dengannya."Ya sudah, kalau gitu aku tidur saja!" pungkasku seraya membalikan tubuh dan membelakangi Mas Adnan, sedangkan ia hanya d
Dara mengangkat wajahnya, ia terdiam dan memandang wajahku cukup lama, mungkin ia heran kenapa aku menangis, hingga kemudian tanpa kuduga kedua tangan kecilnya mengusap air mata yang mengalir di pipiku. Ia lalu menyodorkan botol susunya pada mulutku persis seperti apa yang kulakukan padanya. Melihat tingkah menggemaskannya seketika aku tersenyum, kupeluk Dara seraya kucium ia dengan penuh kasih sayang."Terimakasih, nak! Kamu sudah menenangkan hati bunda," bisikku di samping telinganya."Nda ...," beonya seraya memegang wajahku.Untuk yang pertama kalinya, aku mendengar Dara mengucapkan kata bunda dengan versinya sendiri, seketika aku merasakan suatu kebahagiaan tersendiri dalam hatiku. Ucapan dan tingkah Dara barusan sungguh bagai sebuah air yang telah berhasil memadamkan api yang sedang berkobar dalam hati. Ku usap air mataku, lalu mengajak Dara untuk tidur meskipun di luar sana Mas Adnan terus mengetuk pintu dan memanggilku.
"Aku tidak mau, mas!" ucap Karin cepat. Ia menatap Mas Adnan dengan penuh kekesalan."Iya, Adnan, ibu juga tidak setuju!" sambung ibu seraya menatap tajam ke arah Mas Adnan."Karin, tapi kita berdua sudah janji, kamu sendiri yang bilang kalau kamu siap diceraikan. Kenapa sekarang jadi tidak mau?" ucap Mas Adnan seraya memicingkan matanya pada Karin.Sedangkan aku sama sekali tak berminat untuk ikut bicara dengan mereka."Iya, mas. Tapi itu kemarin-kemarin sebelum kamu menyentuhku. Sekarang, setelah dapat manisnya, enak saja kamu mau ceraikan aku segampang itu," sahut Karin membuatku bertambah muak mendengar percakapan mereka berdua.Aku menghentakkan kakiku lalu berjalan menuju kamar, namun tak ku sangka dengan cepat Mas Adnan menyusul langkahku hingga kini ia sudah berhasil masuk ke dalam kamar."Keluar, mas! Aku mau sendiri," ucapku seraya membuka pintu dengan lebar."Keluar, mas! Jangan sampai kamu membuat aku marah d
Saat ini aku tengah duduk di ruang tengah, berkumpul bersama tiga orang yang telah membuatku terluka. Jam sudah menunjukan pukul tiga dini hari, namun tak ada sedikitpun rasa kantuk dalam diri ini. Hal itulah yang membuatku akhirnya mau hadir di tengah-tengah mereka untuk membicarakan semua masalah ini."Kita sama-sama wanita, mbak. Aku harap mbak mau mengerti posisiku saat ini, mbak," ucap Karin di tengah pembicaraan kita."Kalau aku harus mengerti posisimu, kenapa juga kamu tidak mencoba untuk mengerti posisiku? Bagaimana perasaanmu jika ada pada posisiku, hah?" tanyaku pelan.Karin terdiam, dia memandang Mas Adnan sebentar lalu kembali menatapku."Aku tau, orang ketiga yang selalu salah. Tapi, aku juga tak mau sepenuhnya di salahkan, mbak," tuturnya."Aku bukan bermaksud merusak rumah tangga kalian ataupun merebut Mas Adnan. Saat itu, mbak sedang koma, dan kami difitnah seseorang hingga kami disudutkan harus menikah. Aku maup
"Mulai detik ini, aku, Adnan Erlangga, bersumpah tidak akan menceraikanmu, sampai kapanpun juga. Hanya maut, yang bisa memisahkan kita," sambungnya membuat air mataku luruh. Aku bahkan tak mengerti air mata apa ini, dan rasa apa yang ada dalam hatiku ini.Disatu sisi aku ingin bercerai karena sakit hati dan tak mau di madu, tapi di sisi lain aku merasa lega saat bukan kalimat talak yang Mas Adnan ucapkan."Adnan! Apa-apaan kamu?!" sentak ibu dengan sorot tajam pada Mas Adnan."Kenapa, Bu? Kenapa ibu sangat ingin kita pisah? Ibu tidak suka melihat anakmu ini bahagia, Bu? Kebahagiaan ku hanya ada pada Inara, Bu. Tolong mengerti," ucap Mas Adnan terdengar tegas."Tapi, mas ... aku juga tak mau di ceraikan," cicit Karin seraya menatap iba pada Mas Adnan."Dengarkan baik-baik, kalian berdua akan tetap menjadi istriku, dan aku berjanji akan berlaku seadil mungkin terhadap kalian berdua," sahut Mas Adnan membuat dadaku lagi-lagi berden
Begitu mentari telah terbit, ibu dan juga Karin sudah mengemasi barangnya, mereka telah bersiap untuk keluar dari rumah ini dan pindah ke rumah lama Mas Adnan. Ku lihat, Mas Adnan baru saja menyugar rambutnya yang basah, sepertinya ia baru saja selesai mandi. Hal itu lagi-lagi membuat hatiku bagai teriris. Wanita mana yang tak akan sakit jika melihat dengan mata kepala sendiri pria yang ia cintai sedang bergumul dengan wanita lain."Ayo! Lebih baik kita pergi sekarang!" ajak Mas Adnan pada kedua wanita yang tengah duduk sembari memegang koper mereka masing-masing.Karin nampak gelisah, sesekali ia melirik ke arahku lalu berganti pada Mas Adnan."Mas, aku belum mandi," bisiknya pelan, namun masih terdengar jelas di telingaku."Memangnya kamu tidak salat subuh?" tanya Mas Adnan seraya mengerutkan dahinya.Aku hanya mencebik sebal mendengar pernyataan tak penting itu lalu melangkah meninggalkan mereka menuju kamarku.Selang lima bel
Sudah tiga hari aku tinggal berdua saja bersama Dara, beberapa kali Mas Adnan pulang namun aku tak pernah mau membukakan pintu untuknya, ia juga terus menghubungiku via WhatsApp, namun aku tak meresponnya.[Statusmu dan Karin masih pengantin baru, tinggallah bersamanya barang beberapa hari untuk menikmati momen pengantin kalian. Tak usah hubungi aku selagi kamu sedang bersamanya agar tak membuat hatinya terluka!]Itu adalah pesan pertama sekaligus terakhir yang ku kirim saat Mas Adnan terus menghubungiku dan meminta untuk dibukakan pintu.Ting!Satu notif WA muncul di layar ponselku, aku yang sedang menemani Dara tidur langsung membukanya.[Sayang, aku sudah di depan. Tolong bukakan pintu untukku, sudah tiga hari aku di rumah Karin, sekarang ... ijinkan aku untuk tinggal bersamamu. Aku sangat merindukanmu, Inara, aku juga khawatir terhadap kondisimu.]Aku hanya bisa tersenyum getir membaca pesan tersebut. Entah kenapa, setelah kebohon