Share

Bab 4

"Itu karena ...."

Mas Fahri terlihat membuang napas pelan.

"Karena Nisa tidak bisa memberikan keturunan. Saat belia, Nisa mengalami kecelakaan yang menyebabkan rahimnya harus diangkat."

Deg

Hatiku berdenyut lebih kencang dari sebelumnya. Rasa kecewa langsung merajai hati.

"Jadi, Mas menikahiku hanya karena ingin mempunyai anak? Mas mau menjadikanku istri pencetak anak?"

Emosi yang sempat mereda, kini kembali membuncah. Tak menyangka jika tujuan Mas Fahri menikahiku hanya karena ingin mendapatkan keturunan.

"Tidak, tidak seperti itu, Nay. Jangan salah paham. Aku menikahimu karena memang benar-benar mencintaimu."

"Bagaimana kalau ternyata, aku juga tidak bisa memberikanmu keturunan? Bukankah kita juga sudah setahun menikah? Tapi belum ada sama sekali tanda-tanda kehamilan. Apa kamu juga akan menikah lagi?"

Mas Fahri terlihat gelagapan.

"Ti-tidak. Tentu saja tidak, Sayang."

Entahlah, apa yang dikatakannya benar atau tidak. Aku sudah tidak bisa mempercayainya. Aku terlanjur kecewa padanya.

"Apa, Mas juga mencintai Nisa?"

Mata Mas Fahri terlihat membeliak.

"A-aku, aku hanya mencintaimu," jawab Mas Fahri tergagap.

"Yakin, Mas, kamu tidak mencintai Mbak Nisa? Dia cantik loh. Dia juga sepertinya wanita solehah.

Aku menatap lekat matanya.

"Aku hanya menyayanginya. Aku banyak berhutang budi pada keluarganya."

Ah, alasan, batinku.

"Maaf, Mas. Aku tidak sanggup. Aku tidak bisa kalau harus berbagi seperti ini. Hatiku tidak siap. Tapi kamu tenang saja, aku tidak akan memintamu untuk menceraikan istri pertamamu. Aku sadar diri, akulah yang kedua di sini. Jadi, akulah yang seharusnya mundur."

Aku berkata dengan berurai air mata. Hatiku perih luar biasa. Tak bisa dipungkiri, aku sangat mencintai Mas Fahri. Tapi aku tidak bisa menjalani hubungan seperti ini. Apalagi semula dimulai dengan kebohongan.

"Tolong jangan bicara seperti itu, Sayang. Aku sangat mencintaimu. Aku tidak mau kehilanganmu."

Mas Fahri memegang kedua tanganku.

"Kamu egois, Mas. Kamu tidak mau melepas Mbak Nisa ataupun aku. Kamu serakah, mau dua-duanya. Aku bukan wanita berhati baja seperti mbak Nisa yang dengan mudah menerima diduakan. Aku tidak bermaksud menentang poligami, tapi imanku belum cukup kuat."

Aku menepis tangan dari tanganku.

"Tolong, Nay. Jangan mengambil keputusan saat sedang emosi. Pikirkan dulu semuanya baik-baik."

Mata Mas Fahri sudah dipenuhi kaca-kaca.

"Aku sudah tidak bisa mempercayaimu lagi, Mas. Bagaimana mungkin aku harus melanjutkan hubungan dengan orang membohongiku sejak awal? Bahkan, entah berapa banyak kebohongan yang Mas sembunyikan selama ini. Dan ya, selama ini Mas sering sekali pergi keluar kota dengan alasan pekerjaan. Aku yakin itu juga berbohong. Kamu pasti menemui Mbak Nisa, kan?"

Mas Fahri terlihat mengangguk pelan.

Lagi-lagi hatiku berdentam hebat. Tak menyangka, jika pernikahanku yang baru seumur jagung ini, penuh dengan kebohongan.

"Ceraikan aku, Mas!" pintaku pilu.

"Tidak, Nay. Tidak. Tolong jangan tinggalkan aku. Aku sangat mencintaimu. Aku tak bisa hidup tanpamu. Kamu cinta pertamaku dan juga cinta terakhirku."

Wajah Mas Fahri terlihat memelas. Matanya sudah dipenuhi kaca-kaca yang hampir pecah.

"Kalau begitu, keluarlah. Tinggalkan aku sendiri."

"Nay?"

"Tolong, Mas. Keluar!"

Aku berteriak.

Dengan langkah gontai, Mas Fahri berjalan keluar dari kamar.

Kutekuk kedua kakiku. Lalu menenggelamkan wajahku di sana. Menangis sesenggukan untuk menumpahkan segala sesak yang mendera. Aku tidak kuat, sungguh tidak kuat.

*****

Siang kini sudah berganti malam. Aku sama sekali tidak keluar dari kamarku. Yang kulakukan hanya menangis. Ketika waktu salat tiba, aku begitu antusias untuk segera melaksanakannya. Ingin segera menumpahkan semua kekalutan kepada Sang pemilik hati.

Aku sengaja mengunci kamarku. Tak ingin ada yang mengganggu. Biarlah Mas Fahri tidur bersama kakak maduku. Meski membayangkan apa yang akan mereka dilakukan di dalam kamar membuat hatiku dihujam jutaan jarum secara bersamaan.

Malam sudah semakin larut. Namun mataku tak kunjung mau terpejam. Aku gundah luar biasa. Memikirkan langkah apa yang harus kuambil kedepannya. Yang pasti, aku ingin keluar dari pernikahan penuh kebohongan ini. Aku ingin keluar dari rumah ini.

Tapi kemana? Andai pulang kembali ke rumah orang tuaku, aku takut darah tinggi ibu kembali kambuh. Apalagi ibu baru saja sembuh. Andai Bang Irsyad tidak pergi ke Bali, aku pasti sudah datang padanya. Seminggu lagi Bang Irsyad baru akan kembali. Tak mungkin aku harus menunggu sampai seminggu lamanya. Sehari saja rasanya aku tak sanggup.

Kulirik jam dinding, sudah pukul satu dini hari. Tenggorokanku rasanya kering sekali. Aku pun terpaksa turun dari ranjang untuk mengambil air minum.

Kubuka pintu perlahan, takut terdengar Mas Fahri ataupun Mbak Nisa. Berjalan mengendap-endap menuju dapur.

Aku mengambil satu botol besar air mineral dari dalam kulkas. Juga sebungkus roti coklat untuk mengganjal perut.

Aku berbalik untuk kembali ke dalam kamar. Namun saat sampai di ruang tengah, hatiku serasa mencelos, melihat Mas Fahri tidur di sofa. Tubuhnya tertutup selimut sampai ke dada. Mungkin Mbak Nisa yang menyelimutinya.

Kupikir Mas Fahri tidur dengan Mbak Nisa.

Ah, tidak. Aku tidak boleh iba. Apa yang dilakukan Mas Fahri hanya karena aku sedang berada di rumah ini.

Aku meneruskan langkah menuju kamar. Kembali menutup pintu saat sudah sampai.

*****

Cahaya matahari menerobos masuk lewat celah jendela kamarku. Rupanya aku tertidur di atas sajadah setelah salat subuh tadi. Kubuka mukena yang masih melekat, lalu melipatnya.

Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Guyuran air terasa sangat sejuk di kulit. Sedikit menyiram hatiku yang masih memanas.

Setelah berganti baju dan sedikit berdandan, aku membuka pintu kamar berniat pergi ke dapur untuk membuat sarapan.

Namun, saat sampai di dapur, Nisa sudah berada di sana. Dia terlihat sedang mengiris bawang merah. Aku mematung menatapnya.

"Eh, Mbak Naya?"

Nisa terlihat salah tingkah ketika menyadari keberadaanku.

"Maaf, aku menggunakan dapurmu untuk membuat sarapan," tuturnya lembut.

Entah kenapa wajahnya selalu menunduk setiap bertemu denganku.

"Pakai saja. Bukankah ini juga rumah suamimu," jawabku ketus sambil berlalu meninggalkannya dan kembali masuk ke dalam kamar.

Aku duduk di tepi ranjang. Mengusap wajah dengan kasar. Kenapa semua ini harus menimpaku? Bahkan aku merasa sangat tidak nyaman berada di rumahku sendiri. Tepatnya rumah suamiku.

Meskipun terlihat baik, entah kenapa aku tetap tak bisa bersikap baik pada Nisa. Meskipun aku tahu dia sama sekali tidak bersalah. Semua ini murni kesalahan Mas Fahri. Sebagai seorang istri, hatiku terbakar cemburu melihat perempuan lain di rumah ini.

Ah, aku sampai lupa. Bukankah aku tadi berniat untuk membuat teh. Mungkin dengan menghirup aroma teh melati kesukaanku, akan sedikit memberi ketenangan dalam hatiku.

Aku kembali keluar kamar. Melangkah pelan hendak ke dapur. Namun langkahku terhenti saat aku melewati kamar yang ditempati Nisa.

"Awwww ... sakit, Mas. Pelan-pelan." Suara Nisa terdengar merintih.

"Iya, maaf," sahut Mas Fahri.

"Jangan terlalu ditekan, Mas, sakit?"

Dadaku berdebar hebat. Darahku rasanya mendidih sampai ke ubun-ubun. Apa sebenarnya yang sedang mereka lakukan?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
udah tau dibohongi dari awal masih aha plin plan g jelas. mana ada cinta klu udah bohong
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status