Share

Lampu Kuning

“Aduh. Itu si Ela bener-bener bikin ulah, yah.” Bu Romlah muncul dari balik pintu tak lama setelah penjual jamu tadi pergi. “Maaf, ya, neng Hana nunggu kelamaan. Dari semalam saya bolak-balik WC, Neng. Perut melilit. Mau pesan apa, Neng?”

“Pengen gorengan bakwan sama pisang, Bu. Ceban aja,” ucap Farhana kasihan.

Tak beda dengannya, Rey juga memandang Bu Romlah prihatin. “Salah makan mungkin, Mpok,” ujarnya.

“Kayaknya sih gitu.”

“Emang Bu Romlah makan apa?” tanya Farhana.

“Makan martabak yang dibawa Usman. Katanya, sih, martabak angetan. Boleh dibawain jamaah majlis taklim. Karena nggak habis terus diangetin dan dibagiin di sini semalam. Kebetulan banyak bapak-bapak pada nonton bola sampai begadang.”

“Mpok udah minum obat?” tanya Rey.

“Maunya sih berobat. Biar tuntas. Tapi nggak ada yang nganterin. Suami mpok baru balik hari Sabtu nanti. Ya beginilah kalau hidup berjauhan sama suami.” Bu Romlah menyodorkan plastik berisi gorengan kepada Farhana.

“Rey anterin aja, ya, Mpok. Nggak tega lihat Mpok pucet begini. Mpok mau berobat ke mana?”

“Ya Allah, Rey. Bae bener deh elu tuh. Beruntung banget gadis yang bisa jadi istri elu nanti.” Bu Romlah melirik Farhana yang tiba-tiba salah tingkah. Mendengar ucapan Bu Romlah yang apa adanya, Farhana tersipu malu. Gadis itu senyum-senyum sendiri.

“Mpok bisa aja. Amin aja dah. Semoga dapat istri salehah kayak neng Hana. Eh, maaf, Neng. Nggak ada maksud apa-apa kok.” Rey gelagapan.

“Ya udah. Mpok mau tutup warungnya dulu, yah. Rey nanti anterin ke bidan Hayati aja yang dekat.” Bu Romlah segera bersiap menutup warungnya.

“Kalau begitu Hana pamitan ya, Bang Rey, Bu Romlah.”

“Iya, neng,” sahut Rey dan Bu Romlah berbarengan. Farhana berjalan menuju pohon mangga dimana ia biasa memarkirkan sepeda listriknya. Lalu gadis itu mulai mengayuh dan meluncur, meninggalkan Rey yang masih menatap gadis itu dengan tatapan penuh harapan.

***

“Hana, tunggu!” Farhana mengehentikan langkah saat suara yang begitu dikenalnya memanggil.

Seperti biasa, gadis itu baru saja selesai ikut kajian di majelis taklim yang kebetulan diisi oleh Usman.

Ketika menoleh, ia dapati Usman berlari ke arahnya.

“Loh, rumahmu kan ke sana.” Farhana keheranan. Tapi ia berpikir mungkin Usman sedang ada keperluan.

“Iya, aku ada keperluan dengan Pak RT. Rumahnya kan melewati rumahmu. Jadi sekalian saja aku antar kamu pulang.” Usman mensejajarkan langkahnya. Beberapa kali lelaki itu merapat, tapi Farhana segera menjaga jarak.

“Makasih, ya, sudah mau datang ke kajianku.” Usman tampak tersenyum penuh misteri. Entah mengapa Farhana merasa sangat tidak nyaman berada di dekat pemuda yang dipanggil Ustaz itu. Apalagi jika teringat chat W******p yang ditunjukkan Sintya tempo hari dan mendengar cerita Ela si tukang jamu genit tentang Usman. Farhana bergidik.

“Kamu kenapa? Seneng, ya, aku temani pulang?” tanpa basa-basi, Usman dengan rasa percaya dirinya yang tinggi berujat demikian.

“Hah?” Farhana terheran sekaligus terperangah mendengar ucapan Usman barusan. Semakin membuatnya yakin bila Usman yang berada di hadapannya kini bukanlah Usman yang ia kenal dulu. Benar-benar Usman sudah berubah. Farhana merasa asing.

“Aku ngerasa merinding, Usman. Kayaknya ada sosok tak kasat mata yang ngikutin kita deh.” Farhana menjawab asal. Jujur, ia merasa malas berlama-lama jalan berdua dengan ustaz kecakepan ini.

“Ooo ya jelas. Di antara manusia lawan jenis yang berduaan kan ada pihak ketiga. Namanya ....”

“SETAN maksudnya, Taz?” Tiba-tiba suara yang terdengar berat muncul dari arah belakang. Usman terlonjak dan menjerit kaget ketika menoleh ke belakang.

“Bang Rey?” Farhana tersenyum sumringah begitu melihat siapa yang datang. Akhirnya dirinya bisa terlepas dari manusia yang menjengkelkan. Setidaknya kehadiran Rey bisa membuat dirinya merasa aman.

Terlihat Usman begitu kesal ketika menyadari sosok yang membuatnya kaget barusan ternyata Rey, si preman kampung.

“Huh, tadi nggak kelihatan hadir kajian, kok sekarang nongol?” sindir Usman sambil mencibir.

“Rey tadi bantuin enyak bawain barang buat isi toko besok, Ustaz. Maaf, ya, Rey belum bisa hadir di kajiannya Ustaz. Nanti bila sempat, Rey akan hadir.”

“Ah, hadir nggak hadir nggak ngaruh buat saya. Terserah kamu aja.” Usman malah menjadi ketus. Farhana dan Rey saling pandang sambil mengedikkan bahu.

“Bang Rey mau ke mana? Kok lewat sini?” Farhana terlihat bingung ketika di pertigaan Rey tidak berbelok ke arah rumahnya tetapi justru berjalan lurus mengikuti Farhana dan Usman. Sejujurnya Farhana merasa lega, karena jarak rumahnya dari pertigaan masih agak jauh. Ia tidak mau berlama-lama didekati Usman.

“Oh, iya. Abang mau mengantarkan martabak ini ke Bang Razaq. Tadi Bang Razaq titip.”

“Oh, kalau begitu biar saya aja yang antarkan. Kamu pulang aja,” sambar Usman. Tangannya sudah terulur, bersiap menerima bungkusan berisi dua kotak martabak Bang Tan.

“Maaf, Ustaz. Yang diberikan amanah itu kan saya. Ustaz pastinya lebih paham memgenai amanah. Jadi biar saya yang antar langsung. Apalagi nanti merepotkan Ustaz.”

Mendengar jawaban telak dari si preman kampung membuat Usman tidak berkutik dan salah tingkah. Farhana tersenyum geli melihatnya. Apalagi terlihat betul Usman begitu menjaga wibawa saat Rey hadir di antara keduanya.

“Maaf, saya terburu-buru ke rumah Pak RT karena masih ada urusan penting lainnya. Saya permisi duluan.” Usman melihat jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Lalu pemuda itu berjalam terburu-buru.

“Silakan, Ustaz,” jawab Farhana dan Rey bersamaan.

“Hati-hati, Ustaz. Kalau jatuh bangun sendiri, ya,” Farhana menambahkan. Begitu sosok Usman terlihat semakin jauh, keduanya tergelak melepas tawa.

“Ada-ada aja si Usman itu. Benar-benar sudah berubah,” ujat Farhana.

“Kamu naksir, ya?” tanya Rey menyelidik. Namun, pria itu diam-diam menahan sakit hati.

“Ih, nggak. Dulu mungkin pernah. Tapi sekarang mikir beberapa kali.”

Senyuman sontak muncul di wajah Rey. “Dia itu banyak digandrungi gadis-gadis di sini. Karena wajahnya tampan dan punya basic pemahaman agama. Apalagi ayahnya seorang Ustaz sesepuh di kampung ini. Masa kamu gak suka?”

“Hana nggak peduli mau dia anak siapa dan profesinya apa. Hana suka lelaki yang memiliki adab, meski penampilannya terlihat urakan.” Farhana tertunduk malu. Gadis itu berharap lelaki yang bersamanya ini mengerti.

“Wah, Bang Rey nggak masuk kriteria. Di sini mana ada yang mau sama Bang Rey yang urakan begini.”

“Masak nggak ada sih, Bang? Ela tempo hari gesit banget deketin abang,” goda Farhana.

“Ya ampun, Hana. Ela sama sekali bukan tipe abang. Berat bagi abang kalau punya istri seperti Ela. Abang yang minim pemahaman agama beginj, mana bisa bimbing Ela supaya bisa berperilaku baik. Mendingan abang cari istri yang memang sudah baik akhlaknya, yang bisa membersamai abang menjadi pribadi yang jauh lebih baik.”

“Masya Allah, Bang. Jarang lelaki berpikiran seperti abang ini.” Farhana semakin mengagumi sosok Rey yang terlihat apa adanya.

Tak berasa keduanya hampir sampai. Terlihat Bang Razaq sudah menunggu di teras rumah. Begitu mencapai pagar, kedua muda-mudi itu mengucapkan salam yang dijawab Razaq.

“Kalian pulang bareng?” Tatapan Razaq begitu tajam pada keduanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status