Share

Diikuti

“Ketemu sebelum pertigaan, Bang. Tadi, sih, sama Usman juga. Tapi dia duluan. Mau ke rumah pak RT, ada keperluan katanya,” jawab Rey dengan tegas.

Dia tak ingin nilainya berkurang di depan calon iparnya.

“Hahaha.” Tiba-tiba Razaq tertawa.

“Kenapa, Bang? Ada yang lucukah?” tanya Rey keheranan.

“Pantesan tuh Ustaz muda bersungut-sungut. Gue dengerin sepanjang jalan dia ngoceh kagak jelas. Kayak orang lagi kesal. Ditanya juga kagak jawab apa-apa. Mungkin nggak nyadar ada gue di sini. Sekalian aja gue takutin. Eh dia ngibrit lari. Hahaha.” Razaq tertawa terpingkal-pingkal teringat kejadian saat Usman melewati rumahnya yang belum dinyalakan lampu terasnya.

“Ih dasar abang iseng. Kasian loh, Bang. Kalau dia ngompol di jalan gimana?” Farhana ikut tertawa.

Setelah itu, Razaq mempersilakan Rey duduk untuk berbincang-bincang. Sekadar mengobrol ngalor-ngidul sambil menikmati menikmat yang ternyata kiriman Rey, bukan pesanan Razaq. Rey terpaksa berbohong pada Usman demi melindungi perjalanan pulang Farhana dari gangguan Usman di balik topeng kealimannya.

Obrolan antara Razaq dan Rey ternyata saling menyambung.

“Gue kira elu anak begajulan karena tampilan elu yang urakan begini. Ternyata, elu bae juga, Rey.” Razaq mulai terlihat akrab dengan Rey. Kakak kembar Farhana yang satu ini sangat sulit dekat dan akrab dengan orang lain selain keluarganya. Meski terlihat begitu ramah dengan siapa pun. Tapi untuk bisa dekat, bisa dihitung dengan jari berapa orang yang bisa akrab dengan Razaq. Berbeda dengan Raziq yang terlihat sangar namun punya banyak sahabat.

Farhana berjalan menuju dapur untuk menyiapkan dua gelas kopi sebagai teman menikmati martabak. Untuk dirinya sendiri ia akan membuat seduhan cokelat. Gadis itu kembali menuju teras dengan membawa nampan berisi tiga camgkir minuman.

Saat ketiganya asyik bersenda gurau, Usman lewat di depan rumah. Melihat ada Rey yang terlihat begitu dekat dengan Razaq, pemuda itu berjalam cepat menuju arah pulang. Terlihat ustaz itu begitu dongkol. Ia sama sekali tak menjawab sapaan Razaq padanya tadi.

“Oh, iya. Elu udah tanya ke Mpok Romlah soal nasi uduk tadi pagi, Dek?” tanya Razaq. Farhana menggeleng.

“Gue rasa ada yang nggak beres sama tuh Ustaz.” Razaq mengelus dagunya yang berjenggot. Rupanya Razaq menduga hal yang sama dengan yang dipikirkan Farhana.

Ia teringat cerita Farhana soal isi chat Usman dengan Sintya, gadis pujaannya. Apa sebenarnya mau sang ustaz muda itu?

Tak terasa, waktu berlalu.

Reynold atau Reyhan sudah pulang. Bahkan, orang tua Farhana yang baru menjenguk saudara juga sudah kembali.

Hari demi hari dilalui.

Entah mengapa, Farhana semakin sering bertemu dengan Rey.

Seperti hari ini, ia ada janji untuk melakukan aksi sosial bersama pria itu.

Begutu berpamitan pada ibunya, suara mesin motor terdengar berhenti di halaman rumahnya yang luas.

“Assalamu’alaikum.” Reyhan mengucapkan salam.

Tak lama, terdengar sahutan salam dari dalam.

“Kayak kenal suaranya,” ujar hajah Husna, ibu Farhana, sambil melongok ke arah teras dari pintu dapur yang hanya ditutupi gorden.

“Itu Bang Rey, Bu. Hana sama Bang Rey mau santunan anak yatim di desa sebelah.”

“Apa? Sejak kapan elu akrab sama si preman kampung itu?”

“Ah ibu mau tau aja deh. Udah ya, Hana buru-buru, Bu. Assalamu’alaikum. Sampein sama bapak ya, Bu.” Sebelum berjalan keluar, gadisitu sempat menitipkan pesan.

“Maaf, Bu Hajah. Saya mohon izin menemani Farhana ke desa sebelah,” ujar Reyhan sopan begitu melihat hajah Husna keluar dari balik tirai yang menjadi pembatas antara dapur dan ruang tengah. Dari raut wajah wanita itu, Reyhan tahu bila dirinya tidak disukai.

“Jangan berlama-lama. Sebelum magrib Farhana harus segera pulang. Habis magrib Hana harus privat ngaji sama.Ustaz Usman, calon mantu saya.”

Deg!

Bagai tersambar petir, mendengar ucapan ibunya membuat hati Farhana kaget luar biasa. Gadis itu menoleh ke arah ibunya.

“Farhana bukan Siti Nurbaya, Bu. Farhana juga nggak mau durhaka seperti Malin Kundang. Beri Farhana kesempatan memilih pasangan yang Farhana impikan.” Farhana hendak kembali beranjak ketika sang ibu berkata hal yang menyakitkan lagi.

“Kamu berharap bisa menikah dengan si Rey, preman kampungan ini, Hana? Rendah sekali selera anak perempuan ibu satu-satunya ini.” Hajah Husna memandang sinis Rey dari ujung kaki hingga ujung rambut.

“Apa yang bisa kamu berikan kepada anak saya jika kondisimu seperti ini? Tidak ada harapan.” Hajah Husna memelototi Rey tajam.

“Sudah, Bu. Waktu Hana tinggal sedikit. Hana harus tepat waktu tiba di desa sebelah. Maafkan Hana, Bu.” Dengan tatapan nanar, Hana berpamitan. Langkah gadis itu mendadak terasa berat. Sebenarnya ia tidak mau berdebat dengan ibunya sendiri. Seandainya ibujya tahu lelaki seperti apa yang diinginkannya untuk bisa menjadi menantunya itu ....

‘Semoga Bang Razaq mau bantu menjelaskan pada ibu,' ujar Farhana dalam hatinya penuh harap.

Di sepanjang jalan kedua muda-mudi ini tak ada obrolan. Farhana larut dalam pikirannya yang berkecamuk. Begitu pun Rey. Belum apa-apa sudah ditolak mentah-mentah. Ingin mundur rasanya. Tapi ia laki-laki, pantang mundur sebelum berperang.

Belum pernah ia bertemu gadis dengan mental kuat pendirian seperti Farhana. Saat gadis desa umumnya hanya mengandalkan orang tua, Farhana terlihat begitu mandiri. Meskipun gadis itu memiliki 2 kakak lelaki, tapi ia bukan gadis manja. Bahkan yang Rey dengar dari Mpok Romlah, Farhana adalah atlet taekwondo. Salah-salah tingkah, siap-siap semua jurusnya dikeluarkan untuk melindungi diri.

“Bang Rey, menurut abang, apakah anak gadis wajib menuruti pilihan orang tuanya?” tanya Farhana membuka percakapan. Rey mengintip melalui spion motor. Wajah gadis pujaannya terlihat murung. Ia jadi teringat mimpinya beberapa hari lalu. Saat dirinya belum sedekat ini dengan Farhana. Bahkan belum saling berkenalan. Rey hanya mengamati dari kejauhan tanpa Farhana sadari.

“Pada prinsipnya, setiap anak baik laki-laki maupun perempuan itu wajib mematuhi orang tuanya. Tapi, semua berlandaskan ketaatan kepada Allah dan rasulNya. Bukan karena keinginan nafsu belaka.”

Mendengar penuturan Rey, Farhana sedikit terhenyak. Tak menyangka lelaki urakan yang sedang memboncengnya ini bisa berkata sebijaksana itu. Farhana senyum-senyum sendiri.

“Terus menurut Abang, haruskah Hana menuruti keinginan ibu supaya mau dinikahi Usman?”

Cit!

Tiba-tiba Rey menghentikan laju motornya. Ia menoleh ke belakang.

“Ada apa, Bang?” tanya Farhana.

“Mobil yang di belakang itu sejak tadi mengikuti kita, Hana.” Farhana menoleh ke belakang. Ia terhenyak. Itu mobil ibunya. Dari kejauhan ia lihat ibunya duduk di sebelah sopir. Farhana lalu memicingkan mata untuk meneliti siapa sopir di sebelahnya. Kembali dirinya terkaget menyadari siapa lelaki di sebelah ibunya.

Dia Usman!

Mau apa mereka?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status