Share

3. TERNYATA

“Akan saya jelaskan nanti setelah bertemu dengan ayahmu. Sekarang, dimana dia? Katakan padanya saya datang,” celoteh sang kakek.

Danny menelan salivanya, pandangannya seketika kosong dan berkaca-kaca. Ia tidak tahu harus berkata apa kepada kakek tersebut.

“Kenapa kamu diam saja, anak muda? Cepat panggil ayahmu!” tegur sang kakek yang tidak sabar ingin bertemu dengan ayah Danny.

“Mari saya antar Anda bertemu dengannya.” Danny melangkah kearah keluar lalu menutup pintunya kembali.

“Baiklah.” Sang kakek yang tidak tahu akan dibawa kemana hanya menurut saja kepada Danny. Beliau pikir orang yang beliau cari berada di luar.

Danny dipersilahkan masuk ke mobil mewah milik sang kakek, awalnya Danny sempat tidak mau, namun sang kakek memaksa dengan alasan ingin segera bertemu dengan Tuan Fandy.

Danny di depan sang supir untuk mengarahkan jalan, sedangkan sang kakek duduk di belakang bersama seorang lelaki berpakaian rapi, sepertinya lelaki tersebut adalah asisten sang kakek.

“Berapa umurmu, Nak?” tanya sang kakek.

“30, Tuan.”

Sang kakek mengangguk sambil tersenyum tipis, “Apa ayahmu tidak pernah bercerita tentangku?” tanyanya lagi membuat Danny mengangkat satu alisnya. Pertanyaan itu mampu sedikit mengulik hati Danny. Rasa penasaran pun tiba.

“Maksud Anda?” Danny mencoba bertanya.

“Ah, tidak. Lupakan saja.”

Danny pun diam seribu bahasa, tidak mau membahas apalagi saat ini keadaannya tengah berduka, ia tidak perlu memikirkan siapa orang yang sedang bersamanya, tugasnya hanya satu yaitu mengantar sang kakek ke tempat peristirahatan terakhir kedua orangtuanya.

“Tuan, apa jalan ini tidak salah? Ini jalan kepemakaman?” Supir sang kakek menengok kearah Danny untuk memastikan apakah jalan yang Danny arahkan benar atau salah.

“Apa? Jalan ke pemakaman?” Sang kakek pun berjingkat kaget lalu melihat jalan di sekitar, benar saja saat ini mobilnya tengah melaju menuju ke pemakaman umum.

“Iya, benar.” Danny mengangguk tegas.

“Apa maksud kamu membawaku ke sini?”

“Nanti Anda juga akan tahu sendiri, Tuan.”

“Jangan main-main anak muda, saya ini ingin bertemu dengan Fandy, bukan ke pemakaman begini? Atau jangan-jangan Fandy bekerja di sini?” tebak sang kakek, tidak mau berburuk sangka, meski saat ini jantungnya sudah tidak karuan rasanya.

Danny tidak menjawab pertanyaan sang kakek, sebab mobil yang ia tumpangi sudah berhenti, lebih baik ia menjawab dengan tindakan, menunjukan makam kedua orangtuanya kepadanya.

“Silahkan turun, Tuan.” Danny mempersilahkan sang kakek turun lalu melangkah menjadi pemimpin jalan.

Suasana yanag sudah gelap membuat para lelaki berjas hitam sigap menerangi jalan dengan sebuah baterai.

Sang kakek hanya bisa mengikuti langkah kaki Danny, sampai saatnya tiba mereka sampai di dua gundukan tanah yang masih basah dan bertaburan bunga segar.

“Maaf, Tuan. Orang yang Anda cari ada di sini,” kata Danny lalu tertunduk sedih.

Brukkkkk!

Tubuh sang kakek merosot ke bawah membuat Danny semakin penasaran, siapa orang yang berada di sampingnya itu, kenapa beliau terlihat sangat kehilangan mengetahui orang yang dicarinya sudah meninggal.

“Fandy ….” Tiba-tiba sang kakek merintih, beliau menangis penuh penyesalan.

“Fandy, anakku!” pekik sang kakek seraya memeluk pusara ayah Danny.

Jedeeerrr!

Hati Danny bagai tersambar petir mendengar rintihan sang kakek, anak? Apa maksud ucapan kakek itu? Ah tidak, selama ini ayahnya tidak pernah mengatakan apapun tentang sang kakek, bagaimana bisa sang kakek itu menyebut ayahnya sebagai anaknya?

“Fandy, kenapa kamu meninggalkan Papa secepat ini, Nak. Maafin Papa, Fan.” Sang kakek kembali merintih penuh penyesalan. Dadanya terasa sesak melihat anaknya sudah terkubur di dalam tanah.

“Maafin Papa, Fan. Seharusnya sejak dulu Papa singkirkan ego Papa. Papa menyesal, Fan. Maafin Papa.”

Mulut Danny menganga, entah apa yang dilakukan sang kakek sehingga ia baru mengetahui bahwa ayahnya masih memiliki keluarga dan ternyata keluarganya dari golongan orang terkaya di negara ini. Danny tidak mengerti kenapa ayahnya tidak pernah menceritakan hal ini kepadanya? Ah, tidak. Bisa saja kakek tersebut salah orang.

“Maaf, Tuan. Kenapa Anda memanggil ayahku sebagai anak Anda? Apa Anda tidak salah orang?” Danny bertanya langsung.

Tangisan sang kakek sejenak berhenti, ia memandangi pusara anaknya penuh penyesalan. Beliau pun berdiri dan berhadapan dengan Danny, anak Tuan Fandy, cucunya.

“Bagaimana dia bisa meninggal? Apa selama ini dia sakit? Apa selama ini hidupnya menderita?” Sang kakek justru bertanya balik, beliau penasaran kenapa anaknya meninggal secepat itu, padahal usianya lebih muda darinya. Umur memang tidak ada yang tahu, entah besok atau lusa orang akan mudah meninggalkan dunia, sayangnya sang kakek tidak menyadari hal tersebut.

“Tidak, selama ini kami hidup bahagia, bahkan sangat bahagia,” jawab Danny meyakinkan.

“Lalu bagaimana dia bisa meninggal secepat ini?”

Danny diam cukup lama, kedua bola matanya tertuju kearah pusara kedua orangtuanya, bayangan keadaan mereka yang parah seketika membuat tubuh Danny menegang dan memerah.

“Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, bisakah Anda menjawab pertanyaan saya terlebih dahulu? Siapa Anda sebenarnya? Kenapa memanggil ayahku dengan sebutan anak?”

“Ayahmu memang anakku.”

“Tidak mungkin, selama ini ayah tidak pernah bercerita tentang Anda.” Kedua netra Danny berkaca-kaca, rasanya tidak percaya bila orang yang berada di depannya itu adalah orangtua ayahnya yang berarti kakeknya.

Sang kakek tertunduk sedih, mereka pun membicarakan hal serius itu di rumah Danny. Ada suatu hal yang harus Danny tahu kenapa hal itu bisa terjadi.

Danny dan sang kakek yang bernama Tuan Willam Laksana duduk berhadapan di ruang tamu. Ruang tamu tersebut menjadi saksi bisu atas penganyiaan yang terjadi kepada orangtua Danny kemarin malam.

“Hanya satu alasannya, Nak. Kakek tidak pernah merestui pernikahan ayahmu dengan ibumu,” jawab sang kakek sambil menerawang ke masalalu dimana ia menentang keras anaknya menikah dengan wanita pilihannya sebab Nona Rihana hanya dari kalangan biasa-biasa saja, sedangkan Tuan Fandy terlahir dari keturunan ningrat.

Danny menghela nafas pendek, asalan yang cukup konyol menurut Danny.

“Lalu kenapa sekarang Anda datang?” tanya Danny dengan nada mengejek.

“Maafin kakek. Mungkin kamu kesal dan marah atas alasan kakek itu. Saat itu, Kakek masih mementingkan ego Kakek, tetapi ternyata Kakek sadar bahwa apa yang Kakek lakukan salah besar. Kakek ingin memperbaiki semuanya, dan Kakek tidak tahu kalau ….” Tuan Willam tidak mampu berucap, ia tertunduk sedih mengetahui anaknya sudah tiada.

Danny menengadahkan kepalanya, menghalangi air matanya agar tidak turun. Satu pertanyaannya, kenapa Tuhan memberikan takdir serumit ini kepadanya?

“Maafin Kakek, Dan. Seandainya saja Kakek tahu akan kehilangannya secepat ini, mungkin Kakek sejak dulu menyingkirkan ego Kakek dan hidup bersama ayah, ibumu sejak dulu.”

“Selama ini Kakek tersiksa oleh rasa rindu dan ego Kakek, dan sekarang Kakek ingin memperbaikinya, tapi Kakek tidak tahu harus dengan cara apa. Kakek semakin merasa menyesal.” Sang Kakek tiba-tiba bersimpuh memohon di kaki Danny.

Danny terpaku, ia tidak tahu harus berkata apa, ia juga sangat terkejut mendapati kenyataan bahwa ternyata ia cucu dari Tuan Willam.

“Dan, katakan apa yang harus Kakek lakukan untuk mendapatkan maafmu dan ayahmu,” kata sang kakek memohon.

“Mungkin Anda bisa melakukan sesuatu untuk menebus kesalahan Anda,” jawab Danny.

“Apa? Kakek akan melakukannya.”

“Bantu aku untuk membalas kematian mereka.”

“Maksud kamu apa?”

“Mereka mati dibunuh!”

“Apa!”

“Siapa yang melakukannya! Berani sekali dia membunuh keturunan Laksana!” seru Tuan Willam seraya berdiri tegak dengan wajah berang.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status