BAB 1
“Lisna, aku talak kamu mulai detik ini. Haram bagiku untuk menggaulimu.” Ucapan bagai petir menggelegar itu membuatku termangu. Kami tidak bertengkar. Tidak berselisih paham. Namun, kenapa suamiku tiba-tiba mengikrarkan talak yang semestinya tak pernah dia ucapkan?
Aku yang tengah menyiapkan sarapan untuknya langsung tertegun hebat. Kutatap pria yang tengah duduk manis di kursi makan tersebut dengan ekspresi yang tak habis pikir.
“Kamu kenapa, Mas?” tanyaku dengan bola mata yang turun naik. Kuselidiki tampang suamiku. Namun, rautnya datar. Seakan tak sedang terjadi apa pun di antara kami.
“Ya, hari ini aku sudah menalakmu. Kita cerai secara agama. Aku akan segera urus berkas-berkasnya ke pengadilan.”
Aku masih saja tercengang. Tanganku yang baru saja menaruh piring berisi tempe mendoan ke atas meja makan, kini gemetar hebat. Perempuan mana yang tidak terkejut saat suami yang baru dinikahinya dua tahun, tiba-tiba saja mengajukan talak lisan.
“Apa maksudmu?” Aku bertanya lagi. Kurasa sekarang mukaku sudah pucat pasi.
“Apa omonganku kurang jelas, Lis? Kamu bukan lagi istriku. Kamu kutalak. Silakan kemasi barang-barangmu. Kutunggu dalam waktu maksimal dua kali dua puluh empat jam.”
Jantungku rasanya mau copot. Aku oleng. Buru-buru kutarik kursi dan aku terduduk di hadapan Mas Bintang. Otakku sibuk mengingat-ingat. Apa salahku? Apa dosaku?
Aku tidak pernah bermain sosial media apalagi mengobrol lewat aplikasi chatting dengan siapa pun, kecuali sesekali menghubungi Ibu-Ayah bila tak sempat mengunjungi mereka dalam akhir pekan. Aku juga hanya berdiam di rumah, sesuai perintah suamiku. Lantas, salahku di mana?
“Jangan bertanya-tanya tentang alasanku, Lis. Laki-laki berhak untuk menceraikan istrinya kapan pun. Dan itu adalah keputusan absolutku.” Mas Bintang yang tadi subuh masih membangunkanku untuk salat dan meminta untuk dibuatkan tempe mendoan serta sambal kecap sebagai menu sarapan itu, tiba-tiba berucap lantang sekaligus ketus.
Hatiku rontok. Seakan aku memiliki sebuah salah besar dan dosa tak termaafkan. Mas Bintang, apakah kamu sudah memiliki penggantiku? Berselingkuhkah kau di belakangku, Mas?
Kuangkat kepalaku. Kutahan laju air mata yang kini terasa menggumpal di sudut pelupuk. Lalu, kutatap tajam Mas Bintang selaku pria yang menikahiku dua tahun silam dengan jalan taaruf. Senyumku kini menyeringai tipis di bibir.
“Katakan alasanmu, Mas. Setidaknya agar aku bisa menerima dengan lapang dada,” kataku dingin.
“Laki-laki tidak perlu alasan untuk bercerai. Kalau aku sudah katakan cerai, ya artinya kita pisah!” Mas Bintang membentak. Pria yang sudah rapi dalam balutan seragam kerja itu memukul meja.
Aku tak gentar, tapi aku memilih sabar. Baiklah, Mas. Aku akan keluar dari rumahmu detik ini juga.
“Kamu yang memintaku ke rumah untuk menjadikanku istri, Mas. Kita kenal baik-baik, bahkan tanpa proses pacaran. Aku tahu kamu juga bukan dari sembarang orang, melainkan dari guru agamaku di SMA yang tak lain adalah pamanmu sendiri.”
“Jangan terlalu banyak omong kosong, Lisna. Apa maumu? Cepat katakan. Nggak usah banyak mutar-mutar!” Mas Bintang yang mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru laut dengan tatanan rambut pendek yang rapi berpomade itu menatap sengit. Aku tak sangka, pria yang selalu dielu-elukan oleh seluruh keluarga besarnya ini ternyata menyimpan kepribadian yang sungguh di luar nalar. Dia kasar dan seenaknya. Bahkan perubahan itu terjadi dalam sedetik, secepat membalikan telapak tangan.
“Aku ingin kamu yang mengantarku ke rumah. Pulangkan aku ke Ayah-Ibu dan bicaralah baik-baik, seperti kamu dulu memintaku pada mereka.”
Mas Binta mendengus. Pria itu terlihat merogoh saku celananya. Entah apa yang dia cari. Hanya kupantau gerak-geriknya dengan mata yang nyalang.
Lelaki 30 tahun itu mengeluarkan dompet. Terlihat dia mengambil beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan dan melemparkannya ke atas meja. Aku terkesiap. Ini bukan Mas Bintang yang kukenal. Jangankan melempar uang, mempelototiku saja selama dua tahun ini belum pernah.
“Satu juta. Lebih dari cukup untuk ongkos naik taksi buat pulang ke rumahmu. Sisanya silakan belikan beras dan minyak goreng. Siapa tahu ibumu butuh.”
Aku marah. Dadaku mendidih rasanya. Ini sudah keterlaluan. Sampai orangtuaku juga dia hina. Seakan-akan uang yang dia lemparkan itu mampu untuk menjatuhkan harga diriku.
“Terima kasih banyak, Mas,” sahutku lembut.
Aku bangkit dari dudukku. Kuraup semua uang yang berhamburan di atas meja bahkan melompat ke dalam piring mendoan dan bakul nasi.
“Sudah kuduga. Segampang itu ternyata mengendalikanmu. Itu karena kamu bukan siapa-siapa, Lisna. Hanya perempuan muda yang kebelet kawin karena ekonomi. Menceraikanmu jelas semudah saat meminangmu.”
Aku semakin tersenyum lebar. Uang yang sudah berhasil kuhimpun di tangah itu pun lalu kulemparkan tepat di muka Mas Bintang. Lelaki itu kaget. Dia mengelak dengan raut yang syok. Namun, sayang. Sudah mengelak pun, uang itu tetap menampar wajahnya.
“Makan uangmu yang tidak seberapa itu, Mas! Kamu pikir, baru saja jadi staf operasional di pabrik, kamu bisa menginjak-injak aku? Aku memang cuma tamatan SMA, Mas. Umurku juga masih 20 tahun. Namun, ini bukan berarti kamu yang sudah 30 tahun dan baru ngasih aku makan selama 2 tahun belakangan, bisa ngeludahin harga diriku. Nggak, Mas. Maaf. Aku juga udah nggak sudi jadi istrimu.” Kuraih piring mendoan di atas meja dan kulemparkan seluruh isinya ke arah Mas Bintang. Lelaki berkulit sawo matang dengan kumis tipis itu langsung menjerit.
“Perempuan kurang ajar! Semoga hidupmu melarat setelah kuceraikan! Jadi gembel aja sana kamu kaya orangtuamu.”
Aku gegas meninggalkan pria itu di meja makan. Piring bekas mendoan tadi sebelumnya kubanting di lantai ruang makan hingga pecah berderai. Kalau kamu bisa menghinaku dengan kata-katamu, aku juga bisa menghinamu dengan perbuatan tanganku, Mas.
Mas Bintang, kau pikir aku akan melarat setelah bercerai darimu? Maaf, Mas. Bukan sampean yang punya dunia. Ada Allah yang akan membagiku rejeki.
(Bersambung)
BAB 2 Pagi itu juga, aku langsung mengemasi barang-barangku dari kamar pengantin kami. Meski hatiku sesak, tapi aku pantang untuk menangis. Maaf saja. Lisna memang bukan anak orang kaya, tapi Lisna tidak boleh diinjak-injak harga dirinya apalagi oleh lelaki macam Mas Bintang. Dasar lelaki tak tahu diri. Pantas saja dia gagal menikah tiga kali sebelum jadi denganku. Alasannya dulu karena pihak perempuan yang membatalkan tanpa alasan jelas. Omong kosong! Sekarang aku jadi tahu, apa alasan perempuan-perempuan tadi membatalkan rencana pernikahan mereka. Sayangnya, semua itu terungkap setelah dua tahun kuarungi rumah tangga bersama anak pertama dari dua bersaudara itu. Semua baju-baju yang kubeli sebelum menikah dengannya kumasukan ke
BAB 3 “Sekarang, kamu tenang ya, Sayang. Semuanya akan berjalan sesuai yang kamu inginkan. Aku nggak kasihin dia sepeser harta pun. Biar aja dia mampus hidup melarat. Bisa apa sih, dia kalau udah cerai dari aku? Masih bocil ingusan, paling-paling dia jadi cewek michat yang open BO buat cari makan.” Aku termangu. Benar-benar kaget bin syok mendengar omongan dari si mulut got itu. Biar pun aku ini dilarang menggunakan media sosial seperti Facebook, Instagram, maupun TikTok supaya tidak terkontaminasi hal-hal buruk, tapi aku masih menonton televisi dan tahu perkembangan zaman. Cewek michat? Open BO? Dasar kambing ompong! Mudah sekali dia mengataiku begitu. Mengira aku bakalan menjual diri hanya untuk bisa makan dan berta
BAB 4 Langsung kutinggalkan Mas Bintang sendirian di depan teras rumahnya yang sederhana itu. Aku pun berjalan dengan hati yang puas usai mencaci maki pria tak tahu diri itu. Meskipun telah berstatus janda di mata agama, aku tak gentar. Hidup bagiku adalah senda gurau semata. Sekarang menangis, besok akan tersenyum lagi. Masalah rejeki, tak perlu takut. Masih ada Allah yang akan memberikanku makan dan minum sesuai kebutuhan. Saat aku menyusuri jalanan komplek yang terbilang tak begitu lebar itu, tetangga depan yang kebetulan baru pulang dari pasar dengan motor matiknya berhenti di depanku. Namanya Mak Jubaidah. Janda tiga anak yang usianya sudah memasuki angka 50 tahun. Dia seperti kaget melihatku berjalan dengan membawa dua tas segala. 
BAB 5POV BINTANG “Dasar perempuan miskin! Dia pikir aku betah hidup sama dia? Goyang aja nggak becus, nggak bisa ngejepit pula. Emang istri nggak guna. Muka macam daki anoa aja belagu ngatain mulutku bau, gigi palsuku harus diganti. Hah! Hah! Emang bau apa? Engga, ah!” Aku ngomel-ngomel sakit hati di depan teras sambil mencium uap mulutku sendiri. Sialan bocah kemarin sore itu. Bisa-bisanya dia menghina lelaki yang udah bekerja keras banting tulang buat nafkahin dia selama ini. Apa dia bilang? Aku jelek? Bau mulut? Enak saja! Buktinya, Siska yang jauh lebih seksi dan punya jepitan maut seperti pintu masuk kantor kelurahan itu mau sama aku! Dia malah ngebet dan tergila-gila minta dikawini saban hari. “Emang nggak salah aku lebih memilih Siska ketimbang Lisna! Siska itu cantik, montok, semo
Aku diantar Mak Jubai hingga ke terminal bus yang jaraknya hanya sekitar 2,5 kilometer dari rumah Mas Bintang. Sebenarnya, transportasi yang bisa kugunakan untuk tiba ke rumah orangtuaku tak hanya menggunakan bus saja. Naik taksi pun bisa, tapi tarifnya lebih mahal. Maklum saja, jaraknya sekitar 40 kilometer. Lumayan jauh kalau menurutku. Namun, sebisa mungkin setiap akhir pekan aku meminta pada Mas Bintang untuk mengantarku ke sana dengan mengendarai motor. Jika dia sedang beralasan letih, aku diberi ongkos naik bus pulang pergi sekadar untuk melepas rindu pada kedua orangtuaku. Ya, bisa jadi pas aku pergi ke rumah ortu saat weekend dan Mas Bintang kebetulan tidak ikut, lelaki bermuka tong sampah itu pasti mendatangi lubang WC umum. Dasar aku saja yang bodoh sebab tak pernah mencurigai gerak gerik suamiku. “Lis, salam buat bapak ibumu, ya,” ucap Mak Jubai saat mengantarku ke depan pintu masuk bus
BAB 7 Satu jam naik bus, akhirnya aku tiba juga di terminal daerah tempat orangtuaku tinggal. Aku cepat turun dari bus dan mencari ojek yang mangkal tak jauh dari pintu keluar terminal. Setelah mendapatkan tumpangan, aku pun yakin untuk mendatangi kediaman Ayah dan Ibu. Jantungku berdegup keras sepanjang perjalanan. Dari terminal, tukang ojek harus mengendara sekitar 15-20 menit untuk menuju rumahku yang berada tak jauh dari areal pesawahan. Iya, orangtuaku itu dua-duanya petani. Mereka menggarap lahan sendiri yang luasnya tak seberapa. Hasil panen mereka istilahnya hanya cukup untuk makan. Sedang untuk kebutuhan lain seperti sekolah anak-anak, orangtuaku mengandalkan hasil kebun berupa sayur mayur yang mereka tanami di pekarangan belakang rumah. Kami itu bukan tergolong keluarga yang miskin-miskin amat. Rumah punya, sawah ada walaupun luasnya tidak puluhan hektar. Ya, cukuplah untuk sekadar hidup sederhana. Cuma akunya aja yang
BAB 8 “Korea? Korengan kali maksumu, Min!” umpatku kesal. Jelas-jelas bentukannya Mas Bintang bagai pinang dibelah kapak kalau dibandingin sama jempol cantengannya Lee Min Ho. Bisa-bisanya dia ngatain mantan suamiku itu artis Korea, pula. Memang dasar lambe prengus kamu, Mince! Sama aja kaya si Bintang ternak. “Aih, nggak usah merendah gitulah, Lis. Aku jadi nggak enak. Jadi, gimana? Kalian berantem?” Mince malah semakin mengulik kehidupanku. Kaya dia aja yang ngebiayain tukang foto kawinanku. Ribet amat sih kamu, Min! “Nggak, tuh. Nggak berantem. Dibilangin orang cuma mau main sambil healing. Namanya juga orang kota. Sekali-kali pengen juga kan, menikmati aroma sawah dan bau keringatnya petani. Emang salah?” tanyaku nyolot. Bibirnya si Mince langsung tersungging sinis. “Halah, kaya lahirmu di mana aja, Lis! Orang dari orok sampai gede juga hari-hari nyiumin bau keteknya petani!” Di saat Mince semakin keki, aku pun
BAB 9 “Nggak tahulah, Bu. Dia mungkin selingkuh sama perempuan yang syaraf hidungnya udah putus kali. Ya, mungkin selama ini aku juga udah bego mau sama dia, Bu. Aku minta maaf sekali lagi, Bu. Dulu aku yang minta-minta supaya cepetan dinikahin. Eh, nggak tahunya, hidupku malah nggak jauh lebih makmur pas masih tinggal sama Ayah dan Ibu.” Jawabanku malah membuat Ibu semakin tersedu-sedu. Kasihan beliau. Pasti Ibu bakalan stres berat gara-gara masalah ini. Maafin Lisna ya, Bu. Lisna memang perempuan paling bodoh sedunia. Milih suami dulunya nggak pakai mata, tapi pakai dengkul. “Iya, Lisna. Nggak apa-apa. Ibu akan mencoba buat ikhlas.” Ibu mengeratkan pelukannya. Beliau mengusap-usap pundakku. Aku langsung tenang. Hatiku damai dalam pelukannya Ibu. Saat kami sudah saling melepaskan pelukan, aku pun mulai bercerita pada Ibu. “Bu, Mas Bintang itu jahat. Nggak seperti yang aku bayangkan. Dia selama ini hanya pura-pura