Aku diantar Mak Jubai hingga ke terminal bus yang jaraknya hanya sekitar 2,5 kilometer dari rumah Mas Bintang. Sebenarnya, transportasi yang bisa kugunakan untuk tiba ke rumah orangtuaku tak hanya menggunakan bus saja. Naik taksi pun bisa, tapi tarifnya lebih mahal. Maklum saja, jaraknya sekitar 40 kilometer. Lumayan jauh kalau menurutku. Namun, sebisa mungkin setiap akhir pekan aku meminta pada Mas Bintang untuk mengantarku ke sana dengan mengendarai motor. Jika dia sedang beralasan letih, aku diberi ongkos naik bus pulang pergi sekadar untuk melepas rindu pada kedua orangtuaku. Ya, bisa jadi pas aku pergi ke rumah ortu saat weekend dan Mas Bintang kebetulan tidak ikut, lelaki bermuka tong sampah itu pasti mendatangi lubang WC umum. Dasar aku saja yang bodoh sebab tak pernah mencurigai gerak gerik suamiku.
“Lis, salam buat bapak ibumu, ya,” ucap Mak Jubai saat mengantarku ke depan pintu masuk bus jurusan rumah Ayah-Ibu.
“Siap, Mak. Makasih banyak buat bantuannya, Mak. Titip salam buat Cak Sadikin, ya. Bilang ke dia, maafin kalau aku udah bohong tentang kematiannya Mas Bintang.” Aku berucap pada Mak Jubai dengan mata berkaca-kaca. Aku nggak lagi sedih karena mengingat muka Mas Bintang yang kaya lendir sayu lodeh basi itu. Nggak. Aku cuma lagi sedih aja sama Mak Jubai. Kayanya, ini pertemuan terakhir kami. Entah kapan lagi aku bisa berjumpa dengan emak-emak tukang gosip komplek rumahnya Mas Bintang tersebut. Soalnya, aku juga udah ogah mampir ke rumah di gang kecil tersebut. Emoh. Takut keblinger pingsan gara-gara nyiumin aroma abab alias embusan napas Mas Bintang yang rasanya innalillahi tersebut.
“Ngapain kamu salam ke Dikin, segala? Cukup salamnya ke Mak aja,” ucap Mak Jubai yang baru saja kupeluk tersebut.
Dari rona-ronanya, muka Mak Jubai seperti cembokur. Cie, suka Cak Dikin nih, ye. Diam-diam ternyata suka. Pantesan pakai acara singgah minjam helm segala. Modus operandi nih, ye.
“Iya, siap, Mak. Cak Dikin hanya untukmu,” godaku dengan muka mengolok.
“Semoga kamu juga cepat menemukan belahan hati baru ya, Lis. Mak sedih lihat kamu jadi jamur alias janda bawah umur.”
Aku melongo. Bawah umur dari Hongkong? Enak aja Mak Jubai.
“Ah, nggak bawah umur juga kali, Mak. Udah dua puluh. Bulu idung juga udah lebat,” ucapku sambil nyengir kuda.
“Ya, udah. Sana masuk ke bis. Nanti, kalau udah sampai, W* Mak, ya?” kata Mak Jubai berpesan.
Aku mengangguk. Untung sudah kusimpan tadi nomornya Mak Jubai. Asal tahu saja, ya. Tetanggaan sudah dua tahun, tapi nomor ponselnya saja aku tak punya. Gimana mau punya? Setiap ketahuan menyimpan nomor orang lain selain keluarga, Mas Bintang mulai spaneng kaya bocil kurang nenen. Dia rungsing. Langsung menghapus nomor-nomor tersebut dengan alasan aku tidak perlu bergaul dengan tetangga di sekitar sini. Katanya takut aku ketularan toxic. Baru sekarang aku sadar, kalau yang toxic itu si pabrik jigong, bukan tetanggaku.
“Iya, Mak. Siap. Aku pamit ya, Mak. Kalau si Bintang mati atau kecelakaan, tolong W* aku juga. Aku mau ngirim amplop duka cita kalau dia emang meninggal dalam waktu dekat ini.” Aku menyalami Mak Jubai. Eh, si janda tiga anak itu malah tertawa.
“Oke, Lis. Akan Mak jadikan status kalau dia mati. Kamu tenang aja.”
Aku pun masuk ke pintu bus. Kulambaikan tangan ke arah Mak Jubai dan perempuan bertubuh gemuk itu pun melakukan hal yang sama. Hatiku rasanya sedih apalagi saat pintu bus ditutup oleh kernet.
Selamat tinggal kota tempatnya Mas Bintang brojol. Selamat tinggal juga rumah tipe 36 yang cicilannya masih lama lunas itu. Juga selamat tinggal kepada mertuaku yang cerewet dan dua adiknya Mas Bintang yang pada nganggur di rumah karena alasan capek kerja tersebut. Kalian semua adalah masa lalu yang memang seharusnya masuk ke tong sampah.
***
Saat bus mulai melaju meninggalkan terminal, ponsel di dalam ranselku berbunyi. Gelagapan aku membuka ritsleting ransel di pangkuanku. Aku jelas terkaget-kaget saat melihat nama si binatang eh, salah, Bintang maksudnya, meneleponku. Kenapa ini kuah kolak nelepon? Apa udah kangen karena kutinggal? Sorry ya, mantan suami yang bentukannya kaya bumbu rujak, aku nggak bakalan sudi kembali ke pangkuanmu yang penuh bekas jampes kronis itu. Kalian tahu jampes kronis nggak? Kalau nggak, coba cari ke G****e sana!
“Halo. Ngapain kamu nelepon aku lagi? Rindu, ya?” tanyaku dengan muka songong. Aku sudah nggak peduli lagi sama bapak-bapak tua yang duduk di sebelahku. Bapak-bapak itu semula sudah menyandarkan keningnya ke kaca bus. Mungkin mau molor bentar. Eh, setelah mendengar suaraku yang mungkin kaya bunyi mencret bocah itu, dia langsung gelagapan kaget. Maaf ya, Pak. Ini lagi mau perang antara Russia-Ukraina.
“Rindu? Sorry ya, Lisna! Kamu ngaca dulu. Kalau kamu cantik kaya bidadari, aku baru rindu sama kamu!”
Mendidih darahku. Apa dia bilang? Kaya mukamu ganteng aja, belatung sampah!
“Eh, kuah rawon! Kamu yang ngaca sana! Mukamu kaya pantat babon! Apaan sih, nelepon-nelepon segala? Bikin kupingku sakit aja! Cere ya cere aja! Nggak usah minta balikan segala,” ucapku kesal. Luar biasa, ya. Ternyata begini rasanya sakit hati ke mantan suami. Cinta yang semula membara, sekarang rasanya malah kaya kencing buaya. Pesing!
“Kamu ini gila, ya? Apa udah sinting? Apa-apaan kamu bilang ke orang kalau aku mati segala? Itu tetangga udah pada datang ke rumah! Bahkan ada yang berbondong-bondong ngelayat segala. Maksudmu apa? Dan satu lagi ya, Lisna! Aku udah bilang ke kamu, jangan bawa maskawin yang udah kuberi. Kenapa malah kamu bawa? Kamu ini tahu malu nggak, sih?”
Aku rasanya mau terbahak-bahak. Apa? Mas Bintang dilayat sama orang-orang komplek? Rasakan itu, Mas! Udah syukur nggak datang tukang mandi jenazah ke rumahmu.
“Jelek ya jelek aja, Mas. Nggak usah ditambah sifat kikir. Dasar miskin! Maskawin lima belas geram aja kamu mintain. Kamu ini ngerti agama nggak, sih? Apa kamu sekarang ateis? Atau penyembah tutup panci? Masa maskawin yang hak perempuan pun kamu mintain. Dasar laki-laki modal kutil doang. Iya, itu barangmu yang itemnya nauzubillah lebih mirip kutil saking kecilnya. Manusia sampah! Tolol aja sih, cewek yang mau jadi selingkuhanmu itu!” kataku memaki sepuasnya sampai orang-orang di bus pada menoleh ke tempat dudukku. Persetan. Aku nggak peduli. Bukan kalian yang ngasih aku makan tiga kali sehari. Jadi, sorry-sorry. Aku nggak akan berhenti ngoceh sampai si Bintang matiin ini telepon.
“Aku rekam omongan kamu, Lis! Aku akan kirimkan ke orangtuamu. Biar orangtuamu tahu kelakuanmu itu kaya apa.”
“Alhamdulillah. Rekam aja, Mas. Aku tunggu sekarang. Kalau perlu, kirim ke aku sekalian. Biar aku posting ke F******k. Biar semua orang tahu!” kataku tak mau kalah.
“Hahaha! Coba kalau kamu berani. Aku tuntut ke pengadilan atas nama pencemaran nama baik. Oke, aku kirim, ya. Awas kalau nggak kamu posting! Belagu amat, kaya punya akun F******k. Emangnya punya? Situ kan, cupu. Cuma perempuan rumahan dungu yang nggak tahu apa-apa. Ngertinya hanya minta duit doang. Sama satu lagi, ngangkang kaya kucing kurapan yang seleranya sama nasi basi. Ngenes banget sama kamu, Lis. Jadi cewek nggak ada bagusnya. Setelah menjanda ini, jangankan laki-laki, jin aja kalau ngelihat kamu, auto ngelepeh!”
Jantungku seperti tengah diremas-remas dengan tangan gorila. Ucapan Mas Bintang jelas sangat menyakitkan, lebih menyakitkan daripada ketimpuk sempaknya tetangga.
“Ingat ya, Lis. Kamu boleh aja ngebawa kabur barang-barang itu dari rumah. Kujamin hidupmu nggak akan kaya tujuh turunan karena ngebawa itu maskawin. Aku nggak ridho! Aku nggak ikhlasin sampai aku masuk liang lahat sekali pun.”
Belum sempat aku menyahut, lelaki keturunan dakjal itu pun mematikan sambungan telepon. Tak lama, ada pesan masuk di WhatsAppku. Pesan itu saat kubuka dari Mas Bintang. Isinya pesan rekaman suara percakapan kami tadi.
[Silakan posting di F******k seperti yang kamu minta! Setelah itu, aku mau laporin kamu ke polisi atas tindakan pencemaran nama baik. Ayo, cepat lakukan. Jangan banyak bacot aja kerjaanmu!]
Pesan teks berisi ancaman itu pun dikirimkan tepat di bawah pesan rekaman suara tadi. Melihatnya, sontak panas dadaku. Ubun-ubunku jadi mendidih.
Oh, kamu nantang aku, Mas? Kamu pikir, aku bego dan takut? Sebentar, ya. Biar aku sampai dulu ke rumah. Setelah itu, akan kubuat kamu mati muntah paku sekalian.
BAB 7 Satu jam naik bus, akhirnya aku tiba juga di terminal daerah tempat orangtuaku tinggal. Aku cepat turun dari bus dan mencari ojek yang mangkal tak jauh dari pintu keluar terminal. Setelah mendapatkan tumpangan, aku pun yakin untuk mendatangi kediaman Ayah dan Ibu. Jantungku berdegup keras sepanjang perjalanan. Dari terminal, tukang ojek harus mengendara sekitar 15-20 menit untuk menuju rumahku yang berada tak jauh dari areal pesawahan. Iya, orangtuaku itu dua-duanya petani. Mereka menggarap lahan sendiri yang luasnya tak seberapa. Hasil panen mereka istilahnya hanya cukup untuk makan. Sedang untuk kebutuhan lain seperti sekolah anak-anak, orangtuaku mengandalkan hasil kebun berupa sayur mayur yang mereka tanami di pekarangan belakang rumah. Kami itu bukan tergolong keluarga yang miskin-miskin amat. Rumah punya, sawah ada walaupun luasnya tidak puluhan hektar. Ya, cukuplah untuk sekadar hidup sederhana. Cuma akunya aja yang
BAB 8 “Korea? Korengan kali maksumu, Min!” umpatku kesal. Jelas-jelas bentukannya Mas Bintang bagai pinang dibelah kapak kalau dibandingin sama jempol cantengannya Lee Min Ho. Bisa-bisanya dia ngatain mantan suamiku itu artis Korea, pula. Memang dasar lambe prengus kamu, Mince! Sama aja kaya si Bintang ternak. “Aih, nggak usah merendah gitulah, Lis. Aku jadi nggak enak. Jadi, gimana? Kalian berantem?” Mince malah semakin mengulik kehidupanku. Kaya dia aja yang ngebiayain tukang foto kawinanku. Ribet amat sih kamu, Min! “Nggak, tuh. Nggak berantem. Dibilangin orang cuma mau main sambil healing. Namanya juga orang kota. Sekali-kali pengen juga kan, menikmati aroma sawah dan bau keringatnya petani. Emang salah?” tanyaku nyolot. Bibirnya si Mince langsung tersungging sinis. “Halah, kaya lahirmu di mana aja, Lis! Orang dari orok sampai gede juga hari-hari nyiumin bau keteknya petani!” Di saat Mince semakin keki, aku pun
BAB 9 “Nggak tahulah, Bu. Dia mungkin selingkuh sama perempuan yang syaraf hidungnya udah putus kali. Ya, mungkin selama ini aku juga udah bego mau sama dia, Bu. Aku minta maaf sekali lagi, Bu. Dulu aku yang minta-minta supaya cepetan dinikahin. Eh, nggak tahunya, hidupku malah nggak jauh lebih makmur pas masih tinggal sama Ayah dan Ibu.” Jawabanku malah membuat Ibu semakin tersedu-sedu. Kasihan beliau. Pasti Ibu bakalan stres berat gara-gara masalah ini. Maafin Lisna ya, Bu. Lisna memang perempuan paling bodoh sedunia. Milih suami dulunya nggak pakai mata, tapi pakai dengkul. “Iya, Lisna. Nggak apa-apa. Ibu akan mencoba buat ikhlas.” Ibu mengeratkan pelukannya. Beliau mengusap-usap pundakku. Aku langsung tenang. Hatiku damai dalam pelukannya Ibu. Saat kami sudah saling melepaskan pelukan, aku pun mulai bercerita pada Ibu. “Bu, Mas Bintang itu jahat. Nggak seperti yang aku bayangkan. Dia selama ini hanya pura-pura
BAB 10 “Manusia itu emang berasal dari tanah, tapi bedanya si rabies satu ini terbuat dari tanah campuran tai kucing sama tai kebo! Gemas bener aku, Mbak. Bisa-bisanya dia ngancam minta viralin segal. Nggak usah takut. Sini, biar aku bikinin viti sekalian!” Seusai makan siang, aku disidang habis-habisan oleh Ita. Gadis 17 tahun yang menguncir rambutnya ke belakang itu membawaku ke kamar dan merebut ponselku buat dia selidiki. Dengan sangat kesal, adik semata wayangku tersebut mulai mengusap-usap layar sentuh ponselku. Entah dia mau melakukan apa. “Viti? Viti itu apaan? Sejenis vitamin buat mata biar nggak katarak pas lihat cowok burik?” tanyaku sambil menempel ke lengan putihnya Ita. Perempuan cantik berbulu mata lentik dan hidung lebih mancung daripada aku itu pun menoleh galak. “Makanya, Mbak! Cari suami tuh, yang waras. Bukan alumnus RSJ! Viti aja nggak tahu, sampean! Video TikTok! Bukan vitamin buat mata katarak.” Santai, Ita menoyor jidat
BAB 11POV BINTANG Buat menghindari para tetangga sedeng kebanyakan makan micin yang pada mengira bahwa aku sudah mati, selesai menelepon si perempuan tidak tahu diri alias Lisna, aku pun memutuskan untuk tancap gas. Ke mana lagi kalau bukan ke kostannya si Siska. Pengen ngecas batre yang sudah mulai lowbat. Harap maklum. Jepitannya si Lisna itu cuma kaya kitik-kitik nggak jelas. Nggak ada enak-enaknya. Enakan juga punya Siksa. Bisa mode getar, mode mutar, dan mode kerlap-kerlip kaya lampu taman. Beda jauhlah sama Lisna yang bodinya sendiri mirip gedebong pisang. Anyep. Diam persis mayat yang baru meninggal tadi pagi. Dengan menaiki motor skuter matik hitam, aku pun keluar dari komplek perumahan. Beberapa orang yang terlihat hendak datang ke rumah, langsung bubar gara-gara kubentak-bentak. Sialan emang kalau salah nikah. Kukira cewek cantik semlehoy, eh ternyata cewek rambo bar-bar yang mulutnya kaya ikan koi. Mangap-mangap nggak jelas. Nyebarin berita hoax
BAB 12POV BINTANG Aku terhenyak. Diam seribu bahasa. Kok, bisa-bisanya Siska setega ini, sih? Dia sayang nggak sama aku sebenarnya? Masa duit aja mau dia kuasai semua? “Mas, jangan diam aja kaya orang sembelit!” Siska membentak. Kakinya yang semlohay itu dia hentakkan ke atas lantai. Aku jelas kaget. Gegas aku terduduk di atas kasur dengan perasaan letoi. “Denger nggak, Mas Bintang? Jangan kaya orang tuli beruang gitu, dong!” Siska berkacak pinggang. Terlihat dengusan di bibirnya yang seksi dan tebal itu. “I-iya, Sis. Siap. Pokoknya, semua gajiku untuk kamu. Cuma untukmu, Sayang,” sahutku semanis tebu. Padahal, perasaanku sudah tongkol banget. Salah, maksudnya dongkol. Teraduk-aduk dan gonjang-gajing. Bagaimana ini? Bisa-bisa Mamah-Papah marah ke aku kalau tahu gaji dikuasai Siska semua. Ah, masa bodohlah. Yang penting aku bahagia. “Nah, gitu dong!” Siska senyum semringah. Seperti habis mendapat lotre
BAB 13POV BINTANG“Cepet Mas kita cari tempat yang lebih terhormat! Banyak anak alay di sini. Kan, udah aku bilang tadi. Aku maunya bakso, bukan makan sarapan tenda begini!” Siska merepet kaya knalpot blong. Membuatku semakin merah muka di depan dua sejoli goodlooking itu. Muda-mudi yang tengah dimabuk asmara itu pun hanya menatap kami berdua dengan muka jijik. Iyalah. Pasti mereka jijik banget sama omongannya si Siska. Jangankan mereka. Aku aja sebenarnya malu banget plus geli. Ya Allah, Sis. Emangnya selama ini kita makan di mana, sih? Di rumahnya presiden? Di pinggir got, Sis! Ingat-ingat itu.“Iya, Sayang,” lirihku pasrah.Tentu saja aku mengalah. Daripada disembur sama Siska habis-habisan. Lekas kumundurkan motor dan menghidupkan mesin kembali. Apes banget. Mana uang di dompet Cuma sisa dua ratus ribu. Itu juga sebenarnya untuk sampai minggu depan. Huhft, nasib.“Lagu ketinggian. Minimal mandi, kek! Muka kaya keset kamar mandi aja laguannya nggak mau makan di tenda.” Celetuk
BAB 14POV BINTANGSarapan pagi pakai bakso ternyata nggak seindah yang aku bayangkan. Sudahlah harganya mahal, eh, aku harus mendapati kenyataan kecut sekecut ketekku kalau siang hari, yaitu Siska yang sekarang hobi larak-lirik lelaki lain yang lebih ganteng.Dadaku nyesek rasanya. Kaya lagi terkena asma dan asam lambung plus digebukin warga satu kabupaten. Sedih. Pengen nangis, tapi takut diketawain orang. “Mas, ayo kita lanjut belanja lagi!” kata Siska sambil bangkit dari kursinya. Dia santai saja setelah menghabiskan semangkuk besar bakso beserta pretelannya yang tidak main-main. Banyak sekali Siska makan hari ini. Macam besok dia nggak bakalan bisa makan lagi coba.“Oke, Sis.”“Mana dompetmu?” Siska mendesak dengan bentakan yang tidak main-main. Luar binasa memang perempuan ini. Selalu saja ucapannya berhasil membuatku sport jantung.“Dompet, ya?” Aku malah balik bertanya. Belum ikhlas kalau memberikan dompet kepadanya. Kan, sudah kubilang isinya sisa dua ratus ribu doang.