"Pak Vino, Pak kalau tidak salah namanya," jawabnya. Seketika Abram terkejut saat mengetahui jika sepupu istrinya yang sudah membeli rumah tersebut. Pertanyaannya, untuk apa Vino membeli rumah itu. ***"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi." Abram berpamitan, setelah itu ia memutuskan untuk kembali ke kantor. Urusan rumah bisa dipikirkan nanti, karena saat ini pekerjaan di kantor yang lebih penting. "Ah sial." Abram memukul setir mobilnya, kesal itu yang ia rasakan. Entah apa yang akan Abram katakan pada Irna nanti, karena wanita itu sudah menagih terus. "Kalau Irna nanya nanti aku jawab apa," gumamnya. Setelah itu Abram melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Ia baru teringat jika hari ini akan ada meeting, bukan itu saja, hari ini Abram juga akan bertemu dengan beberapa klien. "Urusan Irna nanti saja, mending aku matikan saja ponselnya," gumamnya. Setelah itu Abram memutuskan untuk fokus dengan pekerjaannya. Berharap semoga Irna tidak membuat ulah, karena wanita itu ti
"Apa aku boleh tinggal di sini? Aku diusir dari kontrakan karena sudah tiga bulan belum bayar," jawab Irna. Memang selama ini Irna tinggal di kontrakan, dan setahu Felys sahabatnya itu bekerja di restoran. Entah sekarang masih iya atau tidak, karena sudah lama mereka tidak bertemu. ***"Aku nggak salah denger, Irna datang dan meminta untuk tinggal di sini. Ke mana urat malunya, setelah menikah diam-diam dengan mas Abram. Dan sekarang tanpa rasa berdosa datang untuk tinggal di sini, mungkin lebih tepatnya numpang." Felys membatin. "Tapi sepertinya nggak ada salahnya aku terima, dengan seperti ini aku lebih mudah untuk menjebak mereka. Irna, Irna, kamu datang ke tempat yang salah, terlalu nekat untuk datang ke kandang macan." Felys kembali membatin. "Felys, bagaimana." Suara Irna mampu membuyarkan lamunan Felys. "Oh, tentu saja boleh, ayo masuk." Felys mempersilahkan Irna untuk masuk ke dalam. "Sayang tu .... " Abram menghentikan ucapan serta langkahnya saat melihat istrinya kembal
Setelah itu Irna memeluk tubuh Abram, beberapa hari tidak bertemu membuatnya sangat rindu. Awalnya Abram hanya diam, tetapi Irna sangat pandai untuk membuat lelaki itu merespon apa yang ia inginkan. Tanpa mereka sadari, semua ucapan dan perbuatan kedua penghianat itu telah terekam. Dengan begitu Felys akan mudah untuk menghancurkan mereka. ***Di lain tempat saat ini Felys sedang menunggu kedatangan Vino. Sepupunya itu mengatakan jika surat yang ia urus sudah jadi. Mobil dan butik sudah berpindah menjadi atas nama Felys, setelah ini ia tinggal menjualnya, dan uangnya akan Felys pakai untuk disumbangkan kepada orang yang lebih membutuhkan. "Sorry, di jalan macet." Vino menjatuhkan bobotnya di kursi, sementara Felys hanya mengangguk seraya mengaduk-aduk minuman yang ada di hadapannya itu. Entah kenapa hatinya terasa sangat sakit, terlebih mengingat jika saat ini suaminya sedang bersama istri mudanya itu. "Iya, nggak apa-apa kok," ujar Felys. "Gimana udah jadi.""Udah, silahkan kamu p
"Kamu wanita terhebat yang pernah aku temui," batin Vino, ia benar-benar salut dengan ketegaran hati sepupunya itu. ***"Kamu simpan baik-baik flashdisk ini, karena semua bukti kejahatan ibu mertuamu ada di sini." Vino menyerahkan flashdisk tersebut, dengan segera Felys menerimanya. Ia berjanji akan membuat hancur keluarga suaminya itu. "Ya sudah aku pulang sekarang ya, kalau aku terlalu lama pergi, keenakan mereka di rumah," ujar Felys seraya bangkit dari duduknya. "Iya, kalau butuh bantuan langsung telpon saja," paparnya. Sementara itu Felys hanya mengangguk, setelah itu ia beranjak keluar dari rumah Vino. Dalam perjalanan pikiran Felys menjadi kacau, ia tidak pernah menyangka jika kematian kedua orang tuanya karena sudah direncanakan oleh ibu mertuanya sendiri. Kini Felys paham, kenapa ibu mertuanya selalu bersikap dingin dan bahkan hubungan mereka tidak pernah akur. Satu jam lebih dalam perjalanan, kini Felys sudah tiba di rumah. Ia menarik napas, setelah itu Felys melangkahk
"Iya aku tahu, dan aku sudah dapat persetujuan dari kamu kok. Ingat kan semalam kamu udah tanda tangan." Felys memotong ucapan suaminya. Seketika Abram menepuk jidatnya saat teringat jika tadi malam Felys sempat meminta tanda tangan darinya, dan tanpa bertanya Abram langsung menanda tanganinya. ***Abram menjatuhkan bobotnya di sofa, lalu mengusap wajahnya dengan gusar. "Aku memang bodoh, bisa-bisanya aku tertipu."Felys menghela napas. "Ya sudah mau ke kantor apa nggak, Mas."Abram menoleh istrinya. "Aku boleh pinjam mobil kamu.""Boleh, kita berangkat bareng aja ya, soalnya hari ini aku mau ikut kerja," ucap Felys, mendengar itu Abram sedikit terkejut. Karena selama ini istrinya itu selalu diam dan duduk di rumah, tapi kenapa sekarang mendadak ingin ikut bekerja. "Kamu mau ikut kerja?" tanya Abram tak percaya, pasalnya selama ini Felys tidak pernah mau ke kantor. Paling jika ada keperluan saja. "Iya, memangnya kenapa? Sebentar ya, aku siap-siap dulu." Felys beranjak naik ke lanta
Setelah mereka pergi, Felys tiba-tiba memegangi kepalanya yang terasa pusing. Sedetik kemudian, tubuh Felys ambruk ke lantai, bi Jum yang melihat itu segera berlari menghampiri majikannya itu. ***Dua puluh menit kemudian, Felys mulai mengerjapkan matanya. Perlahan kelopak matanya terbuka sempurna, pertama orang yang dilihat adalah Vino. Sedetik kemudian Felys baru ingat jika ia sempat merasa pusing. "Kamu sudah bangun, gimana masih pusing nggak?" tanya Vino, sementara itu Felys hanya menggeleng, setelah itu ia bangkit dan duduk seraya menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. "Udah mendingan, kamu udah lama?" tanya Felys. "Lumayan, pas aku ke sini bi Jum lagi panik lihat kamu tiba-tiba pingsan." Vino menjelaskan, sementara Felys masih diam. Felys memijit pelipisnya lalu mengusap wajahnya. "Akhir-akhir ini badan aku nggak enak, terus kalau pagi suka mual sama pusing.""Kamu ingin tahu jawabannya?" tanya Vino, sementara Felys hanya mengangguk sebagai jawabannya. "Kamu sedang
"Nanti mama juga akan tahu sendiri, dan satu lagi, kalau sertifikat rumah ini masih atas namaku. Jadi siap-siap saja kalian angkat kaki dari rumah ini. Dan untuk kamu, Mas jika memang kamu tidak mau menceraikanku, maka aku sendiri yang akan menggugat cerai kamu." Setelah mengatakan itu Felys memilih untuk keluar dari rumah tersebut. Selangkah lagi ia akan menang, dan para penghianat itu akan hancur. ***Abram mengusap wajahnya dengan gusar. "Aku memang laki-laki yang tidak berguna, kenapa juga aku harus menuruti keinginan mama. Pelan tapi pasti, aku akan kehilangan Felys, walaupun pernikahan kami karena terpaksa, tapi aku terlanjur nyaman bersama dengan Felys.""Mas kamu bisa diam nggak sih, aku bosen denger kamu nyebut nama Felys terus," ujar Irna yang sangat kesal dengan sikap suaminya. Abram seperti sudah tergila-gila dengan Felys, dan hal tersebut yang membuat Irna bertambah cemburu. "Sudah, kalian tidak perlu bertengkar, sekarang kita berpikir untuk bisa menyingkirkan Felys. La
"Vino barusan telepon, katanya calon pembeli rumahnya sudah ada, dan katanya hari ini dia ingin melihatnya," jawab Felys, mendengar itu seketika Abram terkejut. Itu artinya Felys tidak main-main dengan ucapannya. ***"Jadi kamu benar-benar ingin menjual rumah yang kini ditempati oleh mama?" tanya Abram. Ia tidak tahu harus tinggal di mana jika rumah itu benar-benar Felys jual. Karena hanya rumah itu satu-satunya yang ibunya miliki, memang Felys lah yang membelinya dulu. "Iya, Mas. Memangnya kenapa." Felys menatap lelaki yang ada di hadapannya itu. Terlihat jika suaminya sangat keberatan jika rumah itu sampai dijual. Namun, Felys terlanjur sakit hati dan kecewa, dan mungkin semua itu belum cukup. "Kamu tega, kalau rumah itu dijual, kami mau tinggal di mana," ujar Abram, berharap istrinya mau berubah pikiran. Namun sepertinya itu tidak mungkin, karena Abram tahu betapa kecewanya Felys. Mendengar itu Felys menatap tajam suaminya, apakah pantas Abram mengucapkan semua itu. Bukankah me