Share

2. Mengelak

Langkah Mas Haikal terhenti. Dia terpaku melihatku sedang menyusui seorang bayi. Namun, tak lama seulas senyum terbit dari bibirnya. Kini dia melangkah mendekatiku dan duduk di sofa, di sebelahku. Tentu saja aku menjadi risih dibuatnya. Bagaimana tidak risih, kami bukanlah pasangan suami istri lagi. Apalagi keadaanku saat ini terbuka bagian atasnya.

“Kamu ngapain sih duduk di situ? Sudah tahu aku sedang menyusui, tapi malah dekat-dekat. Sudah sana pergi.” Aku buru-buru beranjak dari kursi, berniat pindah ke tempat tidur. Namun, tangan Mas Haikal dengan cepat mencekal lenganku hingga aku terduduk kembali.

“Aku hanya mau ngomong. Duduklah dulu di sini. Nggak apa-apa kalau kamu sambil menyusui. Lagi pula anak kita pasti rindu dengan papanya, iya kan?”

Kedua bola mataku membulat sempurna mendengar kata-katanya. Jantungku berdegup kencang dan tubuhku tiba-tiba menjadi lemas, hingga akhirnya aku duduk kembali di sofa karena takut kalau sampai kakiku tak bisa menopang diri ini. Melalui ekor mata, aku melihat Adel yang juga tampak cemas. Dia berdiri di dekat pintu sambil memilin jemarinya. Aku berusaha untuk tenang, dan menyiapkan kata-kata untuk menyanggah ucapan Mas Haikal tadi. Enak saja bilang ‘anak kita’ sedangkan selama ini dia asyik dengan keluarga kecilnya. Dasar laki-laki kurang ajar!

“Anak kita? Jangan ngaco kalau ngomong, Mas! Kalau kamu kangen anak, sebaiknya kamu telepon anakmu di Jakarta. Jangan asal mengaku anak orang jadi anak kamu. Datang tiba-tiba kemari dan menerobos masuk, lalu bikin pernyataan yang ngawur. Enak saja ngaku-ngaku, huh!” kutatap Mas Haikal dengan tajam. Namun, dia hanya terkekeh yang membuatku semakin kesal saja padanya.

“Amanda...Amanda, kamu itu nggak berbakat untuk jadi pembohong. Aku sudah tahu kamu luar dalam. Sepuluh tahun lebih aku mengenalmu. Tiga tahun lebih beberapa bulan kita pacaran, dan tujuh tahun kita menikah. Jadi kamu nggak usah mengelak deh. Mengaku saja kalau dia ini adalah anakku. Aku akan menggendongnya kalau dia sudah selesai menyusu,” jawab Mas Haikal santai yang membuatku tersulut emosi. Tanganku dengan cepat menyambar tas yang tadi aku letakkan di atas meja, lalu aku lempar ke arahnya.

Bugh!

Aku berharap dengan kuperlakukan dia seperti itu, akan membuatnya marah dan segera pergi. Namun, aku salah besar. Mas Haikal malah tertawa geli melihat aksiku. Dia justru memandangku dengan tatapan yang menurutku penuh dengan kerinduan. Bukan geer sih, tapi aku tahu dia luar dalam seperti dia yang tahu siapa diriku. Aku tahu arti tatapannya itu, dan jujur saja membuat hatiku berdebar. Argh! Sial banget sih ini. Kenapa juga harus ketemu sama mantan? Apalagi tatapan Mas Haikal kini tertuju pada pabrik susu milikku, yang sedang Pasya nikmati. Membuat aku jadi salah tingkah.

“Apa lihat-lihat!” semburku yang membuat tawanya semakin kencang. Aku menoleh pada Adel yang masih terpaku melihat interaksi antara aku dan Mas Haikal. “Adel, tolong ambilkan selimut Pasya. Terus tolong tutupi dadaku dengan selimut itu.”

“Iya, Mbak.” Adel dengan cepat melangkah ke arah lemari dan mengambil selimut Pasya. Kemudian dia tutupi dadaku dengan selimut anakku. Tentu saja tanpa mengganggu Pasya yang masih asyik menyusu.

“Oh, jadi namanya Pasya. Nama yang bagus. Apa kepanjangan namanya?” tanya Mas Haikal setelah tawanya terhenti.

Aku diam saja. Buat apa aku jawab, karena itu akan semakin memperjelas identitas anakku padanya.

Melihat aku yang hanya terdiam, Mas Haikal dengan cepat membuka tasku yang masih ada di pangkuannya. Aku mengerutkan kening, bingung juga dengan ulahnya. Tak tahu juga apa yang dia cari di tasku itu.

Keherananku baru terjawab ketika dia menemukan boarding pass milik Pasya. Kuakui kalau dia begitu cerdas untuk menyelidiki identitas Pasya. Rasanya jantung ini mau copot ketika dia menunjukkan boarding pass itu di hadapanku. Aku jadi menyesal kenapa juga aku memberi nama belakang mantan suamiku itu di belakang nama Pasya. Argh, benar-benar sial sekali aku hari ini! Sekian lama aku berusaha menutupi identitas anakku darinya dan juga keluarganya. Kini dengan mudah Mas Haikal mengetahuinya sendiri.

“Pasya Prayuda. Terima kasih kamu sudah memberikan nama keluargaku pada anak kita, Manda. Memang sudah seharusnya begitu. Setelah dia selesai menyusu, aku ingin menggendongnya. Ini suatu kejutan terindah. Aku sama sekali nggak menyangka kalau ternyata kamu bisa hamil. Jujur saja kalau aku kemari, ingin memastikan kalau Pasya adalah anakku. Wajahnya sangat mirip denganku. Jadi kamu nggak usah mengelak lagi, Manda,” ucapnya yang membuat aku berpikir keras untuk menyangkal semua perkataannya tadi. Walaupun jujur saja sulit rasanya untuk mengelak, karena wajah Pasya duplikatnya Mas Haikal. Tapi, usaha untuk mengelak boleh-boleh saja kan. Itu karena sakit hatiku yang begitu dalam pada mantan suamiku ini, hingga aku tak rela kalau dia menyentuh Pasya. Aku sudah memutuskan untuk membesarkan buah hatiku seorang diri, tanpa campur tangan darinya.

“Maaf, Pasya bukan anak kamu, Mas! Dia anak suamiku, yang kebetulan namanya Prayuda. Bukan hanya keluarga kamu saja yang punya nama itu. Jadi jangan salah persepsi,” ucapku sambil menatap Pasya, yang masih menyusu sambil menatap ke arahku. Aku tersenyum pada anakku dan mengusap lembut keningnya.

“Kapan kamu menikah lagi?” tanya Mas Haikal dengan nada curiga.

“Setelah masa idah selesai lah,” jawabku santai.

“Itu aku tahu, Manda. Aku hanya ingin tahu kapan pastinya kamu menikah. Bulan apa? tanggal berapa? Biar aku bisa menghitung dengan usia Pasya. Aku perkirakan saat ini usia Pasya paling sekitar satu tahun, atau kurang dikit lah. Kalau kurang dari satu tahun, mungkin sekitar sepuluh atau sebelas bulan. Sedangkan perempuan hamil itu sekitar sembilan bulan lebih beberapa hari. Nah, kita bercerai sudah dua tahun kurang, tepatnya dua puluh bulan. Jadi sesuai kan hitungannya dengan usia Pasya. Jadi mana mungkin kamu hamil sama orang lain, Manda? Aku juga yakin kalau kamu belum menikah, iya kan?” ucapnya dengan senyuman yang membuatku kesal.

“Salah besar! Pasya masih lima bulan usianya. Tubuhnya saja yang besar, jadi kelihatan seperti berusia satu tahun. Dia bukan anak kamu, Mas!”

Jujur saja, ada rasa nyeri saat berucap kalau Pasya bukan anak Mas Haikal. Aku terpaksa melakukannya, karena aku nggak mau berurusan lagi dengan lelaki yang sudah menorehkan luka yang teramat dalam di hatiku.

“Oh, ya. Terus kalau kamu sudah bersuami, kenapa liburan kemari hanya ditemani oleh Adel? Ke mana suamimu? Masak dia tega membiarkan istri dan anaknya berlibur dengan saudara sepupunya saja. Aku nggak bodoh, Amanda. Kamu nggak bisa menipuku. Aku tahu kamu lakukan ini karena kamu sangat membenci aku. Tapi, walaupun kamu membenci aku, janganlah kamu pisahkan anak dengan bapaknya. Dosa itu, Manda,” ucap Mas Haikal yang seketika membuat mataku membulat ketika dia menyebut kata dosa.

Aku tertawa mendengar kata-katanya. “Kamu masih bisa bilang dosa, Mas. Apa kamu nggak berdosa juga telah berzina hingga gundik kamu itu hamil, hah?!”

Mas Haikal kali ini tak bisa berkata-kata lagi. Sedang aku, sangat puas melihat wajahnya yang seketika berubah sendu, dan sepintas aku melihat di matanya ada cairan bening menggenang di sana. Dasar buaya darat! Mau sandiwara apa lagi dia?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Arita Dhamayanti
be strong amanda ...
goodnovel comment avatar
Maslinda Mamat
cerita nya bagus aku suka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status