Share

6. Pasya Tak Mau Pisah

Lamunanku akan masa lalu buyar ketika sebuah tepukan lembut mendarat di punggung tanganku. Di saat itulah aku mendengar rengekan Pasya.

“Manda,” bisik mas Haikal.

“Eh, Pasya kenapa?” tanyaku cemas. Aku segera meraih tubuh anakku dari dekapan mas Haikal.

“Mungkin dia haus,” sahut mas Haikal lembut ketika aku mengambil alih tubuh Pasya darinya.

“Ya sudah, kamu pindah sana. Jangan di depanku dong!” titahku dengan suara pelan.

“Ck, buat apa pindah sih? Aku juga sudah tahu isinya,” ucapnya dengan senyuman. Aku tahu mas Haikal mencoba untuk menggodaku. Hm, tak usah ya. Aku tak akan tergoda.

“Kalau sayang sama anak, cepetan deh pindah. Aku mau susui anakku sekarang!” tegasku padanya.

“Ok.” Mas Haikal lalu beringsut dari tempatnya duduk. Dia membalikkan tubuhnya, memunggungi aku.

Ketika sudah merasa aman, aku lantas memberi ASI anakku, yang tampak sudah tak sabar. Senyum mengembang di bibirku ketika melihat Pasya menyusu sambil menatapku. Interaksi seperti inilah yang memberikan kepuasan tersendiri dan bangga menjadi seorang ibu. Beberapa menit menyusui anakku, tiba-tiba naluriku mengatakan kalau ada sepasang mata tengah mengawasi. Aku menoleh ke arah mas Haikal, dan benar saja dugaanku. Aku melihat saat ini mas Haikal sedang tersenyum sambil menatap ke arahku dan Pasya. Sial, dia mengintip!

***

Akhirnya pesawat pribadi keluarga mas Haikal mendarat mulus di bandara. Hari sudah gelap ketika kami menuruni anak tangga pesawat. Pasya pun tertidur dengan nyenyak di pelukanku. Aku melirik tangan mas Haikal yang melingkari pundakku, memberi kenyamanan. Namun, aku jadi risi karenanya.

“Mas, coba tangannya dikondisikan. Aku bukan istri kamu lagi. Hargai aku, ya,” ucapku pelan.

“Aku hanya mencoba melindungi kamu, Manda. Kamu kan sedang menuruni anak tangga pesawat sambil menggendong Pasya,” sahutnya beralasan.

“Aku ini sudah bukan anak kecil lagi, Mas. Aku tahu bagaimana cara menuruni anak tangga pesawat. Jadi berhenti memberi alasan konyol kayak begitu,” ucapku agak ketus, namun tetap dengan nada pelan karena ingin menghargainya. Bagaimanapun juga, ada Adel dan Rudi yang akan mendengar kalau aku berkata lantang.

Mas Haikal akhirnya melepaskan tangannya dari pundakku. Tapi, tetap saja dia berjalan di sampingku. Membuat aku kesal. Tapi tak bisa berbuat banyak selain membiarkan, asal tangannya tak menyentuh bagian tubuhku lagi.

Setelah urusan bagasi selesai, kami melangkah ke arah pintu keluar bandara. Di sana sudah menunggu mobil jemputannya mas Haikal.

“Aku naik taksi saja, Mas,” ucapku ketika mas Haikal mengarahkan aku dan Adel ke mobil tersebut.

“Nggak, Manda. Aku akan mengantar kamu pulang sampai rumah orang tuamu. Ini sudah malam juga. Aku nggak akan biarkan kamu dan anakku berada di taksi malam-malam begini,” sahutnya tegas.

“Tapi, ini masih jam tujuh malam. Belum terlalu malam kok. Apalagi di Jakarta, jam segini sih masih sore.” Aku menoleh ke arahnya yang kini menatapku tajam. Aku yang hendak berkata lagi, seketika terdiam karena aku tahu arti tatapan matanya itu. Mas Haikal kalau sudah menatap seperti itu, artinya dia tak mau dibantah. Ya, lagi-lagi aku harus menurutinya karena tak mau ribut di depan umum.

“Masuklah ke mobil, Manda! Aku hanya ingin memastikan kamu aman tiba di rumah orang tuamu,” ucapnya pelan, tapi penuh penegasan dan tak ingin dibantah lagi.

Aku menghela napas panjang, lalu masuk ke dalam mobilnya. Begitu juga dengan Adel, melakukan hal yang sama sepertiku.

Mobil melaju membelah kota Jakarta yang sedang dilanda kemacetan. Mas Haikal yang duduk di sebelahku terus menatap Pasya yang masih tertidur lelap.

“Kalau capek, biar gantian aku yang pegang Pasya,” ucapnya dengan suara lembut.

“Nggak usah. Justru kalau berpindah tangan, dia akan terbangun dari tidurnya. Kasihan kalau terbangun, dia sudah tidur nyenyak,” sahutku tanpa menoleh ke arah mas Haikal. Tatapanku terus ke luar jendela mobil. Menatap deretan mobil yang berjejer di jalan raya, karena terkena macet.

“Selama ini kamu tinggal di mana? Kok aku nggak tahu kalau kamu hamil?” tanya mas Haikal yang sukses membuatku mengalihkan tatapanku padanya.

“Aku ada di rumah orang tuaku. Kenapa memangnya?” ucapku balas bertanya.

“Jangan bohong, Manda! Aku selalu memantau keadaan rumah orang tuamu. Aku ingin tahu kondisi kamu pasca kita bercerai. Tapi, aku nggak melihat kalau kamu ada di sana,” sahutnya yang membuat aku mengerutkan kening.

“Oh, jadi kamu mata-matai aku rupanya. Kenapa? Puas kalau sudah melihat aku menderita, begitu?” ucapku ketus dan agak kencang, hingga sopir mas Haikal menatap sekilas ke arah kami melalui kaca spion tengah. Begitu juga dengan Rudi yang duduk di samping sopir. Meskipun tak menoleh ke arah kami, tapi aku tahu dari gestur tubuhnya, dia memasang telinga untuk menguping pembicaraan kami.

Mas Haikal yang juga menyadari hal itu, lalu berbisik di telingaku.

“Justru aku nggak mau melihat kamu menderita, Manda. Aku ingin kamu baik-baik saja. Kamu sama sekali nggak mau menerima uangku. Kamu juga nggak mau menempati rumah kita. Ok, kalau kamu nggak mau menempati rumah kita karena nggak mau teringat kenangan manis kita di sana. Tapi, setidaknya rumah itu bisa kamu jual dan uangnya bisa kamu gunakan.”

“Buat apa? Itu sama saja aku gunakan uang kamu. Sedangkan aku sudah nggak mau punya urusan sama kamu lagi, Mas. Sudah cukup kamu sakiti aku begitu dalam,” ucapku balas berbisik.

Mas Haikal tertunduk sedih. “Lalu bagaimana kamu membiayai hidupmu? Kamu kan nggak kerja saat itu, Manda. Masak kamu bergantung terus sama orang tua kamu? Apalagi saat itu kamu hamil anakku.”

Untuk sesaat aku trenyuh mendengar ucapan Mas Haikal yang melirih. Namun, ketika terbayang akan pengkhianatannya. Aku seketika menjadi jijik padanya dan menatap tajam ke arahnya.

“Bukan urusanmu lagi untuk tahu tentang hidupku!” bisikku namun terdengar ketus di telinganya.

Mas Haikal tak berkata-kata lagi setelah mendengar jawabanku. Dia menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dia menyandarkan punggungnya di sandaran jok mobil, dan matanya pun terpejam. Setelah itu, tak ada lagi perbincangan di antara kami.

***

Akhirnya setelah sekian lama terjebak kemacetan ibukota, mobil mas Haikal tiba di depan rumah orang tuaku. Mas Haikal dengan cepat turun dari mobil dan membukakan pintu untukku.

“Terima kasih,” sahutku yang diangguki olehnya.

“Ayo, aku antar sampai ke rumah! Sekalian aku mau menyapa papa dan mama,” cetus mas Haikal yang membuatku terkejut, karena dia masih menyebut kedua orang tuaku dengan sebutan mama dan papa.

“Nggak usah, Mas. Mereka paling sudah di kamar untuk istirahat. Sebaiknya kamu langsung pulang saja. Nggak enak juga kalau dilihat orang, kamu berlama-lama di sini,” sahutku tanpa menoleh padanya.

Aku langsung berjalan ke arah pagar rumah. Tanpa aku duga, rupanya Pasya sudah bangun dan tiba-tiba menangis. Anakku itu menegakkan tubuhnya dan menatap ke sekeliling, mencari sesuatu.

“Mencari Papa, Sayang?” ucap mas Haikal yang dengan cepat menghampiri kami. Dia tersenyum pada Pasya yang sontak menghentikan tangisannya.

Tubuh Pasya menjulur ke arah mas Haikal. Hal itu membuat mas Haikal tertawa, dan segera mengambil alih tubuh Pasya ke dalam pelukannya.

“Pasya nggak mau pisah sama Papa, ya? Sama dong, Nak. Papa juga nggak mau pisah sama Pasya, dan mama. Tolong bantu Papa untuk kembali sama mama ya, Sayang,” bisik mas Haikal yang masih terdengar olehku.

‘Eh, apa-apaan ini? Anak kecil sudah diajari berkonspirasi,’ ucapku dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status