Setelah mendebat para sekutu mbak Anggi, aku meminta tukang sayur untuk memasukkan barang belanjaku ke dalam kantong. Saat tubuhku berbalik, sosok mbak Anggi baru saja tiba di antara kami.
"Kok matanya bengkak sih, Jeng, kenapa?" tanya Bu Halimah kepo.
Aku masih berdiri menunggu giliran membayar sayuran dan ayam yang baru saja kubeli."Ah, ini kurang tidur aja, Bu. Dea rewel katanya kepalanya pusing," elak Mbak Anggi lemah."Kasihan banget, mana pelakunya bebas lagi!" rutuk Bu Andin melirik ke arahku.
"Siapa yang ibu maksut pelakunya? Jadi kalian belum tau siapa pelaku sebenarnya yang sudah membuat Dea celaka?" tanyaku, membuat mulut mereka bungkam.
"Emang siapa, Jeng? Kamu bilang mbak Endang yang sudah mencelakai Dea gara-gara berusaha mencuri kalung anak kamu," selidik Bu Halimah ingin tahu.Mbak Anggi gelagapan, "Ah, ternyata bukan mbak Endang. Entahlah, pela
Di tengah perjalanan menuju pabrik, berkali-kali aku melirik jam di pergelangan tangan. Duh, ini gara-gara sibuk meladeni Bu Hajjah Aminah dan kawan-kawannya, jadi telat kan!Padahal rencananya pagi ini ada meeting untuk membahas dana "missed" setahun belakangan."Maaf, Bu. Ada perlu dengan siapa? Tolong tunggu di sini, selain karyawan dilarang masuk ke dalam kantor," cegah satpam dengan name tag Jazuli, kepadaku."Ah, saya Endang. Pemilik--""Siapa dia, Li?" tanya seorang pria di belakangku. Sontak aku menoleh ke arahnya."Selamat pagi, Pak Adi. Saya juga tidak tahu ibu ini siapa, Pak. Tiba-tiba datang dan main nyelonong ke dalam kantor," jelas lelaki bernama Jazuli pada Pak Adi.Suami Mbak Anggi itu tersenyum sinis ke arahku, dengan menelisik pakaianku dari atas hingga bawah."Siapa yang meminta kamu interview di sini? Atas rekomendasi siapa kamu beran
Semua mata di ruangan meeting melihat ke arahku. Tanpa aba-aba, Pak Adi berdiri seolah kaget dengan kedatanganku yang disebut Krisna sebagai pemilik asli pabrik Endan Group."Apa ada yang salah, Bapak Adi?" tanya Krisna, sengaja menekan kata "Bapak Adi".Pak Adi melihat sekelilingnya, para staf dan manager yang hadir menatap heran ke arahnya. Aku mengangkat satu telunjuk dan mengarahkannya tepat dimana Pak Adi tengah berdiri. Kuayunkan jemariku dari atas ke bawah, seketika Pak Adi terduduk melihat perintah jariku.Kutarik sudut bibir hingga membentuk seringaian membunuh."Kita sambut kedatangan pemilik Endan Group, Bu Endang Sarasvati, saya minta kesediaan kalian semua untuk berdiri, dan bertepuk tangan atas kerendahan hatinya sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan di tempat yang sedikit terpencil ini." Kata K
"Tidak bisa begitu, Bu. Ini namanya jebakan! Mana boleh ibu mengunci file kami setahun belakangan, barangkali kami menemukan kesalahan di laporan tahun lalu, kami tentu tidak bisa mengubahnya," ucapnya panik.Aku tersenyum sinis, "Saya mempunyai wewenang atas itu! Anda harus tau diri, Bapak Ferdinan yang terhormat, saya Endang Sarasvati, pemilik Endan Group tempat anda bekerja, jadi untuk melakukan hal seperti mengunci file atau sebagainya, saya memiliki kuasa penuh atas itu!" ucapku hampir tersulut emosi."Lagipula, kenapa bapak terlihat panik sekali?" cecarku, membuat Pak Ferdinan gelagapan."Tentu saja saya panik! Itu namanya ib
Setelah membaca pesan dari Bu Hajjah Aminah, gegas aku membersihkan diri dan berganti pakaian mahal yang kupunya. Jika mereka mengenal fashion, tentu akan menyadari berapa harga baju yang sedang kupakai kini.Tak lupa kupakai kalung dan satu cincin berlian hadiah dari ibu mertua di hari ulang tahunku tahun lalu, sempurna!Kusambar tas kecil dengan brand "Louis Vuitton" berwarna putih di lemari penyimpanan tas milikku.Kurasa sudah cukup mewah penampilanku kali ini, bahkan sudah seperti mau pergi kondangan saja. Baju berwarna peach dengan panjang selutut dengan perhiasan mewah yang membuat fashionku semakin berkelas."Dek, mau kemana?" tanya mas Danu dengan memicingkan matanya, menelisik penampilan
Aku memasukkan kembali Diamond selector ke dalam tasku. Semua wanita di ruangan ini berdiri karena suami Bu Hajjah Aminah yang terhormat itu sudah pulang. Aku menoleh ke arah lelaki yang sudah berdiri di antara kami semua, ketika mata kita beradu, kakinya mundur selangkah seolah terkejut melihatku berada di sini."Bu ... Bu Endang?" tanyanya memastikan.Aku mengibas satu tangan di udara, dan berjalan santai mendekati Bu Hajjah Aminah yang sudah berdiri di samping suaminya."Lain kali, jangan menilai orang lain dari seberapa banyak perhiasannya, jika suatu saat kamu tau kalau semua kekayaan yang didapat suamimu dari cara yang salah, kamu tentu akan bingung meletakkan mukamu di mana!" bisikku dengan membetulkan ujung jilbab milik Bu Hajjah Aminah.
"Kamu bercandanya nggak lucu deh, Sayang!" celetuk Reina disela-sela tawanya.Aku mengerutkan dahi, benar-benar wanita bebal!"Siapa bilang aku bercanda? Dia memang kakak perempuanku, Mbak Endang!" jawab Krisna ketus.Bibir Reina seketika mengatup, ditatapnya netra Krisna dengan air muka tegang."Ja-jadi ... Dia?""Perkenalkan, nama saya Endang Sarasvati, pemilik resmi Endan Group," ucapku dengan mengulurkan satu tangan ke arah Reina.Ibu-ibu di rumah Bu Hajjah Aminah menatap ragu ke arahku.
***"Kris, jawab mbak! Benarkah wanita itu hamil anakmu?" cecarku pada Krisna yang sejak tadi terdiam.Krisna mendesah, dan berjalan mendekati Reina yang kini menangis di pelukan Bu Hajjah Aminah."Kamu sengaja mau merusak namaku, bukan? Kalaupun kamu memang hamil, itu tentu bukan anakku!" elak Krisna."Jangan berkilah! Kamu lupa kalau kita pernah ngelakuin itu?" Aku menutup mulutku, merasa tidak percaya dengan apa yang sudah Reina ucapkan. Benarkah Krisna ...? Bu Hajjah Aminah tersenyum tipis ke arahku, kasak-kusuk para ibu-ibu yang lain mulai terdengar. Mereka memaklumi sikap Reina yang terkesan tidak ingin diputuskan oleh Krisna, karena wanita itu sedang hamil, entah hamil anak siapa. "Jangan mengada-ada Reina! Bahkan menciummu saja aku tidak pernah!" bentak Krisna nyalang.Reina menangis tersedu-sedu, memukul-mukul perutnya yang terlihat masih rata. Seketika rasa perih menjalari ulu hatiku, jika benar dia hamil, tentu janin di dalam rahimnya tidak bersalah, calon bayi itu berha
****Aku melangkah mendekati Pak Ferdinan yang sudah duduk di kursi ruangan milikku. Percaya diri sekali pria ini, dia pikir aku akan takut dengan ancamannya. Apalagi, bukti tentang siapa ayah dari calon anak Reina sudah kuketahui kebenarannya.Kutarik sudut bibir hingga membentuk senyuman tipis. Menghadapi laki-laki rakus seperti Pak Ferdinan memang tidak perlu pakai otot, cukup mengandalkan orang-orang kepercayaan ayah, maka semuanya beres. "Apa anda pikir saya takut dengan ancaman itu? Bagaimana jika saya balik keadaan yang sebenarnya?" Aku menaikkan satu alis, mencoba memprovokasi emosi Pak Ferdinan. Aku yakin, akan ada sedikit banyak kebenaran yang akan keluar dari mulutnya saat emosinya terpancing."Memang seperti apa keadaan yang sebenarnya? Bu Endang pikir saya percaya dengan sikap sok tenang anda itu?" cibir Pak Ferdinan.Aku menyilangkan tangan di dada, "Silahkan saja sebar foto syur Reina dan Krisna, saya tidak takut!"Pak Ferdinan menatap nyalang ke arahku, dadanya terlih