Chava tak pernah menyangka, kehidupan rumah tangganya yang semula diselubungi nestapa harus berakhir dengan cara tak terduga. Sampai kemudian suatu ketika Chava bertemu dengan seorang pria karena ketidaksengajaan. Laki-laki yang menyelamatkan Chava dan menjadi suami keduanya itu ternyata bukanlah seorang pria biasa, melainkan seorang miliarader...?
View More"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan
Bara tersenyum memperhatikan Indah lahap menyantap makanannya. Lelah yang dirasanya ketika harus bersusah payah mencari belut di sawah seketika lenyap. "Nak Bara juga makan, jangan dilihatin terus istrinya. Indah nggak kemana-mana kok."Celetukan Wati membuat Indah sontak menghentikan suapannya, tatapannya dan Bara saling beradu ketika lelaki itu juga kedapatan tengah melihat ke arahnya. "Ayo habiskan, kalau kurang nanti aku sama paman nyari lagi di sawah," ujar Bara sambil mengusap pucuk kepala istrinya. Hadi, Wati dan suaminya saling pandang. Senyum yang merekah di bibir menjadi pertanda mereka ikut bahagia melihat keharmonisan rumah tangga Bara dan Indah. Tanpa tahu badai apa yang sedang berkecamuk hingga membuat Indah memutuskan untuk kembali ke kampung halaman menghindari suaminya. "Nanti Mas mau ke rumah ibu sebentar buat kasih tau sementara waktu kita nginap di sini setidaknya sampai kondisimu membaik. Takutnya ibu nungguin.""Biar Paman saja yang ke sana sekalian ngantar s
Seperti baru saja tersadar, Bara tiba-tiba saja memeluk Indah. Lelaki itu menghujani kening istrinya dengan kecupan dan ucapan terima kasih berulang kali. Sembari menitikkan air mata haru, kata maaf terselip di sela tangisan Bara. Ia eratkan pelukannya. Berjanji tak akan pernah melepas wanita itu dan memperbaiki hubungan mereka. Bara tak mau rumah tangganya dengan Indah berakhir dengan kata perceraian. Cukuplah hanya maut yang bisa memisahkan mereka. "Hamil? Masa iya aku hamil?" Suara Indah amat lirih tapi masih bisa didengar oleh Wati. "Lho, kamu kan punya suami, apalagi kalau tiap hari bebikinan bayi, ya wajar kalau hamil. Kok malah kaget begitu, Nduk. Ada-ada saja kamu ini.""Indah cuma masih belum yakin, Bulik. Kan belum diperiksa juga.""Bisa kalau mau tes mandiri. Beli alatnya ada di apotek, nanti kalau hasilnya positif bisa langsung periksa ke dokter kandungan biar makin jelas sama dikasih vitamin." Wati masih mengoceh. Wanita itu memang tak ditakdirkan untuk mengandung ole
"Bapak, ini Indah, Pak. Minta tolong bukakan pintunya, Pak."Terdengar derap langkah kian dekat. Indah sudah memasang senyum terbaiknya menyambut cinta pertamanya. Namun, senyuman itu luntur dalam sekejap manakala Indah melihat kalau bukan ayahnya lah yang membukakan pintu, melainkan suaminya, Bara. "Kenapa berdiri di luar, Nduk? Ayo masuk, suamimu sudah sejak tadi menunggumu. Kamu ini, jadi istri mbok ya jangan nyusahin suami. Kasihan. Suamimu ini sibuk kerja cari uang buat kamu, jauh-jauh dari kota demi nyusulin kamu ke sini." Hadi memberikan putrinya siraman rohani. Pria itu pun kaget awalnya melihat kepulangan menantunya yang seorang diri, tapi bukan Bara namanya kalau pria itu tak bisa mengarang alibi demi menyelamatkan harga dirinya sebagai suami sekaligus kepala keluarga. "Ayo, masuk. Udara malam nggak baik, kamu baru saja sembuh." Setelah memindahkan oleh-oleh di tangan Indah, Bara menggandeng tangan istrinya untuk masuk. Tubuh Indah menolak kaku, sakit hati membuatnya en
Bising mesin yang beradu dengan padatnya lalu lintas. Banyaknya orang yang memenuhi kursi bus yang juga ditumpangi Indah, belum lagi bau keringat para penumpang yang bercampur parfum dan asap knalpot sungguh membuat Indah mual. Setibanya di terminal Indah sudah muntah, dan sudah setengah jam perjalanan dia kembali memuntahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan. Sejak kemarin memang Indah hanya mengisi lambungnya dengan air minum saja. Sejak mengetahui suaminya menjalin hubungan dengan wanita lain di belakangnya secara diam-diam, Indah kehilangan nafsu makan. Ia benar-benar tak merasakan lapar sama sekali. "Ini ada minyak angin, Mbak. Sini saya bantu pakaikan." Ibu-ibu paruh baya yang duduk di samping kursi penumpang Indah menawarkan bantuan. Indah yang memang sudah merasa sangat lemah tak sanggup menolak. Berkali-kali dia mengucapkan terima kasih pada wanita bertubuh tambun itu. "Baru pertama kali naik bus, ya?"Indah menggeleng. "Pernah Bu, tapi memang hanya sesekali.""Mukam
Puluhan foto Bara berhasil Indah abadikan menjadi penghuni galeri ponselnya. Ia lantas meraih tas yang sempat disembunyikan, kemudian berjalan pelan meninggalkan bangunan itu dengan pasti. Sakit memang, tapi lebih baik kesakitan untuk satu waktu itu saja, terluka parah lalu setelahnya melepas sumber rasa sakit itu dan berdamai dengan kenyataan. Menerima apa yang sudah digariskan Yang Maha Esa. Membawa luka berdarah-darah, Indah merasa lega ketika ojek yang dipesannya mulai melaju meninggalkan perumahan. Takdir membawanya hanya dua bulan mencicipi manis menjadi istri seutuhnya. Indah ikhlas, dia rela jika dengan melepas Bara akan membuat lelaki itu hidup bahagia. Sementara dirinya, biarkan dia memeluk luka itu sendirian. Indah telah membungkus rapi kenangan manisnya selama hidup bersama Bara. Setelah ini, dia mungkin akan kembali menjadi perannya sebagai buruh serabutan lagi di kampung.Seperti dongeng dalam kisah klasik, dari itik buruk rupa menjelma menjadi angsa cantik. Kebahagia
"Jangan sampai tertinggal, Pak." Entah sudah peringatan yang keberapa kalinya, kata-kata yang sama terus berulang dikatakan Indah. "Baik, Mbak."Mereka sempat kehilangan jejak, tapi untungnya Indah berhasil menemukan keberadaan mobil suaminya lagi sehingga mereka masih terus membuntuti kemana mobil lelaki itu pergi. Hujan deras di beberapa tempat membuat Indah menggigil, tapi tak menyurutkan niatnya untuk mengetahui tujuan suaminya pergi kali ini. Motor terus melaju dengan menjaga jarak aman. Indah yakin suaminya juga tak akan mengetahui kalau dia sedang dibuntuti. Mantel dan helm serta masker yang dia pakai rasanya cukup untuk melakukan penyamaran itu. "Kita menepi di sana saja ya, Mbak. Jangan terlalu dekat, takutnya ketauan.""Iya, Pak terima kasih. Nanti saya kasih tambahan, jadi Bapak nggak usah khawatir."Tanpa melepas helm di kepalanya, Indah turun dari motor. Ia berjalan mengendap ke arah pagar yang tingginya setengah badan. Keberadaan pohon pucuk merah yang rindang mengun
Puas menangis sampai rasanya kering air mata, Indah terhuyung mencoba bangkit. Kehidupannya boleh jadi hancur, tapi dunia masih terus berputar. Selagi nyawa masih dikandung badan, ada hak raga yang tak bisa dilalaikan. Indah kembali merapikan lembaran foto yang tak ubahnya anak panah beracun tiap kali ia melihatnya. Indah simpan kotak itu di tempat terbaik, sama seperti seseorang yang sudah memberikan 'kado' istimewa itu, Indah pun mulai menyiapkan hadiah sebagai ucapan 'terima kasihnya'. "Lagi apa? Kangen," bisik Bara sambil memeluk istrinya dari belakang. Indah sedang mencuci sayuran di dapur ketika suaminya datang. Indah tak mendengar deru mesin mobil pria itu karena terlalu sibuk dengan pikirannya. Dia harus memastikan satu hal sebelum membulatkan tekad pada keputusan awalnya. "Kamu habis nangis?" Bara memutar bahu Indah sehingga mereka saling berhadapan. "Kamu sakit?" Menempelkan tangan di kening, Bara terlihat sangat mencemaskan istrinya. "Aku nggak apa-apa." Kenyataannya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.