Setelah menyerahkan uang itu mas Satrio langsung pergi, ada sedikit penyesalan di hati sebab dengan gampang aku mengiyakan tawaran mas Satrio, bagaimana nanti aku membayarnya? Aku masih mematung di teras rumah dan tiba-tiba ibu mengejutkan aku.
"Kamu bicara sama siapa tadi Wi?"
"Em itu ... anu bu, tadi Dwi bicara sama Ani?" Aku menjawab dengan gugup.
"Apa itu?" Selidik ibu sambil menunjuk amplop coklat yang aku pegang.
"I-ini berkas lamaran untuk melamar kerja Bu? Maaf Dwi kedalam dulu mau mempersiapkan lamaran kerja buat besok" kenapa aku berbohong aku merutuki diri sambil memukul-mukul mulut sendiri.
Buru-buru aku masuk ke kamar, menutup pintu setelah memastikan semuanya aman ku buka amplop itu, mataku membulat dengan sempurna saat menatap satu gepok uang seratus ribuan, masih baru dan terdapat segel resmi Bank Indonesia sebesar lima puluh juta!.
Apa? ... Lima puluh juta? Aku bertanya pada diri sendiri, ya ampun kenapa sebanyak ini, butuh berapa puluh tahun aku akan membayar hutang ini, duh gusti! apa yang harus aku lakukan dengan uang sebanyak ini?.
"Tok ... Tok ... Tok ... Mba Dwi!... Mba? Buka pintu dong! Tumben main kunci segala"
Buru-buru aku simpan uang itu dibawah kasur, terus membuka pintu kamar dengan tampang dibuat cemberut.
"Apasih kamu dek, mbak ini lagi ganti baju tau"
"Biasanya aja mba gak pernah kunci pintu" jawab tri sedikit nyolot
"Hari ini adalah hari luar biasa jawabku ketus."
"Maksud mba?"
"Ya itu? Hari luar biasa makannya mba sampai kunci pintu, jawabku sekenanya.
"Udahlah mba capek mau langsung tidur aja, dada Tri adikku yang cantik doakan mba mimpi berjumpa Lee min hoo ya?" Kututup badanku dengan selimut dan pura-pura tidur.
Malam semakin merayap jauh, tapi sedetik pun aku belum bisa memejamkan mata, saat aku me miringkan badanku menghadap jendela, dan menghadap ke arah hutan Pinus, kembali aku mendengar musik yang hampir setiap malam aku dengar.
Namun musik kali ini bukan bernada sendu akan tetapi nada ceria penuh harap akan romansa cinta, kunikmati alunan musik itu, tanpa sadar aku turun dari tempat tidur dan berjalan lalu membuka jendela.
Belaian sang bayu lembut menyapa, membuat aku semakin terbuai oleh alunan musik yang teramat syahdu, tanpa bisa ku kendalikan tubuhku bergoyang dan menari mengiringi alunan musik itu.
Aku membayangkan berada dalam pelukan mas Satrio, menari berdua di kesunyian malam ini, aroma tubuh mas Satrio menyejukan hatiku tanpa sadar mataku terpejam, sambil membayangkan bersandar didalam pundaknya.
Tangan mas Satrio memeluk pinggangku, dan kami berdansa berdua aku tak ingin semua ini berakhir dan akan selalu seperti ini, menikmati kedamaian hati didalam pelukannya, mas Satrio ... Aku mencintaimu kuucap kata itu dengan lembut.
Suara Kokok ayam menyadarkan dari alam mimpi, aku terbangun menatap jendela yang ternyata tidak terbuka.
"ya Ampun ... Ternyata semua itu hanya mimpi tapi ... Kenapa harum parfum mas Satrio masih menempel di kulit dan bajuku? hangat pelukannya juga masih aku rasakan, apakah benar aku bermimpi atau? Ah sudahlah yang pasti aku sangat bahagia dengan mimpiku itu."
Bergegas aku bangun menuju ke dapur untuk membantu ibu memasak, kebiasaan ibukku adalah memasak sebelum adzan subuh.
"Kamu dah bangun nduk ... nggak usah bantuin ibu, sana persiapan sholat jama'ah saja, kebetulan ibu lagi nggak sholat"
"Dwi lagi nggak sholat juga Bu?" Jawabku berbohong lagi, ups kenpa sih aku sekarang pandai berbohong! batinku lirih, dan jujur sejak aku mengenal mas Satrio aku jadi jarang sholat, rasanya berat banget untuk melaksanakan sholat.
"Ya sudah ... Sana cuci muka dulu nggak baik muka masih bau bantal masak"
Aku turuti perintah ibu pergi ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi, setelah itu aku kembali ke dapur untuk membantu ibu.
"Bu ... Dwi mau bicara?"
"Bicara apa nduk? Ngomong saja?"
"Jadi begini Bu? Dwi ... Dwi ... dapat keringanan biaya untuk masuk ke sekolah Pramugari, biaya semua di gratiskan bolehkah Dwi sekolah lagi Bu?"
"Alhamdulillah ... MasyaAllah ... Boleh banget wi, tapi kok bisa tiba-tiba ada kabar kayak gini? itu biaya dari sekolahmu atau gemana?"
"Jadi begini Bu? karena nilai Dwi masuk 3 besar pihak sekolah pramugari menawari Dwi untuk nyoba ikut ujian, kalau Dwi lulus dengan nilai bagus Dwi boleh sekolah disana dengan gratis"
kembali aku melancarkan aksi bohong dengan sempurna sebenarnya dari hati kecil yang paling dalam aku tak menginginkan kebohongan ini.
"Kapan ujiannya wi?"
"Kalau ibu ijinin nanti Dwi mau ke Jogja untuk melihat jadwal ujian, bolehkan nanti Dwi ke Jogja?"
"Boleh ... Boleh bangetttt, terus apa nggak kesiangan sampai sananya wi? Dari sini ke Jogja makan waktu -+ 6 jam lho?"
"Tenang saja Bu? Banyak kok teman dari sini palingan Dwi nginap dan besoknya Dwi baru mendaftar"
"Tapi ... Ibu khawatir, kamu kan belum pernah ke Jogja? apa nanti kamu nggak nyasar, oh gini saja kamu pergi sama bapak ya?"
"Nggak usah Bu? Dwi nggak mau ngrepotin bapak, Dwi janji nyampai Jogja nanti Dwi telpon ke ibu yang penting ibu bantu Dwi minta ijin ke bapak, tenang Bu? Dwi berani kok?"
"Ada apa ini pagi-pagi udah ribut!" Ucap bapak mengejutkan kami, dan bapak langsung ke kamar mandi setelah itu pergi ke masjid untuk jamaah sholat subuh.
Pulang jama'ah bapak duduk di meja makan menikmati secangkir kopi dan pisang goreng hangat buatan ibu.
"Bu ... Hari ini bapak mau kepasar agak pagi, jadi bapak nggak bisa sarapan"
"Loh tumben bapak pagi sekali kepasarnya?"
"Iya ... Janjian sama tukang kangkung, tadi ibu dan Dwi bahas apa nampak serius banget."
"Begini pak! Dwi mau ke Jogja untuk melihat jadwal ujian masuk sekolah pramugari dan katanya nginep bisa jadi ujiannya besok atau gemana gitu?"
"Tapi ... Kalau Dwi masih bisa ngejar Dwi nggak nginep kok pak?" Aku langsung menimpali.
"Tumben mendadak banget kamu ngomongnya Dwi? Memang kamu ada uang buat kesana? Biasanya apa-apa kamu musyawarah dulu sama bapak dan ibu"
"Karena ... Karena Dwi dapat info mendadak pak? Dan juga ... Dwi akan mendapat pendidikan gratis kalau Dwi lulus seleksi dengan nilai paling baik, makannya Dwi buru-buru" aku menjawab dengan perasaan takut, takut bapak nggak percaya.
"Ada berapa orang yang akan ikut seleksi memangnya wi?"
"Dwi kurang tahu tapi katanya dari kecamatan sini banyak pesertanya Gemana pak? Bapak kasih ijin Dwi kan?"
"Iya ... Bapak kasih ijin asal nanti kamu kasih kabar ke ibumu ya kalau sudah sampai Jogja, bapak sebenarnya mau saja nganter kamu tapi di pasar lagi banyak masalah"
"Nggak usah pak? Nggak usah repot-repot nanti Dwi minta di temani Ani saja semoga Ani mau"
Setelah bapak pergi ke pasar, aku langsung mandi, terus mempersiapkan segala keperluan tidak lupa membawa uang pendaftaran dan keperluan lainnya.
Aku berniat meminta anter Ani biar ada teman ngobrol di jalan, tepat jam 7 aku pamit ke ibu.
"Bu ... Dwi pergi dulu ya? Dwi mau samperin Ani juga."
"Iya hati-hati nduk, ini uang dari bapak buat kamu, aku melihat uang sebanyak lima ratus ribu, maaf Bu? Uang celengan Dwi sudah cukup itu ibu simpan saja buat kebutuhan lain"
"Nggak usah ini buat bekal kamu takutnya dijalan kamu kekurangan uang"
Karena malas debat Dwi menerima uang itu, lalu langsung pamit, di tengah jalan menuju rumah Ani Dwi dikejutkan oleh suara motor.
"Dwi ... Pagi-pagi mau kemana?"
"Eh mas Satrio? Aku mau kerumah Ani?" Jawab Dwi malu-malu sebab dia teringat akan mimpi tadi malam.
"Kenapa mukamu tiba-tiba memerah wi? goda mas Satrio padahal dia tau pasti Dwi memikirkan kejadian tadi malam yang dikira Dwi itu mimpi, padahal itu kenyataan bahwa tadi malam mereka berdansa bersama.
"Ayo? Mas anter naik motor lebih cepat dibanding naik bis umum."
"Maksud mas Satrio?"
"Ayo naik ... Mas akan anter kamu ke jogaja"
"Seriusan mas?"
"Nggak ... Tapi dua rius ... Ayo cepat keburu kesiangan"
"Ini ... Pake jaket sama helem ini, biar kamu nggak kedinginan di jalan."
Dwi menerima jaket pemberian Satrio jaket berwarna pink Salem, membuat wajah putih Dwi semakin nampak bersinar dan menggemaskan. Selesai memakai jaket mas Satrio memasangkan helem dikepala Dwi sebelumnya mas Satrio mengikat rambut Dwi ikat ekor kuda lalu memasukan rambut itu kedalam helem.
"Kamu cantik banget wi? Bagaikan putri kahyangan" puji Satrio "ayo naik jangan lupa pegangan sebab mas mau ngebut".
Benar saja baru saja Dwi naik Satrio langsung tancap gas karena kaget Dwi langsung memeluk pinggang Satrio dengan kencang, dan menyandarkan kepalanya ke punggung Satrio yang lebar, rasanya damai bagai melayang di udara.
Dwi memejamkan mata sebab yang dirasa dia bagaikan terbang melayang di udara, ternyata disamping mas Satrio pemuda yang tampan, penyayang juga romantis mas Satrio juga seperti Falentino Rosi, bagaikan sedang berlaga di gelanggang circuit motor Satrio meliuk-liuk kesana kemari, Dwi benar-benar nggak berani membuka matanya, justru semakin mempererat pelukannya takut terjatuh."Wi ... Sampai kapan kamu mau memeluk mas? Emang nggak takut ya dilihatin banyak orang"Dwi membuka mata sambil melihat ke sekeling, ternyata motor sudah berhenti di bawah pohon pelataran gedung lembaga pendidikan penerbangan."Loh ... Sudah sampai ya mas?""Udah ...."Lalu Dwi turun dari motor, mas Satrio melepaskan helem yang dipakai Dwi."Kamu kok pucat banget wi?" Ucap Satrio sambil memegang kening Dwi, kamu nggak pernah naik motor ya?."Bukan mas ... Tadi mas Satrio ngebut kaya terbang, sekarang perut Dwi jadi mual nich""Ya am
Saking asiknya mereka bermain, tanpa sadar hari sudah malam, Satrio mengajak Dwi pulang."Wi? Kita mau nginap disini atau pulang saja?""Kalau bisa pulang kita pulang saja mas?""Meskipun naik motornya ngebut nggak papa?""Iya mas nggak papa? Kalau nginap disini kita mau tidur dimana? Masa tidur diatas motor""Kalau mas Satrio sih bisa tidur dimana saja tapi kasian kamu nanti kedinginan, atau kita cari penginapan aja ya?"Dwi menatap wajah Satrio, mau pulang takut kemalaman, kalau nggak pulang mau tidur dimana, dia menilik jam tangan ternyata jam menunjukan angka sembilan."Kira-kira berapa jam kita sampai mas?""Kalau mau cepat setengah jam sampai, tapi kamu takut nggak naik motor lebih cepat dari berangkat tadi, dan kamu harus pegangan erat-erat ya?""Kalau gitu pulang saja mas, nanti Dwi pegangan erat-erat."Akhirnya mereka pulang, Satrio mengeluarkan tenaga ekstra agar mereka cepat sampai, kurang dari 30
Biasanya kamu ngoceh terus tumben selama makan kok diam saja, nggak seru kalau kamu nggak bawel atau jangan-jangan lagi kesambet setan pendiam ya?". Satrio memecah kekakuan sikap Dwi, dia berfikir apakah tadi salah bicara sehingga Dwi tiba-tiba berubah."Em ... Anu ... Enggak mas, Dwi sedang menikmati buah-buahan ini, rasanya enak banget beda sama buah yang selama ini Dwi makan.""Ini kan hutan wi? Jadi buah-buahan semua masih alami belum kena obat seperti yang kalian para manusia biasa pakai?""Maksud mas ...?""Oh ... Itu maksudnya para petani biasanya ngasih obat buat tanamannya kan?.""Oh iya ... Mereka memakai itu biar buah dan sayuran tidak dimakan hama,.""Padahal menurut saya hama itu bagus buat tanaman lho? Kalau hama makan daun yang kena obat mati bisa-bisa manusia juga mati""Ya beda lah mas ... Hama makan daun secara langsung kan? Sedang kita memakai proses cuci dan masak?.""Iya juga ya? Kamu pinter.""Ah ..
Satrio bernafas lega saat melihat Dwi sudah masuk kerumah, melihat bapak ibu Dwi menyambut dengan ramah, setelah semua dirasa aman Satrio berbalik arah menuju ke istananya. Hati Satrio saat ini sangat bahagia, kebahagiaannya melebihi yang dirasakan saat bersama Sulastri, dulu, kisah cinta Sulastri dan Satrio mengalir bagaikan air, berawal dari sebuah persahabatan dan akhirnya timbul perasaan cinta, beda dengan bersama Dwi pertama kali Satrio memandang langsung Satrio jatuh cinta. Keceriaannya, manjanya, bawelnya, emosionalnya semua itu yang membuat Satrio tidak betah berlama-lama jauh dari Dwi. Seperti saat ini, baru saja mereka berpisah Satrio langsung merindukan Dwi, membayangkan polah tingkah Dwi membuat Satrio senyum-senyum sendiri. "Kamu baru pulang Satrio!?" Suara ayah mengagetkannya, tumben ayah langsung menyambutku, biasanya mau berapa tahun aku nggak pulang ayah nggak bakal mencari, dan saat aku kembali ayah juga nggak langsung
Setelah kejalam tadi Satrio mengajak Dwi pulang."Ayo mas anter pulang ke kos-kosan kamu" Satrio menggandeng tangan Dwi untuk mengajak pulang ke kosan."Dwi ingin ngobrol disini dulu mas, Dwi butuh penjelasan mas kemana saja mas selama ini, pergi tanpa pamit dan sekarang datang tak di undang bagaikan jailangkung" Dwi menghempaskan tangan Satrio lalu berdiri di hadapannya dan ngomel-ngomel."Ha ... ha ... ha, masa cowok seganteng ini disamain jailangkung sih, kamu ini dalam keadaan kaya gini masih aja sempat bercanda" sebenarnya Satrio kaget juga melihat sikap Dwi yang tidak seperti biasanya."Dwi nggak bercanda! ngapain mas datang kesini!" Jawab Dwi sewot."Apa kedatangan mas mengganggu mu? apa Dwi sudah nggak mengharapkan mas? kalau itu benar mas akan pergi mungkin lebih baik mas nggak menampakan diri dihadapanmu lagi."Satrio bicara dengan putus asa."Dasar laki-laki nggak peka! Pergi saja sana sesuka hatimu, pergi semaumu nggak usah pamit
Sepulangnya mereka dari rumah Larasati, Satrio ijin ke kamarnya dengan alasan lelah, padahal Satrio berniat akan menemui Dwi Satrio khawatir Dwi akan mencari dan menunggunya, setelah bertemu Dwi Satrio langsung mengajak Dwi pulang ke kosannya."Dwi ... Kayaknya besok mas tidak bisa menjemput kamu ya? besok mas ada tambahan materi praktek mekanik mas langsung pulang. Kamu hati-hati nanti malam jangan begadang lihat itu mata Dwi sudah kaya mata panda, okey mas pulang ya" sambil menepuk-nepuk pipi Dwi Satrio langsung pamit pulang.Dwi bingung dengan sikap Satrio yang tiba-tiba dingin, baru sekali ini Satrio bersikap seperti ini, hati Dwi berkata bahwa ada sesuatu yang Satrio sembunyikan.Namun Dwi nggak berani bertanya, takut dikira terlalu kepo dan membuat Satrio tersinggung, akhirnya Dwi hanya bisa mengangguk sambil menatap punggung Satrio yang semakin jauh meninggalkannya.Satrio meninggalkan Dwi sendiri, sebenarnya Satrio tahu Dwi masih ingin ngobrol, na
Satrio tidak percaya dengan semua yang terjadi, dia pikir Dwi akan berteriak histeris dan lari meninggalkannya, atau justru Dwi akan pingsan setelah siuman nggak mau lagi mengenal dirinya, tapi nyatanya seburuk apapun rupa yang dia tunjukan pada Dwi itu sama sekali tidak berpengaruh untuk Dwi, justru Dwi menyambut dengan senyum dan pelukan.Satrio terharu, inikah yang namanya cinta sejati, perbedaan bukan jadi penghalang paras tampan bukan jadi patokan.Satrio membalas pelukan Dwi dengan mesra tanpa terasa air mata menetes di pipinya, terimakasih Dwi sebab mencintai aku apa adanya, ucap Satrio dalam hati.Sejak kejadian itu Dwi dan Satrio semakin akrab, untuk menjaga nama baik Dwi bila mereka bersama di kerumunan Satrio menutupi Dwi agar tidak nampak oleh mata manusia, Satrio takut Dwi akan dianggap gila oleh teman-temannya.Enam bulan sudah berlalu, hari ini Dwi lulus dari pendidikan pramugari dengan nilai yang gemilang, selama enam bulan Dwi juga sudah
Satrio berfikir saat ini belum waktunya untuk bicara jujur pada Larasati, sebenarnya dia ingin mengungkapkan alasannya kenapa menolak perjodohan itu. Larasati tidak seperti Dwi ataupun Lastri yang memiliki hati lembut dan sabar. Akhirnya Satrio pamit pulang tanpa menjawab ataupun mengiyakan Larasati diam saja membiarkan Satrio pergi. Melihat sikap dan sifat Larasati yang seperti itu justru malah membuat Satrio semakin yakin untuk memutuskan tidak melanjutkan perjodohan ini. Larasati masih terlalu manja dan kekanak-kanakan, sikap egoisnya masih begitu tinggi, mungkin karena latar belakang Larasati yang notabene adalah seorang Puteri jadi pantang bagi dia untuk keinginannya tidak di penuhi. Selepas Satrio pergi Larasati mengadukan semua penolakan Satrio kepada ayahnya sontak itu membuat ayah Larasati murka merasa keluarga Satrio telah melecehkan dirinya. Bukannya memberi nasehat untuk sang putri malah ayah Larasati mengompori agar Larasa