"Pisah? Apa maksudmu, Ningsih?"
Aku terkejut bukan main ketika perkataan itu keluar dari mulut Ningsih. Hal yang mustahil diucapkan oleh seorang wanita yang seharusnya merasa begitu beruntung bisa menikah dengan pria sepertiku."Kamu berani minta pisah dariku? Apa kamu sudah tidak waras, Ningsih?" tanyaku emosi.Ningsih bergeming. Tak sepatah katapun lagi keluar dari mulutnya. Sikapnya itu justru membuatku semakin kesal. Berani sekali dia menghinaku dengan meminta pisah. Seharusnya aku yang berhak melakukannya jika aku ingin."Pokoknya besok kamu harus sudah keluar dari rumah sakit ! Vian membutuhkanmu! Akan kubicarakan pada pihak rumah sakit setelah ini."Ningsih masih bungkam. Dia bahkan tak sedikitpun menoleh ke arahku. Astaga, lama-lama aku bisa gila kalau meladeni sikapnya. Akhirnya aku memilih keluar dari ruangannya, membiarkan dia sendirian di rumah sakit.Selesai mengurus administrasi, aku bergegas menjemput Vian ke rumah Mama. Mama langsung mengomeliku begitu aku sampai."Sekarang kamu rasakan kan, Dicki! Mama sudah bilang mencari istri itu wanita karir, yang mandiri, jadi tidak bakal merepotkan hidup kamu!""Maaf Ma, lagipula baru kali ini juga Ningsih masuk rumah sakit, kan?" jawabku sambil menggendong Vian."Halah, paling juga dia pura-pura sakit, buat menarik perhatian kamu!"Aku membawa Vian pulang dengan hati kesal. Jangan-jangan memang benar ucapan Mama. Ningsih sengaja melakukan ini untuk mengerjaiku. Lihat saja, besok akan kubuat dia menyesal....Semalaman aku tidak bisa tidur karena Vian terus saja rewel. Kupikir anak umur segitu bakal terus tidur sepanjang waktu, selama perutnya kenyang. Ternyata dugaanku salah. Vian yang sudah mulai aktif merangkak tidak bisa membiarkanku istirahat sama sekali, bahkan aku seperti tidak punya kesempatan untuk memejamkan mata.Pagi ini juga, aku harus terlambat datang ke kantor karena harus mengurus Vian lebih dulu. Benar-benar merepotkan tanpa Ningsih. Tapi itu memang seharusnya menjadi tugas dia. Laki-laki itu kewajibannya cuma kerja. Ada-ada si Ningsih, pakai acara masuk rumah sakit segala, padahal selama ini dia jarang sekali sakit.Vian memang tidak begitu dekat denganku, karena selama ini aku sibuk bekerja. Ketika pulang aku dia sudah tidur, jadi jarang sekali punya waktu bermain dengannya. Di hari libur pun aku lebih memilih ke rumah Mama, karena di akhir pekan keluarga kami selalu berkumpul seharian.Aku terpaksa membawa ke kantor, karena di rumah tidak ada yang menjaga. Mama menolak keras aku menitipkan padanya karena hari ini ada acara arisan di rumah. Apa boleh buat, aku harus secepat mungkin menjemput Ningsih.Ketika mobil memasuki area parkir, aku bisa melihat Nella sudah berdiri di depan pelataran kantor dengan senyum manisnya. Ah, aku lupa kalau hari ini kami harus bertemu untuk menanda tangani kontrak kerja sama. Dia bahkan sampai rela menungguku di depan kantor. Seandainya aku masih bujangan, aku pasti tidak akan melepaskan wanita setia seperti dia."Loh, anak siapa ini, Mas?" Nella tampak terkejut ketika melihatku datang sambil menggendong Vian.Aku meringis bingung. Benar juga, selama ini Nella belum tahu kalau aku punya istri dan anak."Ini anakku, Nel," jawabku sungkan."Hah?" Nella terlihat semakin terkejut. " Bukannya Tante Mayang bilang kamu belum menikah?"Kali ini aku yang terkejut. Kenapa Mama bisa berkata seperti itu pada Nella? Ah, Mama ini ada-ada saja."Maaf, Nel. Seharusnya aku jujur dari awal. Aku harap kamu mengerti," ucapku kemudian.Raut kecewa jelas sekali terlihat di wajah Nella. Aku juga merasa tidak enak, karena sadar selama ini telah memberikan perhatian lebih padanya. Mungkin aku memang harus sadar diri mulai sekarang.Setelah urusan kami selesai, Nella langsung pamit pulang. Tidak seperti biasanya, dia selalu mengajakku sarapan bersama atau setidaknya ngobrol sebentar. Aku tahu dia pasti kecewa berat padaku. Aku pun harus bisa terima kalau dia hanya sebatas rekan kerja, tak lebih dari itu.Saat jam makan siang aku langsung meluncur ke rumah sakit. Aku menitipkan Vian pada Mama sebentar saat acaranya sudah selesai, dan Mama mengiyakan saat kubilang mau menjemput Ningsih. Aku tidak mau tahu. Ningsih harus pulang hari ini juga. Setidaknya dia bisa rawat jalan agar tetap bisa merawat Vian.Sesampainya di rumah sakit aku langsung menuju ruang rawat inap Ningsih. Saat akan masuk, aku sejenak tertegun. Terlihat Ningsih tertawa kecil, sedangkan Dokter Reza tampak mengajaknya bercanda. Wajah Ningsih terlihat ceria, yang hampir tak pernah kulihat ketika selama ini menjadi istriku.Emosiku meluap saat itu juga. Tanpa pikir panjang lagi aku mendekat ke arah mereka, dan langsung melayangkan ta-ngan ke arah Ningsih.PLAK!Ningsih langsung memegang pipinya, dengan kedua netra berair."Dasar istri tak tahu diri! Aku seharian sibuk mengurus anak, kamu malah senang-senang di sini! Jangan-jangan benar kata Mama, kamu cuma pura-pura sakit saja!" ucapku dengan nada suara tinggi, karena tak bisa menahan emosi."Apa yang Bapak lakukan?" Dokter Reza berusaha menengahi."Dokter jangan ikut campur! Berani sekali Dokter menggoda istri saya!" Aku balik memaki Dokter Reza.Tak mau membuang waktu, aku langsung menarik tangan Ningsih, memaksanya bangun."Aduh, sakit, Mas!" Ningsih mengaduh.Aku tidak peduli. Aku menyeret tangannya meninggalkan tempat tidur dengan kasar. Lagi-lagi, Dokter Reza menghalangiku. Dia berdiri di depanku, menggadangku keluar dari ruangan." Anda tidak berhak memperlakukan istri Anda seperti ini, apalagi di dalam rumah sakit! Hentikan atau saya laporkan pada polisi!" ucapnya sambil menatapku tajam.Emosiku semakin memuncak mendengar ucapan Dokter itu. Jangan-jangan mereka berdua ada hubungan spesial, dan aku tidak tahu. Pantas saja baru saja mengenal Ningsih, mereka sudah begitu akrab. Kurang ajar."Justru Dokter yang akan saya laporkan ke polisi, karena sudah menggoda istri saya!" ucapku sambil membalas tatapannya dengan lebih tajam lagi."Sudah, sudah, Mas! Jangan membuat keributan di rumah sakit." Akhirnya Ningsih membuka suaranya."Pak Dokter, ijinkan saya pulang. Saya juga khawatir dengan keadaan anak saya," lanjutnya pada Dokter Reza."Tapi kondisi Anda masih belum stabil," jawab Dokter Reza sok perhatian."Tidak apa-apa, Dok. Saya bisa ambil obat jalan saja," ucap Ningsih lagi.Dokter Reza tampak membuang napas, lalu menatapku."Pak, istri Bapak masih Bapak masih perlu menjalani pengobatan sampai kondisinya membaik. Jadi tolong lebih diperhatikan lagi keadaan istri Bapak," ucapnya padaku."Saya ini suaminya, jadi saya tahu yang terbaik untuk istri saya," jawabku.Kesal se
Aku tak menyangka Ningsih bakal membahas semua itu di depan keluargaku. Aku benar-benar malu, apalagi di depan Nella."Ningsih! Sudah kewajiban seorang istri untuk membantu usaha suaminya, apapun caranya! Apa maksudmu membicarakan semua itu lagi?" Mama seketika berdiri sambil menatap ke arah Ningsih."Aku cuma ingin mengingatkan Mas Dicki, kalau selama ini aku tidak pernah berbuat apa-apa untuk pernikahan kami, Ma," jawab Ningsih. "Aku juga banyak berkorban untuk keluarga kami.""Jadi maksudmu, kamu tidak ikhlas melakukan itu semua?" tanya Mama lagi.Ningsih terlihat membuang napas. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan, seperti berharap aku akan membelanya. Aku membuang muka, karena kesal dengan ucapannya. Mungkin memang benar dulu Ningsih yang membantuku membangun usaha kami dari nol. Tapi jika aku tidak bekerja keras siang malam selama ini, tentu usaha kami tidak akan pernah membuahkan hasil.Akhirnya Ningsih menyerah. Sepertinya dia sudah tidak ingin berdebat lagi.
POV Ningsih"Menikahlah denganku, Ningsih."Aku terkejut ketika Mas Dicki melamarku waktu itu. Bahagia, sekaligus juga takut. Mas Dicki adalah anak dari orang berada, sedangkan aku hanya gadis yatim piatu sebatang kara.Kami saling mengenal karena sama-sama kuliah di salah satu universitas ternama di kota Malang. Bedanya, dia salah satu mahasiswa elit, sedangkan aku hanya bisa kuliah dengan mengandalkan beasiswa."Menikahi wanita kampung itu? Kamu sudah hilang akal, Dicki?"Sudah kuduga, reaksi Bu Yulia akan seperti itu saat Mas Dicki memperkenalkanku padanya. Bahkan tanpa basa-basi memanggilku wanita kampung."Dicki, setelah Papamu meninggal, kamulah yang seharusnya menjadi penerus usaha kami karena kamu anak laki-laki. Kamu malah ingin menikah, dan dengan wanita yang ...." Bu Yulia menatapku dengan pandangan jijik.Entah bagaimana cara Mas Dicki membujuk Mamanya, hingga akhirnya beliau mengijinkan kami menikah. Mas Dicki sendiri memilih untuk menjalankan pabrik kain yang diwariskan
POV NingsihSudah berhari-hari aku menuruti perintah Mas Dicki untuk bisa menurunkan berat badan. Aku hanya memakan sedikit buah dan sayur mentah, tanpa makan nasi sama sekali. Berhari-hari berlalu, tapi tak ada perubahan yang berarti. Aku bahkan sering merasakan nyeri di ulu hati.Vian juga semakin rewel saja ketika aku memutuskan untuk diet. Dia jadi sering tidak mau menyusu, dan akhirnya terpaksa memberinya susu formula sebagai tambahan makanan pendamping ASI.Pada akhirnya, tubuhku tak mampu lagi bertahan. Aku tumbang dan berakhir di rumah sakit. Mungkin inilah yang dinamakan depresi, ketika aku benar-benar merasa lelah secara fisik dan mental."Siapa bilang gendut itu jelek?" Dokter Reza, yang saat itu merawatku di rumah sakit selalu mengucapkan hal itu."Semua wanita itu cantik, biarpun yang gemuk ataupun kurus. Yang salah itu mereka yang hanya melihat dari penampilan luarnya saja," lanjutnya.Aku melongo mendengar ucapan Dokter yang mungkin usianya setara denganku itu. Baru kal
"Kamu menalakku dengan sadar, Mas?" aku menatapnya dengan netra membola, karena masih terkejut dengan apa yang baru saja dia ucapkan.Mas Dicki membalas tatapanku, dan tak ada sedikitpun keraguan di sana."Iya, Ningsih Aninda. Aku menalak kamu dengan penuh kesadaran. Mulai hari ini kamu bukan istriku lagi secara agama," jawabnya.Aku mengatupkan bibir. Dadaku seperti dihujam dengan puluhan ton benda berat. Sesak, sulit untuk bernapas. Aku sudah tak sanggup lagi berkata-kata."Aku akan mengurus perceraian kita secara hukum secepatnya. Jadi tidak perlu lagi membuat pembelaan apapun!"Mas Dicki membalikkan badan, berjalan pergi dan membanting pintu. Beberapa saat kemudian terdengar suara mobilnya meninggalkan halaman rumah. Mas Dicki lebih memilih dikuasai keegoisannya sendiri dibanding mendengarkan penjelasanku.Aku masih berdiri di tempatku, dengan perasaan campur aduk. Antara sadar atau tidak, dia sudah memilih untuk meninggalkan kami, istri dan anaknya. Namun kali ini tak ada lagi se
Mas Dicki menatapku dengan pandangan gusar. Dia pasti lupa, kalau tanpa surat persetujuan dariku dulu, tanah milik Bapak tidak akan bisa dia jual. Dan karena itu harta yang kumiliki sebelum menikah, hal itu tidak masuk dalam harta gono-gini."Kenapa, Mas? Harga tanah itu tidak akan menghabiskan seluruh perusahaanmu, jadi jangan khawatir," ucapku sambil tersenyum miring."Iya, Mas, tidak perlu khawatir," sahut Nella sambil menatapku remeh. "Kembalikan saja uang miliknya. Aku yang akan menggantinya. Lagipula, dia juga tidak akan bisa makan tanpa mengemis nafkah darimu, di balik nama anak."Aku seketika menggertakkan rahang mendengar ucapannya. Sabar, Ningsih. Hari ini biarkan saja mereka berkata sesuka hati. Suatu hari nanti kamu pasti akan punya kesempatan untuk membungkam mulut mereka!"Baguslah kalau kalian berniat mengembalikannya secepatnya," ucapku kemudian. "Kalau begitu tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kalian tahu arah pintu keluar, kan?"Mas Dicki dan Nella menatapku penu
Acara malam itu ternyata lebih sukses dari dugaanku. Bahkan banyak sekali perusahan-perusahaan besar yang ingin menawarkan kerja sama, termasuk dari kalangan management para artis.Nyonya Diana bahkan secara terbuka memperkenalkanku pada rekan-rekan bisnisnya. Secara gamblang mereka semua bilang telah terinspirasi oleh tulisanku, juga amat sangat menyukai desain rancanganku.Tidak ada yang lebih membuatku bangga daripada ini. Meskipun impian utamaku menjadi seorang model belum tercapai, tapi setidaknya ada jutaan wanita yang ingin segera memakai busana hasil kerja kerasku selama ini."Selamat, ya, Ningsih. Akhirnya acara kita hari ini sukses luar biasa," ucap Nyonya Diana padaku begitu acara selesai."Justru saya yang harus berterima kasih, Nyonya, karena telah memberikan wanita kampung seperti saya ini kesempatan," jawabku."Jangan begitu, Sayang. Kamu membuktikan kalau latar belakang tidak akan membuatnya rendah dan menghalangi kesuksesan seseorang," ucap Nyonya Diana lagi."Oh, ya,
Aku menatap diriku sekali lagi dalam cermin. Perawatan yang belakangan rutin kujalani ternyata membuahkan hasil dengan sangat baik. Wajah yang dulu rusak parah dan penuh dengan jerawat, kini berubah mulus hanya dalam beberapa bulan saja.Aku sudah bersiap untuk hadir di acara pernikahan Mas Dicki, dengan gaun hasil rancanganku sendiri tentunya. Hari ini aku tidak bisa mengajak Vian, jadi aku menitipkannya pada Nina karena selama ini Nina cukup dekat dengannya. Aku meminta Nina untuk menginap di rumahku semalam saja."Mbak Ningsih tidak apa-apa hadir ke acara itu?" tanya Nina sambil merapikan gaun yang aku kenakan."Memangnya kenapa, Nin? Aku kan diundang," jawabku."Tapi itu kan pernikahan mantan suami Mbak Ningsih. Apa Mbak Ningsih tidak sakit hati? Mereka pasti akan menghina Mbak Ningsih seperti kemarin," ucap Nina lagi."Justru karena selama ini mereka selalu menghinaku, makanya aku datang."Nina terlihat membulat netranya, seperti menyadari sesuatu. Aku tersenyum melihat ekspresin