Share

Malu - POV Ningsih

POV Ningsih

"Menikahlah denganku, Ningsih."

Aku terkejut ketika Mas Dicki melamarku waktu itu. Bahagia, sekaligus juga takut. Mas Dicki adalah anak dari orang berada, sedangkan aku hanya gadis yatim piatu sebatang kara.

Kami saling mengenal karena sama-sama kuliah di salah satu universitas ternama di kota Malang. Bedanya, dia salah satu mahasiswa elit, sedangkan aku hanya bisa kuliah dengan mengandalkan beasiswa.

"Menikahi wanita kampung itu? Kamu sudah hilang akal, Dicki?"

Sudah kuduga, reaksi Bu Yulia akan seperti itu saat Mas Dicki memperkenalkanku padanya. Bahkan tanpa basa-basi memanggilku wanita kampung.

"Dicki, setelah Papamu meninggal, kamulah yang seharusnya menjadi penerus usaha kami karena kamu anak laki-laki. Kamu malah ingin menikah, dan dengan wanita yang ...." Bu Yulia menatapku dengan pandangan jijik.

Entah bagaimana cara Mas Dicki membujuk Mamanya, hingga akhirnya beliau mengijinkan kami menikah. Mas Dicki sendiri memilih untuk menjalankan pabrik kain yang diwariskan oleh Papanya.

Aku sendiri terpaksa berhenti kuliah untuk membantu mengurus rumah, meskipun kadang aku masih ikut beberapa kursus model dan desain.

"Mas, lihat ini, Mas. Aku diterima jadi model cadangan di salah satu studio iklan," ucapku padanya suatu hari saat aku menerima surat panggilan casting.

Tak disangka, reaksi Mas Dicki yang kukira akan bahagia dan bangga, justru sebaliknya. Dia menatapku dengan wajah gusar.

"Pabrik kita hampir bangkrut, Dek. Kamu malah sibuk dengan sesuatu yang tidak penting seperti ini," jawabnya.

"Bangkrut?" Aku terkejut mendengar ucapannya. "Tapi kamu baru menjalankannya selama kurang dari setahun, Mas."

Mas Dicki mengacak rambutnya. Dia terlihat sangat tertekan. Apalagi ketika aku tahu, Mama dan Kakaknya sama sekali tidak mau membantunya.

"Salah kamu sendiri karena buru-buru menikah, Dicki. Sekarang kamu rasakan, gimana susahnya menafkahi anak orang." Itulah yang Mama dan Kakaknya ucapkan.

Sejak saat itu kulihat Mas Dicki jadi sering uring-uringan, sikapnya yang dulu lembut perlahan mulai berubah. Kamipun mengalami masa-masa yang amat sulit, apalagi saat itu kami masih menghuni rumah kontrakan.

"Mas, ini sertifikat tanah dan rumah Bapak di kampung. Gunakan sebagai modal untuk memulihkan usahamu," ucapku sambil mengulurkan harta yang kumiliki satu-satunya itu padanya.

"Kamu serius mau membantuku, Dek?" Netra Mas Dicki berbinar, seperti baru menemukan gunung berlian.

"Iya, Mas. Tapi Mas janji mau mendukungku untuk menjadi model jika ekonomi kita sudah pulih kembali," jawabku.

"Tentu saja, Dek. Mas janji," ucapnya lagi sambil memelukku erat.

Perlahan tapi pasti, akhirnya usaha Mas Dicki perlahan mulai bangkit. Kami sudah mulai bisa membayar uang muka rumah, hingga tidak perlu lagi mengontrak. Sayangnya, kami terpaksa menunda untuk memiliki momongan, sampai Mas Dicki bisa sepenuhnya sukses dengan usahanya.

Aku sendiri lebih memilih mengkonsumsi pil KB secara rutin agar tidak kebobolan. Awalnya tidak masalah, tapi lama kelamaan bentuk tubuhku mulai berubah.

"Gak apa-apa, Dek. Kamu lebih cantik kalau berisi," ucap Mas Dicki tiap kali aku bicara mengenai bentuk tubuhku.

Entah kapan aku lupa meminum pil itu saat berhubungan, hingga akhirnya aku hamil. Syukurlah saat itu ekonomi kamu sudah stabil, jadi tidak perlu lagi khawatir akan kekurangan. Bahagia? Tentu saja. Mungkin aku memang harus melupakan impianku menjadi seorang model, dan mulai belajar menjadi istri dan ibu yang baik.

Saat mengetahui Mas Dicki telah sukses, sikap keluarganya padanya perlahan berubah. Meskipun belum sepenuhnya, tapi Mama dan Mbak Mei mulai bisa menerimaku. Itu saja sudah lebih dari cukup.

"Biarpun sedang hamil, harus bisa mengontrol apa yang kamu makan, Ningsih," tegur Mbak Mei saat melihatku memakan kue di rumah Mama di waktu makan malam.

Mas Dicki selalu mengajakku berkumpul dengan keluarganya setiap akhir pekan. Mbak Mei dan suaminya juga selalu datang.

"Iya, Mbak," jawabku sambil meletakkan kembali kue itu di atas piring tanpa menghabiskannya.

"Jangan terlalu banyak makan manis, Ningsih. Badanmu sudah mulai mekar seperti balon," tambah Mama mertua.

Aku hanya mengangguk dan menurut. Meskipun kadang ucapan mereka sedikit menusuk hati, aku berusaha berpikir positif, bahwa mereka mengatakannya demi kebaikanku.

Entah kenapa, berat badanku tidak bisa kukendalikan lagi selama hamil, padahal aku sudah berusaha untuk mengkonsumsi makanan sehat saja. Apalagi Mas Dicki belakangan jadi jarang berada di rumah, kecuali saat tidur saja, karena usahanya telah berkembang pesat.

Saat melahirkan Vian, putra pertama kamipun, Mas Dicki sama sekali tidak punya waktu untuk membantuku. Sibuk, itu saja yang selalu menjadi alasannya. Aku juga terpaksa melakukan pekerjaan apapun sendirian, karena Mas Dicki tidak suka jika ada pembantu.

"Astaga, Ningsih! Lihat itu penampilan kamu, sudah kayak kerbau berdaster. Masa kamu tidak bisa mengurus dirimu sendiri, sih?" ucap Mama mertua setiap kali kami berkunjung ke rumah mereka.

Sejak saat itu aku benci setiap kali menatap ke arah cermin. Sejak hamil dan melahirkan, entah sudah berapa kali lipat berat badanku naik. Wajahku juga dipenuhi dengan jerawat. Jangankan memakai skincare, bersisirpun kadang aku tak punya waktu karena harus mengurus Vian sendirian.

"Mas, akhir pekan ini kamu jaga Vian sebentar, ya? Aku ingin ke salon," ucapku suatu hari sebelum Mas Dicki berangkat kerja.

"Kamu kan tahu setiap akhir pekan kita ada acara keluarga, Dik. Itupun jika aku tidak harus bertemu dengan klien," jawab Mas Dicki.

"Tapi, Mas ...."

"Sudahlah, Dik, tidak perlu ke salon. Kamu seharian kan cuma di rumah saja, cuma merawat Vian. Nanti Mas belikan skincare mahal untuk kamu," ucap Mas Dicki lagi.

"Masalahnya aku tidak punya waktu, Mas."

Mas Dicki seketika menatapku.

"Tidak punya waktu? Memang seharian kamu ngapain saja sih, Dek?"

Duar! Mungkin bagi Mas Dicki itu pertanyaan yang ringan, tapi bagiku, itu bagai sembilu yang langsung menghujam jantung. Seharian aku ngapain saja? Apa dia tidak bisa melihat aku melakukan semuanya sendirian saja? Dia tidak pernah membantuku!

"Enak ya, jadi Mbak Ningsih. Kerjanya cuma di rumah saja, duit mengalir terus. Badan sampai subur gitu."

"Ningsih, diet, dong. Lama-lama tubuhmu jadi kayak gajah bengkak!"

"Makanya, kalau di rumah jangan cuma makan tidur saja, biar badan tidak mekar terus."

Semua cibiran dan hujatan itu akhirnya menjadi makananku sehari-hari, terutama dari Mama mertua dan Mbak Mei. Aku masih bisa menerimanya, karena suamiku bilang mau menerimaku apa adanya. Hingga suatu ketika, dia mengucapkan sesuatu yang sungguh tidak ingin kudengar keluar dari mulutnya.

"Dek, mulai sekarang kamu harus diet. Mas malu kamu dilihatin banyak orang terus. Kamu harus menjaga penampilan juga dong, sebagai istri pengusaha sukses. Jangan bikin Mas malu terus!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Leila Del
keterlaluan....kalu ingin isteri langsing bawa kedokter...chantiek..bawa ke salon perawatan bukan mau ganti isteri..emang ada orang ingin gendut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status