Share

Tempat asing

Semalaman aku tidak bisa tidur, benar seperti yang disampaikan oleh sopir mobil putih itu, tidak ada penumpang lain selain kami.

Hanya sopir bis yang sudah tua, dengan kondekturnya, yang sepanjang jalan mereka tidak banyak bertanya. Mereka mengatakan bis akan membawa kami sampai ujung penyeberangan.

Matahari baru saja menampakan sinarnya ketika bunyi telp handphone yang di beri sopir mobil semalam.

Rupanya Ita menelpon, mengatakan bahwa kami akan menyeberang dengan arahan kondektur bis ini. Belum sempat aku bertanya, Ita mematikan sambungan telponnya.

Huft, semua serba misterius.

Sampai di penyeberangan, matahari sudah tinggi, panasnya membakar kepala. Tapi bis tidak berhenti di tempat pangkalan semestinya, sedikit menyimpang kendaraan besar itu berhenti di samping pelabuhan.

Anak-anakku mulai rewel, si kembar Nakula dan Sadewa merengek karena lapar. Roti dan air putih persediaan sudah hampir.

Kondektur bis tidak mengijinkan aku keluar hanya untuk sekedar mencari makan. Atau hanya perasaanku saja, mulai tadi malam sikap orang-orang yang menolongku sangat tertutup.

Mereka tidak banyak bicara dalam bekerja, kondektur mengalah, dia yang mencari makan untuk kami. Sambil membawah bungkusan kresek hitam, kondektur yang aku perkirakan umurnya sekitar tiga puluhan  itu mengiring kami untuk turun.

Dengan langkah cepat dan terburu-buru, kondektur itu menarik kami menuju deretan kapal kapal kecil untuk membawa muatan barang. Aku tidak mengerti kenapa kami di bawa ke tempat ini, bukan kapal besar untuk penumpang seperti biasanya.

“Ibu, naik kapal ini biar aman, makan saja di perjalanan. Karena kapal ini segera berangkat.”

Kondektur ini menjelaskan dengan singkat, dan mengingatkan aku untuk membayar sejumlah uang kepada nakoda kapal tersebut.

Lagi-lagi aku hanya mengangguk, semakin kesini aku berusaha mengikuti skenario perjalanan yang sudah disiapkan orang-orang di sekitarku.

Kapal yang kutumpangi meninggalkan buritan, tak lama setelah aku dan anak-anak duduk di antara barang beraneka macam. Kami terjepit di antara kotak kayu, kadang hewan dan berbagai macam barang lain. Baunya, jangan di tanya.

Salah satu awak kapal tadi sudah mengingatkan, kalo aku dan anak-anak tidak boleh menampakkan diri di geladak kapal.

Dari yang aku lihat, telah bertemu lima wajah yang berbeda, berarti sejumlah itu lah awak kapal. Mereka melihatku, dengan intens dan berbisik, membuat risih.

Salah satu dari mereka menghampiri, aku merapatkan diri ke anak-anak.

“Barang baru nih, cantik banget, tapi gak muda-muda amat.” Mata lelaki itu jelalatan, sambil tersenyum genit.

“Jangan di ganggu, titipan si Gendon die, ntar mampus lu” teriak teman yang lainnya memperingatkan.

“Wahh sayang.” Laki-laki itu masih melihatku dengan jakun yang naik turun.

Aku membuang muka, tangan ku makin kueratkan pada anak-anak. Mungkin merasa situasinya kurang baik, anak-anakku sepertinya ketakutan.

Kami hanya duduk atau berbaring di tempat yang sudah di sediakan. Karena kapal yang kutumpangi ini bukan kapal besar, terasa sekali ayunan gelombang laut.

Aku yang tidak terbiasa naik kapal dengan anak-anak di buat mabuk lautan parah. Sepanjang perjalanan beberapa kali aku muntah-muntah, si kembar juga sama, hanya Arjuna yang tahan dengan kondisi ini.

Anak-anak sangat rewel kali ini, menguras kesabaranku. Namun aku tetap bertahan dengan kesabaran yang tersisa, untuk tetap memberi mereka pengertian dengan lembut.

Walaupun dengan kondisi yang payah, aku masih tetap berusaha terjaga, tidak ingin lengah. Tidak ada yang aku andalkan selain diri sendiri, di tempat perantauan apalagi sekarang statusku yang lari dari suami.

Entah berapa lama kami terombang ambing di lautan dengan tubuh yang terasa remuk.

Hari sudah gelap, kapal mendekati daratan, salah satu orang di kapal itu sepertinya pemimpin mereka, meminta ongkos yang katanya telah di sepakati.

Aku lumayan kaget, yang mereka minta dua kali lipat yang disebutkan oleh kondektur bis. Ah biarkan, aku tidak ingin protes ataupun berdebat. Sampai detik ini aku dan anak-anak selamat tanpa gangguan saja, buatku itu sudah luar biasa.

Angin laut kencang menusuk tulang, bau asin bercampur dengan sampah mengelitik hidungku. Dengan badan letih aku mengandeng tangan se kembar kanan kiri, si abang yang sudah lumayan mandiri mengikuti dengan badan yang kucel.

Aku tidak tahu pukul berapa sekarang, hanya aku perlu cari tempat yang tenang dulu untuk menghubungi Ita.

“Kak, kakak” suara berat memanggil, aku yang tidak menyadari panggilan itu, terus berjalan tanpa arah. Sesosok laki-laki mengikuti aku dari belakang, di tempat yang asing seperti ini membuat aku takut serta mempercepat langkah.

Jangan-jangan ada orang yang akan berniat jahat pada kami.

Langkahku berhenti ketika laki-laki itu menghadang di depanku, hampir saja aku menjerit, ketika ia membuka topinya.

Laki-laki bermuka rusak, aku menyebutnya begitu karena tidak tahu namanya. Aku terbelalak, bagaimana bisa ia sudah sampai di tempat ini.

Tanpa senyum dan basa basi, ia mengatakan akan mengantarku sampai tujuan.

“Tunggu, kita akan kemana bang? Maaf, bukan aku tidak percaya sama abang, aku hanya butuh penjelasan.” Tanyaku memberanikan diri.

Laki-laki berwajah rusak itu menghela nafas, dengan suara datar ia berkata, “akan aku jelaskan nanti, kita pergi dulu dari tempat ini.”

“Maaf bang, aku tidak bisa ikut”

Aku bersikukuh, teringat kejadian di kapal, sepertinya aku harus mulai hati-hati dengan sekitar.

Disaat aku bertikai dengan laki-laki berwajah rusak itu, dua laki-laki berjaket kulit datang dari arah yang berlawanan. Gerak geriknya mencurigakan, salah satu dari mereka tiba-tiba menyambar tangan Arjuna. Aku sontak menjerit, reflek menarik tangan Arjuna yang satunya.

Laki-laki di sebelahku tak kalah kaget, kakinya mendendang tangan lelaki berjaket hitam dengan keras hingga terlepas. Kesempatan itu aku gunakan menarik tubuh Arjuna, dan mengajak anak-anak untuk menjauh.

Selanjutnya seperti di film-film, laki-laki yang rusak wajahnya berhadap-hadapan dengan dua laki-laki yang memakai jaket hitam, entah siapa yang memulai mereka terlibat pertarungan.

Dua laki-laki berjaket hitam, menyerang lelaki berwajah rusak itu dari berbagai sisi. Dikeroyok dua orang, tidak membuat lelaki berwajah rusak itu kewalahan.

Aku menutup mulut, terbelalak kaget, laki-laki berwajah rusak itu ternyata sangat lihai. Hanya hitungan menit dua laki-laki berjaket kulit itu telah KO oleh pukulan keras dan tendangannya yang cepat. Dua tubuh bergelimpangan sambil mengerang, lawan yang tidak sepadan.

Orang-orang mulai berdatangan, jeritaku tadi rupanya menarik perhatian mereka.

Laki-laki berwajah rusak itu, menghardikku untuk mengikuti dia. Kami berlari menuju parkiran mobil, aku mengendong Nakula, dia mengedong Arjuna di punggung dan Sadewa di depan. Gerakan laki-laki itu masih lincah walaupun ada dua beban, sepertinya sudah terlatih.

Mobil meninggalkan area parkir dengan  cepat, suara decit  ban memekakkan telinga ketika roda berputar.

Nafasku ngos-ngosan, ada penyesalan di hatiku. Seandainya aku tidak ngeyel pada lelaki di sampingku, mungkin kami tidak akan mengalami peristiwa seperti di pelabuhan tadi.

Laki-laki berwajah rusak itu menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi, mulutnya masih tetap terkatup tanpa kata. Tapi matanya liar mengawasi jalanan, melihat spion atas dan samping.

Aku tidak berani mengeluarkan suara, dengan kejadian tadi aku paham, bang Rey mulai melakukan pengejaran.

Perutku berbunyi, seperti layaknya orang kentut. Mukaku merah menahan malu, laki-laki disebelahku hanya melirik sekilas.

Seperti tidak terjadi apa-apa, laki-laki itu tetap melajukan mobilnya. Kali ini ia memakai mobil berwarna hitam, dengan cekatan ia membelah malam.

Aku tidak berani menyuruh ia berhenti, hanya sekedar meminta mengisi perut. Anak-anak sudah tertidur di jok tengah, makanan yang tadi siang di beri oleh kondektur, habis di makan semua mereka bertiga.

Berarti mulai tadi malam perutku tidak terisi, aku sendiri baru menyadari. Rasa ketakutan mengalahkan, kebutuhan tubuhku.

Masih dalam diam, laki-laki berwajah rusak itu membelokkan mobil ke sebuah warung kecil.

Menyuruhku untuk membungkus makanan, dan selanjutnya meneruskan perjalanan.

“Kita berhenti di kota sebelah, kakak bisa makan dan kita cari penginapan.”

Aku hanya bisa mengangguk lesu, berarti masih lama lagi cacing-cacing di perutku kelaparan. Ah Mayang, jangan mengeluh.

Mobil melewati jalan pinggiran kota, kanan kiri penuh dengan sawah, terkadang melewati hutan yang cukup panjang.

Ketika mobil memasuki hotel kecil kelas melati, aku menyarankan agar cari hotel yang berbintang supaya nyaman. Laki-laki itu dengan dingin menjawab, biar aku saja yang di hotel berbintang, sedangkan dia akan tetap memilih hotel ini.

Apa-apaan coba, Aku kan jadi takut.

Kami tidak langsung masuk ke kamar, laki-laki itu berkeliling dulu mengitari hotel.  Mengukur jarak pintu keluar hotel dengan kamar kami. Ia berjalan ke belakang hotel, melihat-lihat situasinya.

 Aku mengeleng melihat kelakuan anehnya, orang yang ribet.

Mengambil kamar dengan posisi paling belakang, kamarku dengan laki-laki itu bersebelahan.

Laki-laki itu menyuruhku beristirahat, pagi sekali kami akan meninggalkan hotel.

Aku memasuki kamar hotel  sedikit lega, akhirnya bisa berkurang keteganganku setelah badanku tersiram air dingin kamar mandi hotel. Aku tidurkan anak-anak setelah mereka mandi, dengan baju yang masih sama.

Begitu menyentuh bantal, aku langsung tertidur, letih yang luar biasa membuat cepat terlelap.

Semoga esok hari, aku mendapat jawaban dari beberapa kejadian yang aku alami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status