Share

Di Tepi Tebing
Di Tepi Tebing
Author: Ika Shodiqin

Kabur dari suami zalim

“Itaaa!” Aku memukul  bang Rey!,” Aku menjerit histeris sambil menangis.

Dengan tangan bergetar aku menelpon Ita sahabatku satu-satunya, tubuhku penuh dengan peluh setelah pertikaian dengan bang Rey.  Berujung lelaki itu sekarang terkapar di bawah tempat tidur. Kepala bagian belakang laki-laki itu bersimbah darah, karena pukulan tongkat bisbol yang tadi aku ayunkan sekuat tenaga. Ya, tongkat bisbol yang biasanya untuk mengancamku, dan beberapa kali mampir di tubuh ringkih ku, sekarang berbalik ke tuannya.

Laki-laki itu marah, ketika pulang dari kerja tidak mendapatiku di rumah. Aku menjemput anakku sulungku Arjuna dari ekstra basket. Kami terlambat datang karena ada tambahan materi dari pelatihnya, di tambah jalan yang macet. Aku menjelaskan kepadanya dengan halus dan pelan. Tapi ia tidak mau tahu, karena di anggap hanya alasanku saja bersenang-senang di luar.

Kemarahannya kembali muncul malam harinya ketika di kamar, ia mengungkit hal tersebut, dan menuduhku ada main dengan pelatih basket yang tampan. Ya Tuhan, sempit sekali pikirannya, ketika aku meyangkal, ia menilai aku melawannya. Puncaknya ia mencekikku untuk mengakui perbuatanku. Tuduhan yang menurutku di buat-buat dan tanpa dasar, jelas tidak akan aku akui. Aku berlutut mohon ampun sambil menangis, memohon ia jangan marah. Belum lagi kata-kata kotornya yang menghinaku, seperti benar-benar aku yang ia tuduhkan.

Aku meronta-ronta ketika tangannya yang besar menekan leherku. Tapi Bang Rey seperti sudah kalap, wajahnya memerah, mulutnya terus meracau untuk aku mengaku. Aku sudah hampir kehabisan nafas, ketika menendang alat kelaminnya dengan keras, tangannya terlepas dari leherku. Kesempatan itu aku gunakan mendorong tubuhnya, lalu kabur untuk menyelamatkan diri.

Entah keberanian dari mana, aku yang biasanya seperti anak kucing menghadapi suamiku, malam ini ada keberanian yang timbul. Langkah kakiku tidak keluar kamar, tapi aku menuju samping lemari tempat ia menyimpan barang laknat untuk mengintimidasiku. Kuayunkan sekuat tenaga sambil berteriak-teriak, gelap, mataku sudah sangat gelap. Perlakuan bang Rey seperti slide film, yang lepas dari rol nya.

Ita tak kalah kagetnya “Apaa?’ kamu sekarang di mana?”

“Aku di rumah, sekarang apa yang harus aku lakukan, aku takut” dengan jerit tertahan sambil menangis, berusaha menguasai diri.

Ketakutanku tidak berlebihan, kalo laki-laki ini mati, aku bisa masuk penjara, bila dia hidup maka nasibku tidak lebih baik. Tuhan, tolong aku.

“Mayang tenang, kamu harus tenang, cek nadi bang Rey.” Sahabatku itu meski dengan terburu-buru memberi intruksi dengan tegas. Bergegas aku mendekati lelaki bertubuh besar yang bergelar suami, memegang tangannya dengan jari yang masih bergetar hebat, masih ada denyut nadinya, dia masih hidup.

“Masih ada denyut nadinya, tapi aku takut, bagaimana kalo dia bangun” aku masih menangis ketakutan. Bayangan laki-laki itu ketika menyiksaku, sangat menekan mentalku.

“Dengar!” kamu tidak boleh takut Mayang, sekarang waktumu menentukan, atau kamu yang mati”

Ita masih membentakku dengan suara yang tegas, mengingatkan padaku tentang semua yang kami rencanakan. Suara Ita di telpon juga semakin tajam, menyuruhku untuk tetap fokus mendengar intruksinya.

“Sekarang tarik nafasmu, buang pelan-pelan Mayang, dan dengarkan aku. Ambil tas yang sudah kamu siapkan, ambil barang yang kamu butuhkan saja,dan bangunkan anak-anak.”

Aku melakukan apa yang dikatakan Ita di telpon, kutarik nafas besar, ku keluarkan dengan pelan-pelan dari bibir. Aku sedikit meringis, ujung bibirku perih karena pukulan Bang Rey saat kami bertengkar hebat malam ini. Dadaku yang sesak sedikit longgar, pikiranku agak tenang tidak sepanik tadi.

Aku berdiri menuju lemari dengan kaki yang masih goyang. Tenang, aku harus tetap tenang seperti kata Ita.

Tanganku masih memegang telpon sambil membuka lemari besar, lemari yang terbuat dari kayu jati yang kokoh. Aku berjongkok, mengambil tas tenteng kain yang cukup besar. Aku menutup pintu lemari dengan pelan, mataku masih melirik bang Rey yang terbaring di lantai, sangat takut bila laki-laki kasar itu bangun.

Aku memberitahu Ita dengan suara yang masih seperti orang linglung.”Aku sudah mengambil tas”

“Sekarang isi tas itu dengan benda berhargamu, jangan bawa identitas sama sekali, bangunkan anak-anak, keluar lewat pintu belakang. Bila kamu sudah di jalan besar, kabari aku. Semoga berhasil Mayang”

“Tap...”

Ita sudah mematikan telpon, aku semakin gugup, takut rencana ini gagal. Tuhan, bantu aku untuk tenang, Engkau Maha Tahu penderitaanku bertahun-tahun. Maafkan aku ya Tuhan.

Tergesa-gesa aku menuju meja rias, menarik laci tempat menyimpan perhiasan, kuraup semua isinya tanpa sisa. Selanjutnya aku menuju salah satu dinding di kamar ini, ada lukisan kuda ukuranya tidak lebih satu meter kali satu meter. Bang Rey sangat suka dengan sesuatu yang berhubungan dengan kuda, menurutnya lambang kegagahan. Kusibak lukisan itu dengan hati-hati, dibelakangnya ada brankas tempat suamiku menyimpan uang cash. Masalah materi bang Rey tidak pernah pelit, aku di limpahi materi yang lebih dari cukup.

Aku tekan tombol  brankas dengan kode tanggal penikahan kami, sisi romantis bang Rey yang dulu membuat aku meleleh.  Tumpukan uang kertas merah, ada sekitar lima ratus juta, kulirik sebelahnya ada setumpuk kotak bludru berwarna hitam. Aku tahu, itu simpanan berlian bang Rey, apa aku harus mengambilnya juga?. Aku di landa kebimbangan, tapi terngiang kata-kata Ita.

“Bila kamu sudah berani meninggalkan rumah itu, jangan pernah berpikir untuk kembali.”

Benar yang di katakan Ita, sebenarnya aku juga tahu. Tapi karena selama ini aku hidup penuh dengan ketakutan, seringkali tidak bisa berpikir dengan jernih.

Kotak-kotak hitam itu sudah beralih di tas yang aku tenteng, brankas aku tutup kembali, aku rapikan seperti keadaan semula. Aku sendiri tidak tahu, karena takut ketahuan atau karena memang sudah menjadi kebiasaanku, terdidik rapi dengan hal-hal yang kecil.

Kakiku melewati tubuh bang Rey, masih dengan perasaan merinding takut sewaktu-waktu lelaki itu bangun. Bisa aku bayangkan bila lelaki penguasa itu bangun, rencana ini akan gagal total dan hancur semua. Tidak mau membayangkan hal yang buruk dan semakin menambah ketakutanku, aku bergegas ke kamar anak-anak.

“Sayang bangun nak” aku peluk anak-anakku lembut, walaupun dengan jantung bertalu-talu. Aku harus mengejar waktu.

Anak-anakku bangun dengan wajah yang kebingungan, dengan pelan aku berbisik di telinga mereka.

“Mama akan pergi, apakah kalian akan ikut?”

Ketiga wajah jagoanku mengangguk, tapi masih dengan sorot mata yang tidak mengerti. Masih memakai baju tidur aku menyuruh mereka mencuci muka. Aku bergegas kembali ke kamar, mengganti baju tidur dengan baju yang santai, kaos lengan panjang dan celana katun. Mataku masih tidak lepas dari laki-laki yang terbaring di bawah, berharap tubuh itu jangan bangun dulu sebelum kami pergi.

Beriring kami keluar kamar, tidak lupa ku kunci kamar  dan ku buang anak kuncinya ke tong sampah, aku mulai sedikit cerdas. Ketika melewati ruang makan aku mengambil roti seadanya dan air putih. Bagaimanapun anak-anakku butuh sarapan nantinya. Tunggu, ada yang harus aku lakukan, buru-buru ku ambil sapu galah yang biasanya di pakai bibi. Sebelum memukul benda itu aku mengacungkan jari tengah, aku bisa bayangkan merahnya wajah bang Rey bila melihat rekaman CCTV nantinya.

Selamat tinggal, laki-laki br*ngs*k.

Dadaku semakin berdegub kencang ketika melewati pintu belakang yang mengarah ke halaman belakang. Ada pintu kecil, yang sudah lama tidak kami pakai, pintu itu menuju lorong kecil di samping rumah yang bisa tembus ke jalan besar. Sangking lamanya pagar itu berkarat dan di tumbuhi ilalang, dan aku menyimpan kunci duplikatnya. Pintu itu berderit ketika aku buka, langkahku terhenti, ku tengok ke kanan ke kiri semoga orang-orang di rumah ini tidak ada yang menyadari.

Aku merasa jarak halaman belakang ini begitu jauh, ketakutanku masih belum hilang, terus merapalkan doa semoga tidak ada yang bangun. Anak-anak yang masih kecil, juga sedikit menghambat perjalanan ini, aku tidak bisa terlalu memaksa langkah mereka yang pendek.

Aku sangat beruntung ketiga anakku sangat membantu dengan tidak banyak bertanya. Masih dengan wajah yang sembab, muka polos mereka menurut dengan semua komandoku.

“Ita, aku sudah berada di jalan besar.” Sesuai pesannya, aku menghubungi sahabatku ketika sudah di jalan besar komplek rumahku.

“Ya Tuhan Mayang, syukurlah, kamu lama sekali, aku takut rencana kta sudah gagal,” pekik Ita di seberang.

“Maaf, aku tidak bisa memaksa anak-anak berjalan cepat”

“Sudah tidak apa-apa, sekarang kamu pesan taksi online, kamu berhenti di tempat ini, ada mobil nanti yang menunggumu, cepat” perintah Ita, masih tetap dengan intruksi yang tegas. Aku menurut, karena aku tahu, waktu sangat berharga untuk kami kali ini. Bila sampai laki-laki durjana itu bangun dan menemukan kami, aku tidak bisa membayangkan hukuman yang kudapatkan.

Aku menoleh sekilas ke belakang ketika taksi online meninggakan komplek perumahan, tidak dapat kupungkiri ada goresan di hatiku, hanya sampai disini perjalanan rumah tanggaku. Setelah melewati berbagai ujian dan kesulitan, pada akhirnya aku menyerah.

Maaf bang, aku meninggalkanmu dengan cara pengecut seperti ini.

Anak-anak sudah aku beri kode untuk tidak banyak bertanya, sehingga ketika di dalam taksi online, sopir yang kelihatan heran dengan kami yang malam buta menaiki taksinya. Aku jawab pertanyaan sopir yang sedikit kepo dengan asal, tapi tidak meninggalkan kesopanan.

Aku berhenti di depan minimarket yang buka 24 jam, seperti yang sudah di katakan Ita, ada mobil warna putih yang terparkir. Aku buru-buru turun dari taksi online, anak-anak aku bawa masuk ke dalam minimarket. Aku keluar lagi setelah taksi online itu pergi, menyisakan wajah penjaga toko yang cemberut melihat kepergianku. Ah bodohnya aku, kenapa tidak membeli barang mereka sekedarnya.

“Daun?” tanyaku geli juga, serasa sedang bermain film action ala spionase, jendela mobil putih itu turun ketika aku menyapanya.

“Daun?” ulangku, seorang laki-laki duduk di belakang kursi sopir, wajahnya tidak begitu terlihat, karena separuhnya tertutup topi.

“Bunga” jawabnya. Pas, seperti yang sudah di sampaikan Ita. Sifat kehati-hatian sahabatku ini memang berlebihan. Tapi aku mengikuti saja, saat ini hanya dia yang bisa membantuku menghadapi persoalan dalam rumah tanggaku.

Mobil berjalan dengan kecepatan yang lumayan laju menuju terminal, beberapa jam lagi subuh. Aku ingin secepatnya meninggalkan kota ini.

Tidak ada percakapan antara aku dan sopir, aku sendiri masih sangat gemetar, pelarian ini masih seperti mimpi. Beberapa kali aku menoleh kebelakang, takut ada mobil yang mengikuti kami, anak buah bang Rey sangat banyak. Tidak menutup kemungkinan laki-laki itu sudah bangun, dan menyuruh anak buahnya untuk mengejar kami.

Sepertinya sopir itu membaca ketakutanku, ia menambah laju mobil, kondisi malam membantu kami, jalanan masih sangat lengang. Tenggorokanku terasa kering dan terkunci, tidak mampu bertanya kepada si sopir walaupun sekedar bertanya siapa namanya. Kudekap anak-anak yang duduk meringkuk, karena masih mengantuk.

Mobil berhenti pas di depan pemberangkatan bis, aku tidak tahu bis mana yang akan aku tumpangi, dan akan kemana.

“Kak, tugas saya hanya mengantar sampai di sini.” Sopir mobil itu akhirnya bersuara. Aku yang duduk di bangku penumpang sedikit terlonjak kaget, ketika melihat wajah bagian kirinya rusak seperti bekas terbakar. Dia mengangsurkan sebuah amplop besar berwarna coklat kepadaku.

Aku buka amplop coklat itu, dalamya ada handphone jadul, dan sebuah amplop putih. Aku baru ingat, Ita menyuruhku untuk membuang handphone android yang selama ini aku pakai, untuk menghilangkan jejak.

“Di dalam nya sudah ada nomer bu Puspita, kalo sewaktu-waktu kakak membutuhkannya” jelas sopir itu. Airmataku meleleh, sahabatku itu benar-benar sudah memikirkan semua, hal seperti ini sudah ia persiapkan.

Setelah mengucapkan terima kasih aku dan anak-anak bergegas menuju pangkalan bis.  Sopir mobil itu tidak mau menjawab ketika aku tanya namanya, hanya mengatakan, bis akan hanya kami isinya. Dia juga menyebutkan sejumlah rupiah yang harus aku keluarkan untuk sampai tujuan nantinya.

Kubuang handphone android seharga sepeda motor yang dibelikan bang Rey kedalam selokan di terminal, sebelumya kartu di dalamnya ku keluarkan dan kupatahkan.

Aku mencari tempat duduk yang nyaman buat anak-anak, ku suapi mereka dengan sepotong roti sebelum terlelap tidur di sampingku. Aku menatap wajah mereka satu persatu, dengan perasaan bercampur aduk. Semoga kami sampai di tempat yang baru dengan selamat. Kami hanya mengikuti laju bis ini akan kemana.

Miris, hidup kami di tentukan dengan arah laju bis, tapi ini lebih baik karena kami tidak bisa lagi tinggal dengan laki-laki yang seharusnya melindungi. Tapi, malah sebaliknya, merong-rong mental dan menyakiti.

Tuhan, ampuni bila cara ini kutempuh, lindungi aku dan anak-anak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status