Share

7. Kesempatan

Bukannya merespon dengan senang atas perkataan ibunya kalau dia bisa saja menolak. Apa yang membuat Helva diam adalah raut wajah sang ibu yang terlihat begitu mendung seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. 

Helva kemudian berpikir, apakah ada sesuatu yang tak disampaikan ibunya selain perjodohan? Jujur, dia sama sekali belum siap terikat dengan siapa pun, dan ibunya pasti tahu itu. Dia hanya ingin fokus pada study dan mimpinya tanpa harus terikat dengan siapa pun. 

“Maafkan aku, Ma. Aku, sungguh tidak bisa menerima ini,” ungkap Helva akhirnya. Dia tak bisa mengambil keputusan hanya karena ada sebuah cerita rahasia di balik perjodohan itu.

Heni menatapnya, menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum kemudian keedua tangannya meraih tangan Helva, menggenggam dan mengusapnya lembut, menyalurkan kasih sayangnya pada anak sulung.

“Tidak apa-apa, Mama mengerti, Helva. Itu pilihanmu, jadi jangan merasa terbebani. Mama hanya menyampaikan apa yang harus disampaikan,” ucapnya penuh pengertian. 

Gadis itu diam, buluran bening mulai menggenang di pelupuk, berkaca-kaca terharu dengan apa yang disampaikan sang mama. Dia tersenyum kecil lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang ramping wanita yang telah melahirkannya itu, berulang kali berucap terima kasih atas pengertiannya yang dibalas anggukkan Heni. Helva tidak tahu kesedihan di wajah wanita kuat itu kian membendung. “Maaf,” bisik hatinya.

Perjodohan itu memang sering kali menekan mereka yang dimaksudkan. Dua anak manusia yang diikatkan tanpa saling mengenal lebih dulu, atau bahkan sekalipun tak mengenal lalu kemudian terikat dalam sebuah ikatan suci. Entah bagaimana akhirnya, yang pasti bagi Helva sama sekali tak ada gambaran untuk itu.

Sebagai seorang ibu, Heni tentu merasa bersalah. Dia tahu betul apa yang diharapkan Helva, apa impiannya, dan cita-citakan. Maka dia berbohong, lebih tepatnya terpaksa karena tak tega melihat Helva.

Keduanya larut dalam perasaan masing-masing, saling memendam, dengan pikiran yang penuh akan segala tanya dan kata, terlalu membingungkan hanya untuk digambarkan jadi cukuplah mereka yang merasakannya.

Malam kian larut, binatang malam mulai terdengar bersuara, alam semakin gelap seolah takkuasa lagi menahan air yang dikandungnya. Gelap menyambar, terangnya membelah malam. Ibu dan anak itu masih larut dalam kehangatan. 

Braaak! 

Suara dobrakan pintu yang terdengar cukup keras membuat keduanya melepas pelukan dan saling tatap. Ada apa? apa yang terjadi? Dan segelintir pertanyaan atas dobrakan yang cukup keras itu seolah pintu yang menjadi korban itu adalah milik mereka.

“Heni! Keluar kau!” teriak seseorang yang asalnya terdengar dari bawah. Helva menatap ibunya yang menggelengkan kepala.

Sreeet! Bum! Bruk! Braak!

Tak lama setelah dobrakan pintu, dan panggilan yang cukup nyaring itu, terdengar kegaduhan. Seperti suara benda yang di pukul, jatuh, atau apa pun yang sering dilakukan preman yang mengganggu. Tungguh, preman? Helva dan Heni kembali saling tatap.

“Keluar kau! Atau kuhancurkan semua barang milikmu!” ancaman itu semakin nyata. Heni bangkit dari duduknya tergesa menuruni anak tangga untuk melihat apa yang terjadi di bawah, lantai bawah yang dijadikan rumah makan sederhana. 

Heni tiba di undakan tangga terakhir, wajahnya pusat pasi begitu melihat ruangan itu tampak sudah hancur bak kapal pecah. Kursi dan meja yang berserakan, bahkan beberapa patah dan hancur. Tak hanya itu, sendok, garpu, serta berbagai macam benda terserak di lantai. Pandangannya kemudian dia alihkan pada beberapa sosok pria yang menjadi pelaku kerusakan barang miliknya. Lalu pandangannya berhenti pada sesosok pria yang menjadi pemimpin mereka. 

Sengai menakutkan itu muncul, berjalan mendekati Heni yang kini telah sempurna berada di antara serakan barang dan kayu. Tawa pria itu menggema bak gendering perang yang tak bisa dihentikan. 

“Ha ha, kau akhirnya turun, hah! Lama sekali!” katanya menyentak tepat di hadapan Heni yang berjengit. Langkah kaki pria itu mengitarinya. “Aku akan langsung saja. Kapan kau akan melunasi hutang si brengsek itu, hah? Kau tahu, aku tak bisa lama menunggu.”

“A-aku akan segera memberikannya padamu. T-tapi untuk saat ini sedang tidak ada, Bang,” aku Heni dengan tergagap dan nada suara yang bergetar ketakutan.

Sosok tinggi dengan badan tegap dan wajah sangar itu menghentikan langkahnya, mata setajam elang diarahkannya pada Heni yang hanya mampu diam di tempatnya berdoa dalam hati agar tak terjadi apa pun. 

“Kapan?” tanyanya dengan suara yang tegas.

“N-nanti kal –”

“Nanti-nanti, kau selalu beralasan. Apa susahnya hanya memberikan akta tanah kau telah digadaikan si brengsek itu, maka kau tak perlu repot bekerja keras.” Pria itu kembali melangkahkan kakinya.

Sreet!

Dia menyeret kursi untuk didudukinya sambil menatap Heni yang tak bergeming di tempatnya. Pengawasan pria itu tak lepas darinya. 

“Aku tidak bisa menunggu terlalu lama lagi, kau tah itu. jadi, ayo bayar atau tidak sekarang akan kunaikkan dua kali lipat dari biasanya.” Tak ada cara lain selain mengancam, itulah yang dlakukan kebanyakan rentenir yang menagih utang. 

Rentenir? Ah, Helva hanya mampu diam di tempatnya tak tahu harus melakukan apa karena mengancampun akan percuma. Jadi diam mungkin lebih baik. Tapi dalam hatinya, Helva menyumpah-serapahi pria yang mereka cari, tampak sekali kemarahan di mata Helva. 

“Baik. Tapi tolong beri kami waktu, Bang. Hari ini tidak banyak keuntungan yang kudapatkan karena harus membayar biaya sekolah anak-abak juga,” aku Heni.

Pria dengan perawakan tinggi dan wajah sangar itu diam tampak berpikir akan apa yang harus dia lakukan. Jadi telunjuknya memainkan dagu yang di tumbuhi rambut tipis. Kemudian tatapannya beralih apad Helva yang diam di ujung tangga, seketika senyuman hadir di bibirnya seolah menemukan sebuah ide akan apa yang harus dilakukan ada keluarga kecil itu. 

Kesempatan? Sepertinya bukan karena Helva tahu sosok itu tak mungkin memberi mereka kesempatan lagi, dan lagi. Namun, tatapan penuh arti dari pria itu yang tertuju padanya membuat tubuh Helva menegang seolah dia tahu arti tatapan itu yang penuh hasrat dan gairah. Tidak mungkin!

“Aku akan memberimu waktu tapi dengan syarat,” katanya sambil mengeringai licik. Membuang napasnya lewat hidung, tatapannya masih tertuju pada Helva.

“A-apa itu?” tanya Heni terbata. Sebagai seorang ibu, dia merasakannya juga arti tatapan yang terarah pada anaknya. 

“Kau berikan anakmu, maka hutang itu lunas,” katanya licik.

Mata Helva membulat begitu dengan Heni, sama-sama terkejut dengan syarat itu. Bagaimana mungkin anaknya diserahkan hanya untuk membayar hutang? Tidak, tidak, Helva tak seberhara itu untuk dijual, bagi Heni dia adalah permata yang harus dijaganya.

“Tidak!” tegasnya sambil merentangkan kedua tangannya di depan Helva, menjadi tameng.

Pria itu tertawa.

“Maka segeralah lunasi hutangmu atau aku akan mengambil anakmu. Sepertinya dia masih virgin, benar, bukan?” tanyanya untuk memastikan. Helva diam ketakutan seolah bisa merasakan sapuan menjijikkan dari tatapan sosok itu. 

“Aku tidak akan pernah menyerahkan putriku pada orang sepertimu jadi jangan pernah berpikir mudah untuk mendapatkannya,” jelas Heni mnegaskan kalau sang putri bukanlah barang yang bisa diberikan dengan mudah.

Kembali pria itu tertawa yang suaranya menggema di ruangan itu membuat Helva semakin ketakutan. “Kalau begitu, aku beri kau waktu tiga hari untuk melunasi hutangmu. Atau kalau tidak, aku akan mengambil paksa anakmu,” katanya.

Heni diam, terdesak. Tidak mungkin dia menyerahkan Helva begitu saja pada lintah dasat sepertinya. Maka dia harus mengambil keputusan dengan cepat atau harus merelakan sang putri yang dia sayangi.

“B-baik, aku akan m-membayarmu kembali sesuai waktu yang kau berikan,” putus Heni. 

“Oke. Ingat itu kalau tidak, aku tdak akan melewatkan kesempatan yang begitu nikmat,” katanya sambil menggerakkan lidahnya menyusuri bibirnya sendiri.

Helva hanya mampu diam, dia terancam. Jadi, apa yang harus dia lakukan?

***

Terma kasih sudah baca.

Syarah

Halo pembaca Dear Helva, tetap ikuti ceritanya yuk biar author semangat terus, nih. Boleh juga kasih kritik dan saran, ya. Terima kasih.

| Like
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nurfa Latif.
Semangat ya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status