Saat jam istirahat, aku sempat makan di kantin bersama Riski dan kawan-kawan lainnya. Kami pun janjian untuk mengobrol sebentar saat pulang sekolah nanti.
Kami tidak punya banyak waktu mengobrol saat istirahat, karena terlambat ke kantin gara-gara pak Deni telat masuk kelas.
Kami berdua duduk bersaman di lapangan hijau sekolah. Sebelum pulang ke rumah, aku, Ani, Ima, Tri dan Riski duduk-duduk di sini dulu menikmati teriknya matahari siang.
Saat mereka pergi sejenak untuk membeli jajanan, aku dan Riski memulai pembicaraan empat mata. Kuceritakan pula apa yang Indra katakan waktu itu. Riski pun hanya bisa menyayangkan sikap temannya tersebut.
"Aku tuh sempat kesal banget gara-gara itu, padahal sebelumnya kan aku udah mulai biasa aja temenan sama dia," ujarku masih melanjutkan curhatan.
"Dia bukan sepenuhnya laki-laki baik, itu yang aku tahu sih. Jujur ya, Na. Indra itu, dia cukup berbahaya
Pagi ini aku menyeruput mimpi indah, berbagi pandangan semu dengan seseorang di balik telepon. Beberapa kata menjadi pengingat satu sama lain. Aku masih tidak menyangka telah bersama dengannya untuk waktu yang tak terduga.Padahal, dulu kelam hidupku tak terarah. Kemudian kembali bersemi karena dirinya. Dialah penanda halaman dan bait-bait dalam buku yang tidak setebal kisah Romeo atau pun Juliet. Dialah awal dari kisahku dimulai.Obrolan kami menjadi obralan kenang saat aku memulai untuk mengingat dan mengenang kenangan lama. Bagaimana aku bisa jatuh dalam pelukannya dan kini malah bersembunyi di balik kapas putih dingin yang menyelemuti jalanan raya. Bagaimana pada akhirnya aku bisa tenggelam dalam lukisan senja berpadu wangi musim gugur yang menenangkan.Sempat terbersit bahwa itu semua karena izin dan kuasa Allah dan kegigihannya dalam memperjuangkan diriku dan masa depan hari ini.**
Di sekolah baru ini, semua siswinya berhijab. Peraturan sekolahnya memang begini, meskipun bukan sekolah agama, peraturannya adalah mengenakan hijab untuk yang muslim dan seragam sopan untuk non muslim.Tentu saja, hal ini membuat gadis sederhana sepertiku cukup nyaman berada di tempat ini. Aku akan lanjutkan tentang hal menarik yang terjadi di Minggu pertama saat aku masuk sekolah.***Pada pagi yang terik, aku sudah bersiap dan menunggu bibi untuk mengantar ke sekolah. Kebetulan, dia akan berangkat ke kantor dan arah kantornya selalu searah dengan sekolahku. Kami selalu berangkat bersama sejak aku masih duduk di bangku SMP dulu.Kali ini tak boleh terlambat! Batinku memberi semangat pada diri sendiri.Syukurlah, pagi ini rasa sakit tak menimpa dan membuatku aman-aman saja untuk datang ke sekolah; sekolah baru yang kuharap jauh lebih baik dari sekolah sebelumnya. Karena biasanya, aku sering sakit-sakitan. Mak
Setelah pemilihan ketua kelas berakhir, terpilihlah sang gadis yang katanya paling popular dari kelas kami. Dia menjadi ketua kelas, gadis berhijab manis berbadan agak sedikit tebal. Dia menang dengan hasil voting 12 suara dari 25 siswa, aku sebut saja namanya Icha.Nah, jika ada ketua kelas, tentu ada wakilnya bukan? Bagaimana dengan wakil ketua kelas? Siapa yang terpilih? Tentu saja, anak laki-laki yang duduk di sebelahku pada waktu hari pertama lah yang menjadi wakil ketua kelas.Entah orang seperti apa yang sudah memilih orang dengan penampilan seperti dia? Dengan baju kemeja putih yang rapih, tapi bagian dalamnya berwarna merah yang menerawang jelas. Dia mendapatkan voting sebanyak 8 suara, cukup banyak untuk menjadikannya wakil ketua kelas.Lalu, Yani? Jangan tanya bagaimana reaksinya! Dia cemberut tidak keruan, karena suara yang didapatkannya sangat sedikit. Bibirnya yang dikulum, membuat teman sekelas tampak tidak nyaman. Ada
Aku masih tidak menyangka atas apa yang dilihat tadi."Ii-iitu, itu lagi ngapain? Kalian berdua jagain orang pacaran ya? Dosa tahu! Istighfar!" kataku pada si rambut mangkok masih ngos-ngosan bercampur gagap; hah kenapa begini?"Heee! Siapa juga yang jagain orang pacaran? Saya itu cuma jagain pintu dari orang-orang polos seperti kamu! Orang-orang imut yang takut dosa," jawabnya tersenyum, memperlihatkan gigi putihnya. Sambil menepuk pundak rekan sejawat, si dahi lebar yang lagi menunduk menahan tawanya. Lalu keduanya pun sekali lagi tertawa bersama-sama.Enak banget ya, ketawain aku?Ngeeekk ....Suara kursi yang didorong menghentikan tawa si rambut mangkok. Tiba-tiba, saja anak perempuan yang tadi kulihat berlari ke luar kelas, melewati kami bertiga yang terdiam di depan kelas. Malu, aku yakin itu juga sedang menyerangnya.Tapi, mengingat kelakuannya barusan. Aku malah berpikiran, sudah lari ke mana ras
Lagi-lagi aku jatuh sakit, sudah dua hari ini aku melewatkan banyak tugas dan ada banyak pelajaran yang menumpuk, serta harus dikejar.Akhir-akhir ini badanku memang terasa tidak enak lagi dan sedikit demam. Aku hanya bisa menghabiskan waktu belajar dan mengulangi materi yang kuterima selama hampir satu bulan. Sambil sesekali menonton Drama Korea dan Anime Jepang kesukaanku.***Setelah dua hari izin sakit, surat sakit pun akan jatuh tempo dan lagi-lagi dengan sedikit memaksa, besoknya aku memutuskan akan pergi ke sekolah dengan kondisi yang belum terlalu stabil.Entah kenapa sakitku harus sering datang tiba-tiba? Padahal di hari-hari sebelumnya, tak ada masalah apa pun yang bisa mengancam pertahanan tubuhku. Mungkinkah tubuhku kaget dengan berbagai tugas yang kuterima?Mungkin saja aku terlalu terkejut sebelumnya, terkejut dengan keanehan orang-orang di sekolah, serta terkejut akan hal ini dan itu. Atau memang penyakit ini sudah m
Setelah menyentuhku, orang itu kini sedang berdiri tepat di sisi meja, dia menghalangiku untuk duduk. Aku menatapnya kesal, cemberut tak jelas dengan sikapnya barusan. Aku melangkah, tapi masih dicegat olehnya."Kita belum kenalan secara resmi ‘kan?" ucapnya malu-malu. Apa ini? Apa yang coba dia lakukan?"Hah? Oh iya, saya tahu kamu kok! Riski sudah jelaskan semua tentang kamu!" ungkapku tiba-tiba percaya diri, dengan nada sedikit kesal."Riski?" tanyanya bersandar ke meja. “Dia bilang apa aja ke kamu? Bukan yang aneh-aneh kan?” lanjutnya menatapku lekat."Iya, soal ini dan itu …,” jawabku bergerak ke sisi kanan hendak menjauhinya.“Mau ke mana sih?” tanyanya langsung saja memegang tanganku. Aku bisa merasakan tangannya yang hangat, atau tanganku yang sudah membeku.Deg.Rasanya aneh saat dia men
Saat bertemu dengan Sisi sahabat lamaku, aku pun curhat tentang berbagai hal yang kutemui di sekolah ini termasuk masalah Yani. Semua kuceritakan kepada Sisi, tanpa merahasiakan apapun darinya."Terus kenapa tidak mau? Kalau gini pasti udah jadi asistennya sekretaris kelas, bukan sekadar teman yang siap disindir melulu tiap hari," tanya Sisi menanggapi curhatanku."Malas ah ... asisten? Tak mau lah diriku! Hehehe. Kalau kumpul-kumpul seperti itu yang ada bukannya belajar, Sisi … malah bercanda, gosip atau pacaran. Mending nggak usah lah!" jelasku."Iya sih, betul juga!""Oh ya, kamu belum beritahu apa-apa ke teman sekelasku ‘kan?" Aku tiba-tiba mengingat sesuatu."Tentang itu? Tenang aja, hanya teman-teman kita yang tahu. Kepala sekolah juga sudah minta teman-teman kelas sebelas untuk pura-pura tahu siapa itu Nana Rahayu. Kan ada si Pak Bos juga tuh!" bisiknya.
Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan."Titip ya!" ujarnya terburu-buru."Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal."Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap."Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar."Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Pangg