Aku mengulurkan tangan, tanpa sepatah kata pun. Seolah mengerti, Indra menurut dan memberikan benda yang kuminta. Ia meletakkannya di meja, tepat di hadapanku.
"Maaf!" katanya tampak kikuk.
"Kamu ngapain?" Aku tak sanggup mengomelinya.
"Itu, anu--"
"Minggir!" ucapku mengusirnya dari daerah pribadi ini.
Hah, orang ini benar-benar semakin aneh. Saat aku berbaik hati mau bicara dengannya, dia sudah berani duduk di bangkuku, seolah aku adalah bagian dari geng-nya. Dia mungkin saja sedang mencoba menginvasi daerah kekuasaan Yani, atau mencoba membujukku untuk bergabung bersama Yani.
Aku mengambil ponsel yang diletakkan olehnya di atas meja, layarnya masih disetel pada lagu-lagu MP3 koleksi. Aku melirik kesal kepadanya dan dia masih tampak menunduk.
Apa-apaan dia? Beraninya buka-buka tas dan menyentuh barang-barangku! Batinku mengomel.
“Nana?” panggilnya. Lalu, memin
Begitu masuk ke kelas, Indra langsung menyambangiku. Dia tiba-tiba menghalangi Ani dan duduk di tempat Ani. Ini tidak mengherankan lagi, dia sudah jadi terbiasa duduk di tempat Ani. Bahkan Ani kadang harus mengusirnya dulu hanya untuk duduk di bangkunya sendiri. Ini tidak terlalu aneh, karena secara alami kami memang sudah jadi cukup akrab, mungkin itu sebabnya dia bertingkah sok kenal dan sok dekat padaku dan Ani. Mumpung ada Indra, aku jadi teringat kata-kata Yani dua hari lalu. Jika Indra itu tahu informasi tentang Riski, hanya saja aku memang tidak ingin ada urusan dengan anak aneh itu, makanya tidak pernah bertanya apapun. "Belum ada kabar dari Riski ya?" tanya Indra tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku. "Hah?" Aku tersadar dari pikiran tentang Riski. "Belum!" jawabku kemudian. "Syukurlah!" Ucapan itu terdengar aneh, ada rasa satire di dalamnya.
Saat jam istirahat, aku sempat makan di kantin bersama Riski dan kawan-kawan lainnya. Kami pun janjian untuk mengobrol sebentar saat pulang sekolah nanti.Kami tidak punya banyak waktu mengobrol saat istirahat, karena terlambat ke kantin gara-gara pak Deni telat masuk kelas.Kami berdua duduk bersaman di lapangan hijau sekolah. Sebelum pulang ke rumah, aku, Ani, Ima, Tri dan Riski duduk-duduk di sini dulu menikmati teriknya matahari siang.Saat mereka pergi sejenak untuk membeli jajanan, aku dan Riski memulai pembicaraan empat mata. Kuceritakan pula apa yang Indra katakan waktu itu. Riski pun hanya bisa menyayangkan sikap temannya tersebut."Aku tuh sempat kesal banget gara-gara itu, padahal sebelumnya kan aku udah mulai biasa aja temenan sama dia," ujarku masih melanjutkan curhatan."Dia bukan sepenuhnya laki-laki baik, itu yang aku tahu sih. Jujur ya, Na. Indra itu, dia cukup berbahaya
Pagi ini aku menyeruput mimpi indah, berbagi pandangan semu dengan seseorang di balik telepon. Beberapa kata menjadi pengingat satu sama lain. Aku masih tidak menyangka telah bersama dengannya untuk waktu yang tak terduga.Padahal, dulu kelam hidupku tak terarah. Kemudian kembali bersemi karena dirinya. Dialah penanda halaman dan bait-bait dalam buku yang tidak setebal kisah Romeo atau pun Juliet. Dialah awal dari kisahku dimulai.Obrolan kami menjadi obralan kenang saat aku memulai untuk mengingat dan mengenang kenangan lama. Bagaimana aku bisa jatuh dalam pelukannya dan kini malah bersembunyi di balik kapas putih dingin yang menyelemuti jalanan raya. Bagaimana pada akhirnya aku bisa tenggelam dalam lukisan senja berpadu wangi musim gugur yang menenangkan.Sempat terbersit bahwa itu semua karena izin dan kuasa Allah dan kegigihannya dalam memperjuangkan diriku dan masa depan hari ini.**
Di sekolah baru ini, semua siswinya berhijab. Peraturan sekolahnya memang begini, meskipun bukan sekolah agama, peraturannya adalah mengenakan hijab untuk yang muslim dan seragam sopan untuk non muslim.Tentu saja, hal ini membuat gadis sederhana sepertiku cukup nyaman berada di tempat ini. Aku akan lanjutkan tentang hal menarik yang terjadi di Minggu pertama saat aku masuk sekolah.***Pada pagi yang terik, aku sudah bersiap dan menunggu bibi untuk mengantar ke sekolah. Kebetulan, dia akan berangkat ke kantor dan arah kantornya selalu searah dengan sekolahku. Kami selalu berangkat bersama sejak aku masih duduk di bangku SMP dulu.Kali ini tak boleh terlambat! Batinku memberi semangat pada diri sendiri.Syukurlah, pagi ini rasa sakit tak menimpa dan membuatku aman-aman saja untuk datang ke sekolah; sekolah baru yang kuharap jauh lebih baik dari sekolah sebelumnya. Karena biasanya, aku sering sakit-sakitan. Mak
Setelah pemilihan ketua kelas berakhir, terpilihlah sang gadis yang katanya paling popular dari kelas kami. Dia menjadi ketua kelas, gadis berhijab manis berbadan agak sedikit tebal. Dia menang dengan hasil voting 12 suara dari 25 siswa, aku sebut saja namanya Icha.Nah, jika ada ketua kelas, tentu ada wakilnya bukan? Bagaimana dengan wakil ketua kelas? Siapa yang terpilih? Tentu saja, anak laki-laki yang duduk di sebelahku pada waktu hari pertama lah yang menjadi wakil ketua kelas.Entah orang seperti apa yang sudah memilih orang dengan penampilan seperti dia? Dengan baju kemeja putih yang rapih, tapi bagian dalamnya berwarna merah yang menerawang jelas. Dia mendapatkan voting sebanyak 8 suara, cukup banyak untuk menjadikannya wakil ketua kelas.Lalu, Yani? Jangan tanya bagaimana reaksinya! Dia cemberut tidak keruan, karena suara yang didapatkannya sangat sedikit. Bibirnya yang dikulum, membuat teman sekelas tampak tidak nyaman. Ada
Aku masih tidak menyangka atas apa yang dilihat tadi."Ii-iitu, itu lagi ngapain? Kalian berdua jagain orang pacaran ya? Dosa tahu! Istighfar!" kataku pada si rambut mangkok masih ngos-ngosan bercampur gagap; hah kenapa begini?"Heee! Siapa juga yang jagain orang pacaran? Saya itu cuma jagain pintu dari orang-orang polos seperti kamu! Orang-orang imut yang takut dosa," jawabnya tersenyum, memperlihatkan gigi putihnya. Sambil menepuk pundak rekan sejawat, si dahi lebar yang lagi menunduk menahan tawanya. Lalu keduanya pun sekali lagi tertawa bersama-sama.Enak banget ya, ketawain aku?Ngeeekk ....Suara kursi yang didorong menghentikan tawa si rambut mangkok. Tiba-tiba, saja anak perempuan yang tadi kulihat berlari ke luar kelas, melewati kami bertiga yang terdiam di depan kelas. Malu, aku yakin itu juga sedang menyerangnya.Tapi, mengingat kelakuannya barusan. Aku malah berpikiran, sudah lari ke mana ras
Lagi-lagi aku jatuh sakit, sudah dua hari ini aku melewatkan banyak tugas dan ada banyak pelajaran yang menumpuk, serta harus dikejar.Akhir-akhir ini badanku memang terasa tidak enak lagi dan sedikit demam. Aku hanya bisa menghabiskan waktu belajar dan mengulangi materi yang kuterima selama hampir satu bulan. Sambil sesekali menonton Drama Korea dan Anime Jepang kesukaanku.***Setelah dua hari izin sakit, surat sakit pun akan jatuh tempo dan lagi-lagi dengan sedikit memaksa, besoknya aku memutuskan akan pergi ke sekolah dengan kondisi yang belum terlalu stabil.Entah kenapa sakitku harus sering datang tiba-tiba? Padahal di hari-hari sebelumnya, tak ada masalah apa pun yang bisa mengancam pertahanan tubuhku. Mungkinkah tubuhku kaget dengan berbagai tugas yang kuterima?Mungkin saja aku terlalu terkejut sebelumnya, terkejut dengan keanehan orang-orang di sekolah, serta terkejut akan hal ini dan itu. Atau memang penyakit ini sudah m
Setelah menyentuhku, orang itu kini sedang berdiri tepat di sisi meja, dia menghalangiku untuk duduk. Aku menatapnya kesal, cemberut tak jelas dengan sikapnya barusan. Aku melangkah, tapi masih dicegat olehnya."Kita belum kenalan secara resmi ‘kan?" ucapnya malu-malu. Apa ini? Apa yang coba dia lakukan?"Hah? Oh iya, saya tahu kamu kok! Riski sudah jelaskan semua tentang kamu!" ungkapku tiba-tiba percaya diri, dengan nada sedikit kesal."Riski?" tanyanya bersandar ke meja. “Dia bilang apa aja ke kamu? Bukan yang aneh-aneh kan?” lanjutnya menatapku lekat."Iya, soal ini dan itu …,” jawabku bergerak ke sisi kanan hendak menjauhinya.“Mau ke mana sih?” tanyanya langsung saja memegang tanganku. Aku bisa merasakan tangannya yang hangat, atau tanganku yang sudah membeku.Deg.Rasanya aneh saat dia men