Share

Bab 3. Kutukar Talak Dengan Anakku

*****

“Enyah  dari hadapanku! Sebelum aku khilap! Pergi kau!” lirihku pelan, hampir tak terdengar. Kubuang pandangan agar tak bersetatap dengan perempuan jal*ng itu.

“Kau pikir aku suka menunjukkan wajahku padamu? Kau pikir aku sudi melihat wajah sangar, hitm, dekilmu itu! Jujur, aku sudah sangat muak! Kau telah menipuku selama ini! Aku ke sini hanya untuk mendapat talakmu! Aku ingin cepat melepas statusku sebagai istrimu!” Ninda mencercaku.

“Menipumu? Menipu apa maksudmu?” Suaraku meninggi, tatapanku nyalang menatapnya.

“Ya, kau menipuku! Kau bilang dulu akan  membahagiakan aku setelah kita menikah. Kau bilang aku tak akan pernah tak tersenyum. Tapi apa buktinya? Kau malah menyeretku ke dalam penderitaan. Kau menyematkan status baru  padaku, orang misk*n! Kau tempatkan aku di rumah kontrakan kumuh itu! Kau tak pernah memberiku uang lebih untuk kugunakan membeli keperluanku. Kau  … kau … penipu!”

“Sejak awal kau tahu kalau aku ini hanya seorang kuli bangunan. Kau juga tahu berapa gaji seorang kuli bangunan. Sembilan puluh ribu, kerja enam hari dalam seminggu. Lima ratus empat puluh ribu, utuh kuserahkan padamu setiap minggu! Bahkan aku hanya kau beri jatah tiga puluh ribu satu minggu. Aku tidak pernah protes. Uang sebesar itu untuk hidup kita bertiga, masih kurang bagimu? Ok, untuk hidup mewah, mungkin tidak cukup. Tapi, untuk hidup sederhana, itu sudah lebih dari cukup!”

“Cukup? Kau pikir berapa harga skincareku, ha? Kau pikir kenapa wajahku terlihat tetap bersih, kinclong, kau pikir aku merawatnya pakai uangmu, ha? Asal kau tahu,  Mas Reno yang selalu mengirimi aku uang untuk keperluan pribadiku! Uang gajimu itu hanya cukup untuk isi perutmu, listrik, air, sabun, minyak! Kalau hanya mengharpkan gajimu, sudah bulukan wajahku, ngerti!”

“Kau … jadi selama ini kau menerima uang pemberian laki-laki lain? Karena itu kau rela menyerahkan tubuhmu kepadanya?”

Hening, tak ada sahutan dari mulutnya. Hanya kedua matanya yang bergerak liar, seolah begitu merendahkan aku. Menyepelekan pertanyaanku.

“Sejak kapan, Ninda? Sejak kapan kau memberikan tubuhmu kepada pria itu?”

Perempuan itu hanya mendengus kasar.

“Tolong jawab jujur, sudah berapa kali, Ninda? Sudah berapa kali kau tidur dengannya, lalu kau melayani aku juga? Jawab!”

Kesabaranku hilang. tanganku terjulur. Lehernya kini menjadi sasaranku. Kucek*k dia sekuat tenagaku. Bang Ramli  segera menenangkanku. Dua orang petugas bergerak mendekat, memintaku kembali masuk ke dalam sel.

“Beri aku waktu, Pak, satu menit lagi!” pintaku  bertahan.

Kedua petugas itu menghentikan langkah. Aku berbalik, kutatap nyalang wajah si jal*ng.

“Jawab jujur. Tolong! Bima anak siapa?” lirihku dengan suara serak.

Hening, semua yang menyaksikan seolah ikut tegang. Menanti jawaban dari mulut sang durjana.

“Tolong jawab! Jawaaaaab!” Suaraku kembali menggelegar. Kedua petugas spontan mencengkram kedua lenganku lagi.

“Jawab Ninda!  Tolong jawab! Agar tak menjadi penyesalan seumur hidupku, kumohon!” Suaraku kembali menurun.

“Anakmu.”

Mulutnya berkata. Setitik harapan membuncah di dalam dada. Setidaknya masih ada alasanku untuk tetap bernafas.  Dan untuk si jal*ng ini …. tunggu giliranmu! Kutarik garis di sudut bibir kananku. Senyum miring kuukir di sana.

“Kau bisa buktikan?” sinisku menatapnya dengan isntens.

“Kebetulan Mas Reno sedang cuti, dia pulang kampung. Dan baru empat hari ini kami bersama. Hubunganku dengannya hanya  lewat chat, telepon dan video call selama ini.”

“Kau begitu bangga sepertinya? Sedikitpun tak kulihat penyesalan di wajahmu! Baguslah, dengan begitu aku tak perlu mempertimbangkan apa-apa lagi tentangmu!”

“Tolong talak aku! Aku ingin menikahi Mas Reno! Kami saling cinta. Surat cerai kita, akan diurus oleh pengacara Mas Reno ini!” tuturnya  dengan begitu lancarnya. Bibir tipis itu kembali menyiram cuka di atas lukaku.

Sakit?

Tidak lagi. Hatiku sudah mati rasa.

“Talak? Kau ingin talak dariku? Sayang sekali, aku pernah besumpah pada Tuhanku, bahwa aku tak akan pernah mengucap kata itu  di dalam pernikahanku. Jadi, maaf sekali, kau tak akan pernah mendapat talak dariku! Jujur,  akupun tak lagi membutuhkanmu! Kau adalah sampah bagiku! Pergilah sesuka hatimu! Pergi dari kehidupanku!  Juga anakku! Ini yang terakhir kali aku melihatmu! Mari, Pak!” ucapku lalu membalikkan badan, kembali menuju selku.

“Kalau kau tidk talak aku, maka kau akan kehilangan anakmu! Aku aka bawa Bima bersamaku!” ancam Ninda memutus langkahku. Kembali aku berbalik.

“Jangan sentuh anakku!” teriakku kembali terbakar emosi.

“Secara hukum, Bima harus ikut aku. Karena di masih bayi, terlebih dia masih ASI. Kau pilih,  Bang! Kau talak aku, atau kubawa Bima jauh. Saat kau keluar dari penjara nanti, kau tak akan mengenalnya!” Perempuan licik itu kembali mengancam.

Kuremas wajahku dengan kasar. Bang Ramli mendekatiku. Seperti biasa, dia kembali membisikkan kalimat yang menguatkanku.

“Baik, kutalk kau Ninda Binti Rahman. Mulai detik ini kubebaskan kau dari kewajibanmu atas diriku!  Silahkan kau urus surat cerai itu!  Lalu pergilah dari kehidupanku! Juga anakku!”

Kalimat itu meluncur  dari bibirku. Entah … lah! Kurasakan dunia semakin menghimpitku. Sesak, skit, aku merasa kesulitan untuk bernafas. Bukan karena takut kehilangan si wanita jal*ng. Bukan karena anakku tak lagi beribu. Tetapi karena aku merasa dunia tengah menertawakan aku. Semua menetrtawakan kekalahanku, aku yang bod*h! Aku yang terinjak, diinjak, dilindas, aku hancur, lebur ….

“Terima kasih!  Akhirnya aku bisa bernafas lega. Maaf, aku tak bisa menjadi istri yang baik untukmu! Selamat tinggal!” Si jal*ng lalu melenggang pergi.

“Tunggu!”

Dia berbalik.

“Apalagi? Kau ragu kalau aku akan menuntut harta gono gini darimu? Jangan khawatir, aku tak akan membawa satu benda pun dari rumah kontrakanmu itu! Bahkan seluruh barang-barang pribdikupun akan kutinggal. Benda-benda itu tak pantas lagi dikenakan oleh Nyonya Reno, hehehe … Aku ihklas, kalau kau mau berikan kepda perempuan miskin yng akan kau jadikan penggantiku.” Perempuan itu tersenyum lebar.

“Nikmati hidupmu! Satu hal yang ingin kukatakan padamu! Tolong tetaplah kau hidup!  Tolong, panjang umurmu! Agar aku bisa menyaksikan seperti apa balasan Tuhan kepada perempuan pezin*h sepertimu!”

“Balasan dari Tuhan, hahahha ….” Perempuan itu terkekeh. Bang Ramli mengusap bahuku. Petugas lalu menggiringku kembali ke dalam sel.

**

“Tidak ada yang menjemput?” tanya Petugas yang mengantarku hingga gerbang penjara.

Aku menggeleng.

“Baiklah! Selamat jalan! Jangan pernah  kembali ke sini!  Kembalilah ke tengah masyarakat, dan jalani hidup normal! Ini sekedar ongkos!”

Aku tercekat. Selembar uang kertas dia selipkan  di tanganku.

“Terima kasih!” ucapku saat dia berlalu.

Kuhirup udara kebebasan sedalam-dalamnya. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Reno, nama itu bergentayangan di otak.  Dia yang telah mencuri istri jal*ngku, tetapi aku yang  dikerangkeng.  Tak apa, waktu masih panjang. Tuhan tidak tidur.

Bima, papa pulang, Nak!

*****

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status