Share

Bab 2. Istriku Minta Talak Saat ku Mendekam Di Penjara

*****

“Ebbba ba ba babaaa  …. Eeeebababa  ba ba ba ….” 

Samar kudengar suara celoteh bayi di antara tawa cekikikan manja istriku. Hatiku yang sempat panas, berangsur dingin. Lega luar biasa. Pikiran buruk dan curiga yang  tadi melintas segera sirna. Bayangan Ninda tengah bergelut dengan pria lain, lenyap bagai disapu angin.  Hati sejuk seketika. Ternyata istriku tengah bercanda dengan bayi kami.

Eh, tapi tunggu! Motor di teras itu, punya siapa? Apakah punya tetangga? Tak mungkin tetangga menaruh motornya di teras rumahku. Lalu, siapa?

“Udah, dong, ih, bayiku ngeliatin, tuh, malu, tau?”

Deg!

Darahku kembali berdesir. Suara manja disertai cekikian Ninda kembali terdengar. 

“Sekali lagi, Sayang. Mumpung suami kamu masih kerja! Boleh, ya! Masih kangen, nih!” Suara seorang pria menyahutinya.

Kurasakan bumi kupijak seolah ambruk, langit-langit rumah  jatuh menghantam tubuhku.  Aku lemas kehilangan tenaga, tungkai kaki tak mampu menahan bobot tubuh. Pandanganku berkunang-kunang, lalu gelap. Daster dalam kresek terjatuh dari tangan tanpa kusadar.

“Ya, udah, tapi agak cepat temponya, biar cepat tuntas. Bayiku mau nen*n itu!” Suara perempuan mur*han itu kembali terdengar. Mengiris habis  serpihan hatiku.

“Iya, aku juga masih haus, Sayang! Janji, deh, enggak akan aku hisap habis! Aku sisain kok, buat bayi kamu. Enggak apa-apa berbagi sama bayi kamu, aku ihklas. Tapi kalau berbagi dengan suami kamu, kok, aku enggak ihklas, ya, hehehe ….” 

Kedua tanganku mengepal.  Kuedarkan pandangan ke sekitar. Tak ada benda apapun yang bisa kujadikan senjat* sekarang. Kurogoh  bilik tas kerja usangku. Sebuah benda dingin bergagang tergenggam kini di tanganku. 

“Sayang …, cepat, lebih cepat! Iya, begitu!” Suara menjijikkan Ninda terdengar seperti sengatan listrik ribuan volt di gendang telinga.

Baik,  sekarang saatnya. Tak ada lagi yang perlu kutunggu. Tak ada apapun yang perlu kupikirkan. Darahku sudah menggelegak, serasa naik hingga  ke ubun-ubun.

Aku merasa seperti ditelanjangi, lalu dicelupkan ke dalam kubangan lumpur panas. Gelegak panas itu melahap habis tubuhku. Sakit … sakit hatiku saat mendengar desah nikmat istriku. Perempuan yang telah kuhalalkan tiga tahun lalu. Mend*s*h sebegitu li*rnya di kamarku. Bersama seorang pria yang telah menginjak-injak harga diriku.

Gemetar aku berusaha bangkit, lalu dengan masih sempoyongan aku berjalan perlahan menuju kamar. Kamar yang telah disulap istriku menjadi peraduan maksiat.

Kukumpulkan segenap kekuatan.  Agar tak pingsan saat menyaksikan tubuh perempuan jal*ng itu sedang dinikmati oleh pasangan durjan*nya. Aku kuat, aku kuat, sekali lagi aku menghipnotis diriku, aku kuat.

Dengan langkah tegap, kini aku telah berdiri di depan pintu kamar. Pintu yng terbuat dari triplek sederhana itu kutatap dengan kalap.  Hitungan detik, daun pintu kuterjang dengan sekuat tenaga.

Nanar tatapan kuedarkan. Pemandangan di dalam sana teramat menjijikkan. Ranjang suci kami telah berubah menjadi kubangan dosa  maksiat. Ini terlalu menyakitkan. Gelap, tiba-tiba pandanganku gelap. Dan semua terjadi di luar kendaliku.

*

“Ambulan! cepat telepon ambulan!”

“Kelamaan! Larikan saja dengan motor, cepat!”

“Mobil! Larikan dengan mobil siapa pun, boleh, cepat!”

“Iya, dar*hnya terlalu banyak keluar! Jangan sampai  nyawa mereka tak terselamatkan.”

“Amankan si Bara! Apapun yang terjadi kita harus membela dia! Dia hanya mempertahankan harga dirinya!”

“Iya, kita semua sebagai saksi, kalau Bara tak bersalah!”

Semua teriakan-teriakan itu terdengar samar di telingaku. Entah di mana aku ini, apa yang terjadi, kenapa ribut sekali? Ada apa ini?

“Oooowa … ooowaaaaa … oooowaaaaa …!”

Tangis bayi itu sontak mengembalikan kesadaranku.

“Bima!” panggilku spontan sambil membuka kedua mata. 

“Dia baik-baik saja! Kamu jangan khawatir!” Seorang wanita menggedong anakku. Istri Pak RT. Sebuah dot berisi susu formula dia berikan ke mulut Bima. Bayi malang itu menghentikan tangisnya.

“Kau baik-baik saja?” Seorang pria yang selalu peduli sudah berjongok di sebelahku. Bang Ramli, mandor di tempat kerjaku.  Keenam teman-teman sesama kuli bangunan pun sudah menglilingiku. Tatapan iba mereka kutangkap dengan jelas.

“Kau nekat, kenapa kau puk*li kepala mereka dengan martil itu?”   Bang Ramli berbisik di dekat telingaku.

Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba terdengar suara sirene. Semua warga saling bertatapan.

“Siapa yang lapor polisi?” teriak Bang Ramli emosi. Suara kasak kusuk ramai terdengar.

Enam anggota berseragam masuk. Memintaku berdiri dan mengikuti mereka masuk ke dalam mobil jemputan.  Seketika terdengar suara riuh warga. Mereka menolak polisi membawaku. Berbagai pembelaan mereka lontarkan.  Namun, usaha mereka sia-sia. Aku tetap dibawa.

“Titip anakku, sampai keluargaku  datang,”  pintaku kepada Bu RT.

“Jangan khawatir, kami akan menjaga dan merawatnya.” Bu RT meyakinkanku.

“Pastikan yang mengambilnya nanti adalah keluargaku, bukan keluarga istri terkut*k itu!” imbuhku. Hatiku sedikit lega.  Semoga Bima baik-baik saja. “Anakku, papa pergi dulu,” bisikku seraya mengecup keningnya.

**

“Laki-laki yang kau aniya itu masih sekarat. Tapi jangan khawatir, istrimu sudah selamat! Luka memar di kepalanya tidak terlalu parah. Kabarnya dia sudah boleh meninggalkan rumah sakit tadi pagi. ” Bang Ramli datang menjengukku  siang ini.

Aku tersenyum dingin.

“Harusnya aku menggunakan senj*t* taj*m! Sayang sekali aku tak menemukannya saat kejadian itu. Terlalu lama kurakasan untuk mencari benda itu di dapur. Sekarang, perempuan sund*l itu malah makin senang hidupnya. Dia pasti merasa begitu puas melihatku di penjara,” ucapku menahan geram dan kecewa.

“Tentu saja!”  Seseorang menyahut dari arah kanan.

Sontak  aku dan Bang Ramli menoleh ke sana. “Ninda?” gumam kami hampir bersamaan.

Perempuan itu melenggang, berjalan kian dekat ke arah kami. Seorang pria berpakaian rapi mengiring di belakangnya.

“Halo, Bang Bara! Kamu sehat? Bagaimana rasanya tidur di lantai hanya beralaskan selembar tikar tipis, ha? Dingin?” Ninda mengejekku. Tak hanya bibirnya, bahkan matanya, hidungnya, dagunya, semuanya  ikut menertawakanku.

“Puih!” semburan ludahku tepat mengani wajahnya.

Perempuan itu tersenyum sinis.  Meraih tisyu dari dalam tas sandangnya, lalu menyeka kering semburan ludahku di wajahnya.  Perempuan yang dulu  sangat cantik itu, kini tampak seperti penampakan nenek sihir di mataku. 

“Ini pengacaraku, sekaligus pengacara Mas Reno.” Bibir perempuan itu menyebut nama kekasihnya. Kini aku tahu, nama laki-laki itu adalah Reno. Seorang pria asing yang belum kutahu asal usulnya. Bagaimana bisa tiba-tiba dia ada di hati istriku? Kenapa aku kecolongan?

“Maaf, Bang! Sejujurnya aku kasihan padamu! Gak tega ngeliat kau mendekam di penjara seperti ini. Tapi, gimana, kau telah mencoba meleny*pkan nyawaku, bukan? Juga nyawa Mas Reno. Jadi, rasa ibaku menguap! Kami akan menuntutmu dengan hukuman semaksimal mungkin! Tapi sebelum itu, aku ke sini untuk meminta talak darimu! Tolong talak aku sekarang!”

Ninda berucap dengan begitu tenangnya.

Tuhan, kenapa perempuan ini tidak mat* saja?

*****

Bersambung

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Kecek Kito
manttttttttttttttttttttttttttttttaaappp
goodnovel comment avatar
Agus Irawan
hai kak Mampir juga ke Novelku. judul" Kembang Desa Sang Miliarder" pena" Agus Irawan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status