enjoy reading ... :-)
[Pesan dari Pak Akhtara : Sayang, saya nggak bisa ajak kamu makan siang. Saya ada rapat sama direksi. Mendadak banget. Kamu nggak masalah kan makan siang sama teman-temanmu?] Aku langsung lega sejadi-jadinya usai membaca pesan dari Pak Akhtara. Ini yang kuharapkan! Kalau bisa setiap hai lebih baik Pak Akhtara sibuk melulu saja. "Selamat." Gumamku dengan tangan kiri mengusap dada dan menghela nafas panjang.. "Mau dia makan siang sama direksi, mau rapat, atau apalah. Gue nggak peduli. Malah kalau bisa rapat aja tiap hari biar nggak ganggu gue keluar sama Mas Hadza." Tanpa membalas pesannya, aku segera melangkah keluar kantor dengan sedikit tergesa-gesa hingga ketukan sepatuku berhak tiga sentimeter beradu dengan lantai dan paving halaman kantor. Lalu aku menuju ke barat kantor dengan mata melirik kesana kemari barangkali ada rekan sesama kantor ada yang berada di sekitar sini. Hingga aku mencapai minimarket dan tatapan mataku langsung tertuju ke arah Mas Hadza yang sedang duduk
"Vit, lo tadi makan siang dimana?" Tanyaku begitu tiba di kubikel. Kebetulan Vita juga baru datang ke kubikelnya. "Di luar nyari mie ayam, Han." Aku langsung menghela nafas lega sejadi-jadinya. Syukurlah, setidaknya Vita tidak berkeliaran di sekitar kantor ini. Setidaknya Pak Akhtara tidak melihat keberadaannya dan percaya sedang makan siang bersamaku. "Kenapa, Han?" "Nggak apa-apa kok." Kemudian aku mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menghadap komputer sembari membuka dokumen. Tiba-tiba saja Vita berucap ... "Apa ini?" Aku menoleh ke arah Vita dan betapa terkejutnya melihat obat pencegah kehamilan milikku jatuh di lantai! Kedua mataku membelalak ketika tangan Vita meraih obat itu. Lalu dengan cekatan aku meraih obat itu lebih dulu dan memasukkannya ke dalam tas. "Obat apa, Han? Kok kayak ada tulisan pencegah-pencegah gitu?" "Eh ... iya, Vit. Pencegah darah rendah." "Darah rendah? Kok kapsulnya seupil ya? Biasanya kan kapsul darah rendah itu gede dan warnanya mer
"Pak Akhtara!" Aku segera mendorong dadanya sekuat tenaga hingga tangannya terlepas dari rahangku. Bahkan kedua kakinya mundur selangkah. Dengan nafas sama-sama terengah-engah karena ulah Pak Akhtara, aku langsung bergerak menuju pintu tapi beliau dengan cepat menarik lenganku lalu merengkuhku dalam pelukannya. Erat sekali hingga kami sedekat ini dengan kedua tanganku dikunci Pak Akhtara ke belakang badan. "Lepas, Pak!" Pekikku. "Ada orang tua saya, Jihan! Jangan teriak-teriak!" ucapnya tajam dengan suara rendah. Aku melupakan itu lalu membuang muka. "Kamu kemana setelah dari ruangan saya tadi heh?!" Tatapan mataku tertuju ke arah lain dari pada menatap Pak Akhtara. Karena aku marah padanya! "Jihan, saya tanya!" Kedua tanganku masih dikunci di belakang badan dan aku memilih tidak memberontak minta dilepaskan. Percuma meminta beliau melepaskanku. Karena aku pasti tidak akan dilepaskan dengan mudah! Tapi aku tidak mau menjawab pertanyaannya. Aku kesal! "Jihan, saya hitung
"Hati-hati, Ma, Pa." "Jaga istrimu baik-baik, Tara! Jangan gila kerja! Buruan bikin anak!" Aku yang berdiri di sebelah Pak Akhtara hanya tersenyum canggung mendengar pesan beliau sebelum mobilnya keluar dari pelataran rumah Pak Akhtara. "Kamu dengar kan, sayang, Mama pengen kita segera punya anak." Kepalaku mengangguk seadanya lalu beliau menutup pintu rumah. Afifah, sudah kembali ke rumahnya dan akan kembali esok pagi untuk menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah. Bagaimanapun, besok aku harus segera menemui petugas kesehatan agar segera mendapat suntikan pencegah kehamilan yang bertahan hingga tiga bulan lamanya. "Pak, besok jadi ketemu temannya Bapak yang punya bisnis itu kan?" Lalu beliau mendekatkan tubuhku ke tubuhnya kemudian jemarinya membelai lembut pipiku. "Apapun untukmu, sayang. Asal jangan ngambek lalu main pergi dari rumah. Saya nggak mau kejadian salah paham kayak gini terulang lagi." Ah .... leganya aku mendapat kepastian akan bertemu teman Pak Akhtara yan
"Ya, Pak?" "Bisa ke ruangan saya bentar, Han?" Itu suara Pak Akhtara dari sambungan telfon. Dari nada bicaranya saja aku sudah merasakan ada hal yang tidak beres. Pasti ini mengenai Mas Hadza yang tadi main tarik tanganku seenaknya saja. "Ya, Pak. Saya ... ke ruangan Bapak." Astaga ... masalah ini, mengapa datangnya silih berganti?! Hidupku seperti tidak ada tenangnya sama sekali. Belum selesai satu perkara sudah timbul masalah yang lain dan timbul lagi yang lain. Dan kecepatan tumbuhnya masalah itu seperti spora jamur di musim penghujan! Usai meletakkan tasku di kubikel, lalu aku melangkah ke ruangan Pak Akhtara dengan jantung tidak karuan berisiknya. Tapi bagaimanapun aku harus tenang! "Masuk!" Kemudian aku menutup pintu ruang kerja Pak Akhtara. Lalu ekor mataku melirik ke arah kursi sekretarisnya. Kosong! Pantas saja berani menyuruhku kemari padahal masih pagi. "Duduk, Han." Aku menurut lalu duduk di hadapannya. Meja kerjanya menjadi penghalang kami. "Saya lang
"Halo, Pak?" "Kamu dari mana?! Ditelfon nggak diangkat dari tadi! Ini yang bikin saya emosi, Han! Kamu kayak punya urusan rahasia dan nggak mau berbagi sama saya! Padahal saya suami kamu!" Nah kan?! Benar beliau marah. Ternyata serumit ini memiliki pasangan yang terlalu posesif dan protektif. "Saya baru beli pembalut, Pak. Saya ... datang bulan." Tidak ada jawaban darinya. "Itulah kenapa saya nggak ngajak Bapak. Saya pikir urusan pembalut itu hal yang sensitif. Masak gitu aja Bapak marah-marah sama saya?" Terdengar beliau menghela nafas lalu berkata ... "Ya sudah. Saya minta maaf." "Nanti malam jadi kan, Pak?" "Iya." Dari pada memperpanjang amarah Pak Akhtara lebih baik fokus pada bisnisku saja. Itu lebih menjanjikan dari pada sekedar meladeni amarahnya yang tidak kusukai. Siang itu hingga menjelang sore, aku bekerja seperti biasanya. Bertukar pesan dengan Mas Hadza untuk melupakan emosi Pak Akhtara. Sekaligus mempererat hubunganku dengannya yang tadi juga sempat mere
Baru kali ini aku begitu nakal, menggelora, dan banyak hal yang tidak bisa kujelaskan saat menjalankan tugas sebagai seorang istri. Ritmenya bisa membuatku mengimbangi permainan ini hingga terasa sangat seimbang antara aku dan Pak Akhtara. Mungkin karena aku melakukannya dengan ketulusan. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang terasa .... sedikit menyakitkan. Bahkan Pak Akhtara begitu bersemangat memimpin jalannya penyatuan ini hingga kamar ber-AC ini tidak mempan membendung rembesan keringat yang muncul dari permukaan kulitnya yang berwarna sawo matang. "Sayang ..... " Lenguhan panjang itu menjadi penanda jika kenikmatan yang diharapkan sudah mencapai puncaknya. Sedang aku entah sudah berapa kali dibawa Pak Akhtara terbang sampai memohon padanya untuk segera menyudahi permainan ini. Karena aku terlalu lelah mengimbanginya. Beliau tidak segera menyingkir dari atasku karena masih menetralkan deru nafasnya lalu menatapku dengan sorot lemas. "Istriku luar biasa." *** Pagi
Beberapa hari ini aku, Pak Akhtara, dan asisten pribadi Qhiyas bekerja bersama-sama hingga malam menjelang untuk mempersiapkan grand opening stand kulinerku. Enaknya berbisnis franchise, semua sudah disiapkan oleh ownernya. Bahkan seragam karyawan pun telah disiapkan dari sana beserta sumber tenaga manusianya. Aku dan Pak Akhtara benar-benar hanya melakukan finishing saja. Ada tiga pekerja yang bertugas di stand kulinerku. Dua lelaki dan satu perempuan yang sudah dilatih oleh anak buah Qhiyas. Bukan aku yang memberi arahan kerja pada mereka, melainkan Pak Akhtara dan asisten Qhiyas. Serta bagaimana menggunakan mesir kasir, menyalakan kompor listrik, mengolah bahan setengah jadi menjadi makanan siap saji, memperhatikan penyajian, kebersihan stand, dan sebagainya. Aku benar-benar tidak mengerti cara memulai bisnis andai tidak ada Pak Akhtara yang menjadi backingku. "Bahan setengah jadinya dalam perjalanan kemari, Pak Akhtara. Jadi kita bisa santai dulu," ucap asisten Qhiyas yang