Share

Bab 4 - Menantu Idaman

Marcello masih kesulitan untuk menyingkirkan Winona dari pikirannya terlebih sejak pertemuan tidak sengaja beberapa saat yang lalu. Meskipun tangan dan pandangannya fokus pada setir dan jalan raya di hadapannya, pikirannya melanglang buana entah ke mana. Ia masih terus mengulang suaranya, senyumnya, bahkan wanginya. Perempuan tersebut sepertinya sudah mengirimkan mantra kepada sang pemuda sebelum ia menyadarinya.

“Ngomong-ngomong, kamu udah dapet personal assistant, Cel?” tanya Karin setelah keduanya hanya diam dan membiarkan suara penyiar radio mengisi keheningan di antara mereka. Sebelum menjawab pertanyaan sang bunda, Marcello mengecilkan volume radio terlebih dahulu.

“Tiga hari lalu aku ada minta tolong ke Mbak Dian untuk carikan dan katanya udah ketemu,” jawab Marcello. “Tinggal wawancara sama aku aja sebelum tanda tangan kontrak.”

“Bagus, deh,” sahut Karin. “Mami juga lebih tenang kalau kamu ada yang bantu. Mami masih nggak bisa ngebayangin gimana caranya kamu bisa manage jadwal, nyiapin bahan meeting, dan ngobrol sama klien di saat bangun pagi aja masih sering remedial.”

Marcello hanya menampilkan cengiran lebarnya. Selama puluhan tahun menjalani kehidupan di bumi, ia memang selalu dilimpahi kasih sayang dan uang sehingga pribadi manja terbentuk secara otomatis dalam dirinya. Perlu waktu lama untuk menanggalkan hal tersebut sehingga wajar saja jika ia masih gagal di sana sini. Beradaptasi dengan lingkungan yang tidak lagi menjadikannya pusat semesta saja sudah cukup sulit, apalagi menghadapi kesulitan itu sendiri? 

Personal assistant kamu kualifikasinya bagus?” tanya Karin lagi. “Kalau yang dari Mbak Dian agak kurang tepercaya, biar Mami aja yang urus. Kenalan Mami banyak yang bisa bantu.” Karin memang selalu seperti itu. Meskipun ia marah-marah dengan kelakuan manja anak laki-lakinya, nyatanya ia sendiri yang gemar memperlakukan sang pemuda layaknya anak kecil yang senantiasa membutuhkan pertolongan. 

“Aman, Mi. Kalau aku dibantu Mami terus, kapan mandirinya coba? Lagian Mbak Dian juga nggak mungkinlah ngelolosin kandidat abal-abal,” sambung Marcello. “Aku juga udah liat CV dan pengalamannya. Dia udah pernah jadi personal assistant selama enam tahun dan lulusan PTN top five juga kok.”

“Ya pokoknya kamu bilang aja kalau ada perlu sesuatu. Mami bantu sebisa Mami,” tutur Karin sambil tetap memainkan ponselnya. Rasanya, sampai kapan pun ia dan kakaknya yang jauh di sana akan selalu menjadi anak kecil di mata sang ibunda. Marcello bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana keharuan sang ibu ketika kakak perempuannya menikah dua bulan lagi. Ia yakin, perempuan yang melahirkannya pasti tidak akan sanggup membendung air mata.

“Aku perlu bantuan Mami, sih, terkait Winona,” celetuk Marcello tiba-tiba. 

Mendengar nama si perempuan, Karin langsung menunjukkan raut wajah antusias. Ia bahkan segera mengunci ponselnya dan menaruhnya kembali ke dalam tas supaya bisa berfokus pada permintaan anaknya.

“Kamu butuh bantuan apa? Cepet bilang sama Mami.”

“Semangat banget, sih, Mi,” kata Marcello sambil tertawa. “Pengen tahu dulu, sih, sejak kapan Mami bisa akrab begitu sama Winona dan menurut Mami, selama berinteraksi sama dia, Winona orangnya gimana?”

“Perusahaan tempat Winona kerja mau ngadain acara amal dan mereka butuh jasa catering. Biasanya yang ngurusin, kan, asisten Mami. Tapi berhubung yang turun tangan CMO perusahaannya langsung, nggak enak, dong, kalau bukan Mami yang urus. Akhirnya, Mami minta Ella untuk handover project itu ke Mami. Turns out Winona sama Mami nyambung setelah beberapa kali ketemu,” jawab Karin senang.

“Menurut Mami, sih, ya, Winona itu anaknya nggak aneh-aneh. Dia selalu fokus sama pekerjaannya dan selalu ramah sama semua orang. Bahkan, waktu itu Mami pernah liat dia sengaja beli banyak banget dagangan pedagang kaki lima buat dibagi-bagiin ke anak jalanan yang sering seliweran di sekitar sini. Gara-gara dia juga, Mami jadi seneng ngasih makan gratis ke anak-anak itu tiap hari Jumat.”

“Selain itu, wawasan dia juga luas banget. Mami ajak ngobrol tentang apa aja pasti dia paham. Mami ajak ngobrol soal lukisan oke, soal musik ngerti, soal fashion paham, soal bisnis apalagi. Mami malah sering dapet tips marketing dari Winona. Walaupun pinter begitu, tapi dia rendah hati banget, lho, Cel. Ngomongnya juga selalu lembut sama siapa pun, nggak pernah ada standar ganda. Mami juga sering dengar dari kolega Mami soal dia dan ternyata sama, anaknya memang sebaik itu.”

“Yang nyaris sempurna kayak gitu mau nerima aku apa adanya nggak, ya, Mi?” tanya Marcello bercanda yang disambut gelak tawa sang ibunda.

“Kalau kamu bisa memantaskan diri mah pasti mau, kok, Winona-nya. Toh, mukamu ganteng, duitmu ada, pendidikan oke, karir juga terjamin. Tinggal personality-nya aja tuh yang dirombak abis,” ucap Karin. “Winona itu udah punya segalanya. Dia nggak akan menikahi laki-laki yang dia perlu, tapi yang dia mau. Kalau kamu memang serius sama dia, coba aja pendekatan dulu.”

Masalahnya bukan nggak mau nyoba pendekatan, Mi. Dia yang selalu ramah sama semua orang aja giliran ngeliat aku sinis begitu tadi. Gimana kalau dia tahu aku ada intensi khusus? ucap Marcello dalam hati.

“Sepenglihatan Mami, nih, ya,” kata Marcello lagi, “dia udah punya pacar belum, sih? Media sosialnya isinya cuma seputar kerjaan sama aktivitas sehari-harinya aja, nggak pernah ada cowok. But who knows, right?”

Karin tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Menurut Mami, sih, enggak ya. Selama ketemu Mami, dia selalu bawa mobil sendiri. Dia juga gak pernah keceplosan ngomongin soal laki-laki atau ketahuan senyum-senyum sendiri waktu main ponsel. Mau Mami tanyain langsung?”

“Ya, boleh aja, sih. Tapi jangan bilang kalau aku yang nanya gitu. Bilangnya Mami penasaran aja,” kata Marcello berusaha menahan malu. Ia tidak menyangka bahwa suatu saat ibunya bisa diajak bekerja sama seperti ini.

“Tenang. Kamu mau kontaknya sekalian nggak nih?” tanya Karin sekali lagi.

“Enggak, deh, Mi. Aku mau coba minta sendiri dulu biar lebih gentle,” kata Marcello. 

Meskipun kekurangannya masih banyak, setidaknya ia sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan waktu SMA dulu. Ia tidak lagi meminta kontak perempuan secara sembarangan atau tiba-tiba menghampiri perempuan yang sedang duduk sendiri di bar. Perlahan tapi pasti, ia mulai menghentikan kebiasaan buruknya sebagai playboy sejak melihat air mata dan kekecewaan Winona sembilan tahun lalu.

“Anak Mami udah besar, ya,” komentar Karin sambil mengusap lembut rambut sang putra. “Good luck, Cel. Semoga Mami beneran bisa punya menantu idaman kayak Winona.”

“Amin.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status