Share

4 Ekstrim

Dira dan Disa menunggui papa mereka di rumah sakit. Ruang VVIP itu dijaga ketat oleh lima orang anak buah Adrian. Dira dan Disa selalu mendapatkan laporan rutin dari Alvin, dan besok Dira, Disa dan Adrian akan keluar kota, ke tempat tanah sengketa yang dibeli oleh perusahaan papa mereka.

Dira dan Disa terlihat sangat sedih saat memandangi wajah papa mereka yang pucat. Pria beruban namun masih terlihat gagah tersebut masih belum sadarkan diri hingga saat ini. Adrian memandangi wajah pria tua yang terbaring lemah tersebut. Saya berjanji akan melindungi kedua putri Anda, Tuan. Dira dan Disa belum pernah terlihat sesedih ini. Mereka berdua dibesarkan oleh ayah mereka tanpa kasih sayang seorang ibu, yang lebih dulu pergi meninggalkan mereka karena penyakit gagal ginjal.

Saat itu Dira masih berumur tujuh tahun, sedangkan Disa berumur empat tahun. Karena keterbatasan ekonomi, papa mereka tidak dapat memberikan pengobatan terbaik. Saat itu papa mereka hanya buruh harian di proyek perumahan. Setelah ibu mereka meninggal, mereka pergi ke kota. Lalu dia berkenalan dengan mandor yang mengawasi proyek perhotelan dan mal yang saat itu membutuhkan buruh tambahan. Dari situlah tuan Alex mulai belajar tentang banyak hal mengenai konstruksi bangunan juga bidang marketing.

Tuan Alex tidak pernah menikah lagi sejak kepergian istri tercintanya. Pernah mengalami masa-masa sulit dan terpuruk, membuat tuan Alex menjadi orang yang selalu berbuat baik pada orang-orang. Dia sering membantu orang, memberikan bonus lebih kepada semua pekerjanya, memberikan beasiswa kepada anak-anak dari karyawannya yang berprestasi.

Itulah salah satu hal yang menyebabkan dia sangat dihormati oleh semua bawahannya dan perusahaannya semakin berkembang pesat. Alvin adalah salah satu bukti dari bentuk kesetiaan itu. Alvin sudah dibiayai oleh tuan Alex sejak kelas satu SMA hingga lulus kuliah. Begitu juga dengan adik-adiknya yang berjumlah tiga orang. Adiknya yang pertama saat ini kuliah semester empat, yang satu lagi kelas dua SMA lalu yang terakhir kelas tiga SMP.

Alvin telah berjanji dalam hatinya akan terus setia kepada tuan Alex dan keluarganya. Dia akan menjaga Dira dan Disa, bukan hanya karena mereka adalah anak dari tuan Alex, tapi juga karena mereka bertiga adalah sahabat.

Hari ini Adrian, Dira dan Disa menuju lokasi tanah sengketa itu. Letaknya ada di luar kota dan memang masih sangat sepi. Belum sampai tujuan, mobil mereka tiba-tiba saja ditabrak dengan sangat kencang dan membentur pohon besar yang ada di hadapan mereka. Mereka langsung turun dari mobil. Sudah dapat dipastikan kalau kecelakaan ini adalah kesengajaan. Perkelahian tidak dapat dihindari lagi. Mereka bertempur dengan mati-matian. Sekejam inikah bisnis? Mungkin itulah yang ada dalam pikiran Dira dan Disa.

Adrian sendiri melawan dua orang yang badanya sangat besar, tapi dia juga berusaha melindungi Dira dan Disa. Memang itulah pekerjaannya. Melindungi mereka berdua, bukan melindungi diri sendiri. Tuan Alex sudah berjasa besar padanya dan yang mengetahui siapa dia yang sebenarnya. Tapi, apakah tuan Alex benar-benar mengetahui siapa Adrian yang sebenarnya? Adrian mengeluarkan seluruh kemampuannya. Bibirnya sobek, namun dia tidak peduli sama sekali. Yang dia pedulikan adalah kedua gadis cantik itu selamat. Harus!

Jika seperti ini terus, bisa saja mereka akan kehabisan tenaga dan akhirnya kalah. Itu tidak dapat dibiarkan.

“Lari!” perintah Adrian pada Dira dan Disa.

Mereka bertiga berlari dan memasuki area hutan. Pohon bambu, jati dan entah pohon apalagi yang tidak mereka ketahui menghalangi langkah mereka untuk berlari lebih cepat. Tapi ada untungnya juga, para pengejar itu juga merasakan gangguan yang sama. Terdengar suara air di kejauhan. Semakin lama semakin terdengar deras. Dira tiba-tiba saja menghentikan langkahnya.

“Tidak ada jalan lain.” Mereka melihat ke bawah. Sungai yang mengalir deras.

“Terjun!” perintah Adrian lagi.

Apa dia sudah gila? Pikir Disa.

“Terjun sekarang atau bertempur dengan mereka.”

Tanpa pikir panjang ternyata Dira lebih memilih terjun. Oke, Disa tahu ini bukanlah saat yang tepat untuk berdiskusi apalagi melakukan voting. Tapi, haruskah seperti ini? Adrian sepertinya tahu kecemasan Disa. Dia langsung memeluk erat tubuh gadis galak itu.

“Tahan nafas dan rileks.”

“AARGHH ....”

“ARGGHH ...!”

Bagaimana mungkin dia disuruh menahan nafas di saat dia juga harus berteriak dan kaget.

BYURRR ....

Hantaman yang sangat keras. Walaupun bukan jatuh ke lantai, tapi jatuh ke kedalaman air dari tempat yang setinggi itu tentu saja membuat badan mereka kesakitan. Apalagi untuk Disa yang tidak siap dan harus terjun tanpa suka rela. Disa memeluk tubuh Adrian erat-erat.

“Kalian baik-baik saja?” suara Dira terdengar gemetar.

“Mereka tidak ada yang ikut terjun, kan?”

Tidak ada yang menjawab kedua pertanyaan Dira tersebut. Disa masih sibuk mengumpulkan nyawa yang sepertinya masih melayang-layang. Mungkin belum ikut terjun juga.

Adrian menggendong Disa ala bridal style, syukur deh, daripada digendong ala karung beras.

“Dis, Disa?” Dira menepuk-nepuk pipi Disa. Suara mereka semakin jauh, dan pandangan Disa semakin buram.

Entah berapa lama Disa tertidur. Eh, bukan tidur, tapi pingsan. Yang jelas saat dia membuka mata, hari sudah gelap.

“Syukurlah, kamu sadar juga.” Raut wajah Dira terlihat sangat cemas, begitu juga dengan Adrian.

“Kita masih ada di dalam hutan. Besok saat mulai terang kita akan cari jalan keluar.”

“Bagaimana dengan papa?”

“Jangan khawatir, ada banyak orang yang menjaganya dua puluh empat jam setiap hari di berbagai sudut rumah sakit.”

Dira dan Disa sedikit merasa lega, tapi tetap saja mereka cemas sebelum melihat sendiri papa mereka. Disa dan Adrian duduk bersisian. Mata mereka saling menatap, mereka dapat merasakan hembusan nafas masing-masing.

“Akkhhh!"

“Woiii, apaan sih teriak-teriak begitu? Sakit nih kuping.”

“CUT!” sutradara memanyunkan bibirnya, dih sok imut banget deh. Enggak cocok tau.

“Kenapa sih, Daf?”

“Ini Bang, tangan aku digigit semut rangrang. Sakit banget tauuu. Lihat nih merah dan bentol gede bangat.”

“Ya sudah obatin dulu sana, sekalian kita juga istirahat dulu.” Dafa segera memanggil Nani— asisten pribadi Dafa untuk mengobati tangannya. Tidak lupa juga Dafa meminta untuk dipijitin.

Pegel bangat deh nih badan. Remuk rasanya.

“Nan, ambil cemilan sama buah.” Nani segera membawakan donat dan beberapa buah. Dafa memakan satu donat, beberapa butir anggur dan dua buah jeruk. Mila menghampiri Dafa yang sedang beristirahat di atas bangku lipat.

“Lapar?”

“Enggak. Tapi aku butuh tenaga.”

“Sebentar lagi syuting film ini selesai. Setelah itu kita akan disibukkan dengan promo di berbagai kota dan beberapa negara.” Dafa dan Mila melanjutkan obrolan.

“Sebelum promo aku mau melakukan perawatan.”

“Pasti dong. Ayo kita perawatan sama-sama.”

“Hayo aja.”

Kedua artis itu menikmati makan mereka bersama. Banyak adegan ekstrim di film ini, dsn mereka yakin film ini akan booming.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status