Share

Awal Dari Perjalanan

Hari ini Danuranda memilih menggantikan bu Tais berjualan kayu bakar di pasar, karena hari ini bu Tais sedang sakit. Danuranda tidak menolak menggantikan pekerjaan bu Tais, bahkan Danuranda merasa gembira saat di pasar.

Saat sedang melayani seorang pelanggan, Danuranda tidak sengaja mendengar tentang sosok petapa sakti yang bernama Ki Amar Sakti.

Dari berita para pelanggan, petapa sakti tinggal di suatu tempat yang sangat jarang di tinggali oleh orang banyak, setelah mundur dari urusan jagad dunia persilatan.

Tidak ada yang mengetahui pasti dimana keberadaan petapa itu. Namun ada yang menyebutkan di hutan larangan, ada juga yang menyebutkan di gunung larangan, bahkan di gua larangan.

Danuranda yang mendengar hali itu merasa sangat senang. Jalan apapun akan ia tempuh untuk membalaskan dendam kedua orang tua.

Danuranda berjanji setelah menyelesaikan urusannya dengan Ki Sangeti, ia akan kembali lagi ke desa ini untuk menghabiskan sisa hidupnya untuk merawat bu Tais, orang tua angkatnya.

Danuranda ingin secepat mungkin ingin pulang dan memberitahu bu Tais tentang dirinya yang ingin mengembara mencari petapa sakti itu.

Ketika hari sudah mulai gelap, barulah Danuranda selesai berjualan. Ia langsung bergegas cepat kembali ke rumah.

***

"Kau benar-benar yakin ingin mencari petapa itu nur?" bu Tais kembali meyakinkan ucapan Danuranda yang ingin mencari keberadaan petapa sakti itu.

"Aku benar-benar yakin bu, setelah semua urusanku selesai, aku akan kembali ke desa ini lagi dan membantu mencari kayu bakar lagi," kata Danuranda.

"Yasudah jika itu sudah menjadi keputusanmu, aku hanya berpesan jaga selalu kesehatanmu," bu Tais memeluk erat Danuranda yang sudah seperti anak kandungnya sendiri.

"Aku akan segera Kembali secepat mungkin bu," Danuranda membalas pelukan bu Tais. Berat rasanya untuk meninggalkan bu Tais seorang diri bagi Danuranda. Namun ia tidak memiliki pilihan lain, karena ini adalah kesempatan terbaik untuknya dapat membalaskan dendam kedua orang tuanya.

Keesokan harinya.

Danuranda pagi-pagi sekali langsung berjalan memasuki hutan, ia mengumpulkan kayu bakar dalam jumlah yang banyak. Jika biasanya ia baru kembali saat sore hari, tapi sekarang ia langsung kembali membawa kayu bakar yang begitu banyak.

Setelah itu Danuranda kembali ke hutan untuk mencari kayu bakar lagi. Danuranda bertekad untuk mengumpulkan kayu bakar dalam jumlah yang sangat banyak, agar nanti bu Tais tidak usah repot-repot atau tergesa-gesa mencari kayu bakar, hanya untuk membeli makanan.

Setelah semuanya di rasa cukup, Danuranda mulai mempersiapkan bekal yang akan ia bawa dalam pengembaraan mencari Ki Amar Jati sang petapa sakti.

"Aku pamit bu," ucap Danuranda yang mulai melangkah meninggalkan rumah, sesekali ia melihat kebelakang. Hatinya masih terasa berat untuk meninggalkan bu Tais seorang diri.

Baru beberapa langkah saja, Danuranda sudah kembali ke rumah bu Tais, hatinya benar-benar berat untuk meninggalkan bu Tais seorang diri.

"Danur, ibu akan baik-baik saja di sini. Kau tidak usah khawatir," ucap bu Tais sambil mengelus kepala Danuranda yang sekarang tertunduk lesu di hadapannya.

"Aku akan menyelesaikan urusanku ini dengan cepat, dan segera kembali ke desa. Aku janji bu, jaga diri baik-baik bu," Danuranda kembali berjalan meninggalkan rumah. Kali ini ia tidak akan menoleh ke belakang lagi, karena jika menoleh ke belakang ia pasti akan kembali lagi.

Udara pagi yang sejuk dan sinar mentari yang masih belum terasa panas mengiringi kepergian Danuranda untuk mencari sang petaka sakti.

Perjalanan/pengembaraan Danurandan hanya di bekali dengan beberapa helai baju dan beberapa keping perunggu saja.

"Semoga aku cepat menemukan petapa sakti dan membalaskan kematian bopo dan biung," guman Danuranda sepanjang perjalanannya.

Ia benar-benar harus menjadi kuat, agar dapat mengalahkan Ki Sangeti yang menguasai jurus RawaRontek.

Danuranda menyadari akan sangat sulit untuk membunuh pengguna jurus RawaRontek, maka dari itu Danuranda bertekad untuk mencari jurus tandingannya atau mungkin lebih kuat dari jurus Rawa Rontek.

Tidak terasa Danurnada sudah berjalan hampir seharian ini. Ia tidak pernah beristirahat barang sedikitpun.

Namun ketika hari sudah mulai gelap, Danuranda terpaksa harus beristirahat, karena akan sangat berbahaya menempuh perjalanan di malam hari tanpa penerangan yang memadai.

Danuranda mengambil posisi tidur di atas cabang pohon paling tinggi. Karena tidur di bawah akan sangat berbahaya, jika sewaktu-waktu ada hewan buas yang menyerang saat dirinya sedang tertidur pulas.

Sebelum tidur Danuranda memandang langit yang penuh dengan bintang-bintang.

"Hari ini awal dari perjalananku untuk menuntut balas atas kematian kalian bopo, biung," guman Danuranda. Danuranda benar-benar hidup dengan dendam yang membara. Ia tidak akan bisa hidup tenang jika belum menghabisi Ki Sangeti.

"Pria tua itu harus membayar perbuatannya yang telah menghancurkan padepokan Tirta Kencana. Nyawa di balas nyawa dan darah akan ku balas dengan darah," sambung Danuranda sebelum terlelap dalan mimpi indahnya.

***

Sinar mentari pagi membangunkan Danuranda yang tertidur dengan pulas di atas cabang pohon. 

Kruk! Kruk!!

"Aku benar-benar lapar," kata Danuranda sambil memegangi perutnya.

Dari atas pohon paling tinggi di hutan itu, Danuranda dapat melihat dengan jelas seisi hutan yang tidak jauh darinya. Ia mencoba mencari hewan yang bisa ia konsumsi. Tidak jauh dari tempat dirinya berdiri, ia melihat beberapa ekor ayam hutan yang sedang mencari makan.

Tanpa berpikir panjang lagi Danuranda langsung melesat menangkap ayam hutan itu. Danuranda merasa sangat kesulitan manangkap ayam hutan itu, karena begitu liar dan gerakan ayam hutan itu juga begitu gesit.

Membutuhkan waktu yang cukup lama, sebelum dirinya berhasil menangkap seekor ayam hutan itu.

"Fiuhh, ini benar-benar sangat melelahkan," Danuranda mengelap keringatnya sambil mulai membuat api unggun untuk membakar ayam itu.

Setelah selesai menyantap ayam bakar, Danuranda kembali melanjutkan perjalanan mencari Ki Amar Sakti sang petapa sakti.

Setelah berjalan cukup lama, Danuranda tiba di sebuah desa kecil. Danuranda melihat jika desa ini lebih kecil dari desa tempat bu Tais tinggal. Penduduk desa ini mayoritas berkerja sebagai petani.

"Maaf pak, saya mau numpang tanya arah hutan kematian ke arah mana ya?" tanya Danuranda kepada seorang pria paruh baya.

"Apa yang ingin kau lakukan di sana nak, hutan itu sangat berbahaya," jawab pria paruh baya itu sambil mengingatkan Danuranda.

"Aku ada urusan dikit di sana pak," ucap Danuranda.

"Urungkan niatmu nak, hutan itu sangat mengerikan. Tempat itu gelap dan di huni begitu banyak hewan buas, belum lagi menurut cerita orang-orang yang selamat setelah masuk hutan kematian, hutan itu di penuhi dengan mahkluk tak kasat mata," pria itu terus memperingatkan Danuranda untuk tidak memasuki hutan kematian, karena terlalu berbahaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status