Share

DUKUN 99
DUKUN 99
Author: Uwa Mia

Bab 1 Santet Kematian

"Sudah enam dukun kudatangi, tapi sama saja ...."

 Wanita berambut pirang menghela napas kasar. Nampak seakan putus asa.

"Sampai saat ini dia masih sehat. Paling sakit sebentar setelah itu sembuh lagi," keluhnya kemudian.

Di hadapannya, lelaki tua berpakaian serba hitam mendengar dengan saksama. 

Keduanya duduk bersila di atas tikar. Sementara kemenyan masih tercium dari dulang aluminium yang baranya hampir padam.

"Apa yang kau inginkan darinya?" tanya si lelaki, mengelus janggut panjangnya. Ia menambah dua potong kemenyan ke atas dulang dan asap kembali menebal.

"Kematian!" tegas wanita yang diketahui bernama Lastri.

Sejenak menerawang, pria itu berujar datar, "Baiklah, sesuai keinginanmu." 

Mulut si pria tua mulai misuh-misuh, merapal mantra. Ia juga menebas asap kemenyan menggunakan kedua belah tangan. Mengerah tenaga dalam dari tubuhnya yang ringkih.

Lastri membatuk oleh asap yang mengepul ke arahnya. Ia menunduk, berusaha mengikat rambut yang tergerai. 

Saat mengangkat wajah, pandangan kami bertemu. Lastri setengah terkejut, mendapatiku mengintip dari balik tirai.

"Bone, sini kauu!" panggil si lelaki tua yang adalah Bapakku. "Cepat kau bantu Non Lastri!"

Kusingkap tirai pintu lalu melangkah ke ruang tamu, tempat biasa Bapak melayani pasien kami.

Lastri menghujaniku dengan tatapan jijik. Mulutnya menahan mual kala menyaksi kaki dekilku yang penuh luka. Tanpa alas kaki. 

Aku duduk di tikar yang sama tapi menjaga jarak cukup jauh dari Lastri. Baru melihat kakiku dia sudah geli, apalagi nanti saat aku berganti wujud.

"Mana foto dan alamat musuhmu itu?" Bapak meminta.

Lastri segera membuka tas, mengambil dompet lalu mengeluarkan selembar foto yang di belakangnya dituliskan sebuah alamat. 

Menyerahkan foto pada Bapak, ia lantas mengeluarkan segepok uang berjumlah lima puluh juta. 

"Untuk apa?" Bapak bereaksi.

"Ini sebagai deposit, jika dia beneran mati akan kutambah lima puluh juta lagi."

"Tahan dulu. Jangan samakan saya dengan dukun lain. Saya hanya dibayar ketika  pekerjaan beres!" 

"Jadi aku harus apa sekarang?" tanya Lastri usai mengembalikan uang ke dalam tas.

"Cukup menunggu beberapa jam di sini. Saya akan mengirim santet melalui Bone," jelas Ayah.

Tatapan Lastri berpindah padaku. Dahinya mengerut, kelihatan sekali kalau dia khawatir. 

"Bone ini siapa?" Ia bertanya. "Mohon jangan bertamu ke rumah wanita itu, nanti dicurigai. Aku takut ketahuan menyantet," imbuhnya kemudian.

"Bone ini anak saya," jawab Bapak sembari tertawa. "Kemampuan kami tak perlu diragukan karena Bone akan berangkat dengan badan lain."

Lastri mengesot mundur dengan wajahnya ketakutan. Mungkin ia berpikir bahwa metode perdukunan kami kelewat seram.

"Badan lain? Aku tak paham." Lastri berujar bingung.

Belum sempat Bapak menjawab, aku langsung berubah wujud di hadapan mereka. Biar makin jelas seperti apa badan lain yang dimaksud. 

"Aaaaa!!" Lastri berteriak ketakutan. Menutup wajah dengan tas, ia mengesot mundur makin jauh ke ujung tikar. 

Aku merayap ke tengah tikar di mana Bapak meletakkan foto target. Kudengar Lastri masih memekik ketakutan dan Bapak berusaha menenangkan. Mengatakan bahwa aku sama sekali tak berbahaya.

 Itu bohong! 

Kutatap foto si target dalam cetakan warna berukuran 4×6 cm. Lumayan cantik. Pantas saja Lastri iri hati dan nekat menyantet. 

"Cepat berangkat, Bone!" Bapak mengelus sisik kepalaku mengunakan telunjuknya. 

"Hati-hatilah, luka di ekormu belum sembuh betul," pesannya lagi.

Aku memutar ke kiri lalu merayap ke luar pintu. 

***

Beberapa saat kemudian, aku tiba di hutan kecil yang dilewati aliran sungai. 

Tiga ekor ular asyik melengkor di sela akar pohon beringin. Mereka kabur saat melihatku. Begitu juga dengan kawanan kambing yang digiring seorang petani. Lari terbirit-birit membuat si petani terheran-heran. 

Binatang memang tak punya nurani. Namun dianugerahi kepekaan melebihi manusia. Sedangkan manusia yang punya nurani, memilih bersikap macam binatang.

Kepekaan itulah yang membuat mereka sadar akan keberadaanku sebagai binatang jadi-jadian. 

Dari hutan aku lantas menghilang, lalu tiba di alamat tujuan. 

Sebuah salon mewah di area ruko berlantai merah bata. Salon dwi fungsi di mana lantai satu sebagai tempat usaha dan lantai dua dijadikan hunian.

Ia mempekerjakan belasan pegawai wanita di dalamnya. Mereka tidak jelek. Kelihatan terawat sempurna dari wajah nan bening dan rambut berurai sehat.

Ada yang sibuk mewarnai rambut pelanggan. Melayani facial wajah, hingga sulam alis. Sungguh aku benci wanita pesolek. Kebanyakan wajah mereka saja yang cantik, tapi hati tidak.

Menit lamanya aku mengamati dari balik pot bunga di depan salon. Mencari tahu di mana letak kelemahan hingga dukun lain tak berhasil menghancurkannya. 

Dia duduk di balik meja kasir, sibuk menerima pembayaran dari pelanggan yang hendak pulang.

"Terima kasih, Mbak Nanda. Kuku saya jadi bagus," ujar seorang pengunjung memamerkan jemarinya. Ia berlalu pergi usai berbasa-basi sebentar.

Sebelum pintu kacanya tertutup lagi, aku buru-buru menyelinap masuk. Bersembunyi di bawah meja kasir tempat Nanda duduk.

Nanda memang kuat. Terasa dari hawa mistis di salonnya. 

Di pintu masuk ia menempatkan dua tuyul yang bertugas menarik pelanggan agar ramai. Biar tuyulnya betah, tembok dicat warna-warni dan diberi pernak-pernik lucu. 

Di area facial & massage, empat genderuwo ditugasi menggodai pelanggan. Menghembuskan hawa penuh gairah sensualitas. Sehingga pelanggan menjadi kecanduan merawat diri di salon Nanda. 

Aku merayap menuju sisi tengah salon. Makhluk besar setinggi lima meter berjaga di situ. Berbadan kuda tapi berkepala manusia. Sejenis jin yang telah berumur ribuan tahun. 

Ia bertugas menghempaskan serangan gaib dari musuh Nanda. Sebagai balasan, Nanda dikawini olehnya. Menghasilkan Anak-anak gaib hasil perkawinan silang dua dunia. Berkaki kuda, berkepala manusia, mereka asyik bermain. Berlarian ke sana ke mari. Tapal kaki mereka hampir menginjak badanku.  

Pantas saja Lastri tak berhasil merenggut nyawa Nanda. 

Nanda tidak mempan jika disantet hanya dengan sihir boneka atau mengutus jin biasa. Ia harus dihadapi langsung seperti saat ini. 

Setelah memahami situasi, aku lalu menyusun siasat. 

Sebab sehebat apapun ilmu hitam sesedukun, jika menyerang tanpa perhitungan maka bohong hasilnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Astika Buana
lanjut, Kak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status