Tanpa menunggu lama, Satria langsung menyalakan lagi motornya, bersiap hendak meninggalkan wanita yang ia kenal bernama Salsa. Namun sepertinya tenaga Salsa lebih kuat. Wanita itu menahan motor Satria dengan seluruh tenaganya, sehingga Satria tidak bisa ke mana-mana.
"BangSat kenapa mau langsung pergi? Bukannya kita sudah janjian?" tanya Salsa keheranan. Tangannya masih menahan bagian depan motor Satria.
"Saya gak merasa janjian sama Mbak Salsa. Saya ada janji dengan orang lain," jawab Satria datar.
"Gimana sih, tadi janjian mau ketemu saya di sini. Nih, saya aja masih nyimpen riwayat chat kita." Salsa menunjukkan ponselnya pada Satria, hingga lelaki itu pun tergugu dengan bahu yang merosot. Jadi, semalaman ia sudah salah orang. Bukannya Miyatun, tetapi Salsa. Wanita yang dikenalkan Ramlan padanya. Namun kali ini Salsa mengendarai motor matic sama seperti motornya, bukan motor gede seperti waktu itu.
"Hhuft ... BangSat bikin saya bingung deh. Udah sampai di sini malah mau pulang. Saya capek naik motor, mana haus. Begitu sampai langsung lihat kon*om berceceran. Emang Abang mau ngapain?" cecar Salsa dengan wajah kesal. Satria tidak langsung menjawab. Tidak mungkin ia bilang ini untuk persiapan di semak-semak nanti'kan? Bisa hilang sebelah kakinya jika ia nekat melakukan itu pada Salsa.
"Saya sales, Mbak. Jadi, selain bengkel, saya sales alat kontrasepsi," jawab Satria dengan terpaksa berbohong.
"Oh ... Abang sales kon*om! Pantes aja bawanya banyak. Emang mau promosi sama siapa! Saya? Gimana saya makenya, Bang? Orang perempuan mah rata," ujar Salsa dengan polosnya. Satria tergelak, lalu ia memutuskan untuk turun dari motor. Tak apalah tidak jadi di semak-semak, yang penting ia bisa sedikit berbincang dengan wanita.
Jika mantan-mantan istrinya selalu membicarakan soal cicilan daster dan dandang, maka dengan Salsa ia berharap berbincang masalah lain. Salsa terlihat lebih kekinian dan juga sangat energik. Tenaganya juga cukup kuat saat menahan motornya tadi, sehingga ini menjadi pertimbangan Satria untuk menjalin hubungan dengan Salsa.
"Bukan, saya mau promosi sama teman lelaki saya sepulang dari sini," jawab Satria lagi. Ia sudah membuka helem dan jaketnya. Satria juga berdiri di dekat Salsa dan siap untuk beranjak dari parkiran.
"Trus kenapa dibuka? Oh, Abang mau kasih tahu caranya. Biar teman Abang paham pas mau pake itu ya kan? Gak geli, Bang? Praktek cara packing terong di depan terong?"
"Ha ha ha ..." Satria tertawa sambil memegang perutnya. Salsa memang cantik dan kuat, tetapi kenapa sedikit tulalit? Pikir Satria dalam hati.
"Sudah, sudah, gak usah bicarakan itu. Ayo kita duduk di sana! Masa mau berdiri terus." Satria berjalan lebih dulu menuju bangku panjang yang berada di tengah taman. Disusul Salsa yang berjalan di belakangnya tanpa membuka jaket motornya, dan juga memegang botol air mineral.
Keduanya sudah duduk di bangku dengan mulut masih saja terkunci. Satria sebenarnya sedikit malas dengan Salsa, karena ia mengira akan mendapatkan Miyabi. Oleh karena itu, Satria asik di depan ponselnya dan sedikit mengabaikan Salsa.
"Abang ngajak ketemuan, tapi Abang main HP terus. Ya udah, saya balik ada deh!" Salsa sudah berdiri dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan Satria yang masih fokus pada ponselnya. Salsa berharap Satria menahan kepergiannya, tetapi lelaki itu malah asik bermain ponsel.
Salsa yang geram karena dicuekin, akhir memutuskan untuk mengempiskan ban motor Satria, lalu dengan cepat ia meninggalkan Satria begitu saja yang masih asik bermain ponsel di bangku taman.
"Salsa," panggil Satria kebingungan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari Salsa, tetapi tidak ada. Satria menoleh pada dua pintu toilet yang cukup jauh dari tempat duduknya. Ia mengira bahwa Salsa berada di sana. Namun hingga setengah jam berlalu, Salsa tak juga kunjung keluar dari bilik toilet.
Satria memutuskan untuk menyusul Salsa karena ia pun ingin buang air kecil.
"Salsa," panggil Satria, tetapi tidak ada jawaban. Keadaan bilik toilet sangat sepi, seperti tidak ada pengunjung di dalamnya.
"Salsa!" kali ini suaranya lebih keras memanggil Salsa. Pintu kamar mandi ia dorong sedikit dan tidak menemukan siapapun. Satria tidak berani buang air kecil sendirian di sana, sehingga ia memutuskan untuk duduk kembali di taman. Jika ia pulang, ia khawatir Salsa akan mencarinya. Satria memesan mi rebus di sebuah kios warung dan melahapnya dengan sangat cepat.
"Sendirian aja, Bang?" tegur ibu penjual mie.
"Nggak, Bu, tadi sama adik saya," jawab Satria.
"Oh, cewek yang rambut panjang?" tanya ibu itu lagi memastikan. Satria mengangguk sambil terus menyeruput kuah mie rebus rasa kare.
"Nona itu bukannya sudah pulang, Bang?"
Huk! Huk! Huk!
Satria meraih gelas yang ada di dekatnya, lalu menghabiskan air putih itu dengan cepat.
"Masa, Bu?" Satria belum terlalu yakin.
"Iya, coba aja ke parkiran depan sana. Pasti motornya gak ada? Nona itu pakai jaket motor warna hitam'kan?" tanpa menjawab lagi, Satria langsung mengeluarkan uang dua puluh ribu untuk membayar mi dan juga minumannya. Lalu ia berlari menuju parkiran dan melihat sudah tidak ada motor Salsa di sana. Kenapa wanita itu pergi tidak bilang? Tanya Satria dalam hati.
Satu pemandangan lagi yang membuat keringatnya mengucur deras. Ban motornya kempes, sehingga ia terpaksa mendorongnya cukup jauh untuk diperbaiki.
Sementara itu, Salsa sudah berada di toko daster miliknya. Mata jelinya kembali fokus pada laptop yang sudah siap bekerja menghasilkan pundi-pundi uang untuknya. Empat orang karyawan sibuk melayani pembeli dengan ramah dan satu orang bertugas di gudang.
Walau pun ia masih muda, tetapi Salsa bisa dibilang cukup sukses merintis usaha dasternya. Usaha yang mampu membuatnya untuk meneruskan kuliah hingga S2.
Clek!
"Loh, kok udah balik? Katanya janjian sama cowok," sapa ramah Juwi; yang tidak lain adalah Bunda dari Salsa.
"Males, Bun. Udah cuma sales kond*m, duda belagu, jual mahal lagi. Dia belum tahu siapa Salsa. Udahlah, males juga dijodohin gitu, biar Salsa cari sendiri aja."
"Ck, jangan deh kalau cari sendiri. Kemarin kamu cari sendiri malah dapatnya suami orang. Pas nyari lagi, dapatnya malah ndese alemong. Bunda gak mau kamu sembarangan dapat jodoh, Sayang. Kata Papa, ada teman dosen yang mau dikenalkan sama kamu. Kamu mau gak?" tanya Juwi pada putrinya.
"Nah, kalau dosen mau, Bun. Cakep gak?" Salsa mendadak antusias.
"Cakep sih, tapi udah gak ada giginya, he he ... Ompong!"
"Apa? Salsa dijodohin sama aki-aki?!" Salsa melotot tidak terima pada Bundanya.
"Iya, Sa. Mana udah bengek melulu, kan udah tanda-tanda itu. Lumayan warisannya, Sa," bisik Juwi dengan mata berbinar, sedangkan Salsa hanya bisa mengusap dadanya dengan kuat, sambil tersenyum pilu.
****
Malam hari di rumah Satria, Bu Mae terbangun pukul satu dini hari dan melihat lampu kamar anaknya masih menyala. Padahal Satria paling tidak bisa tidur malam jika lampunya tidak dimatikan.Bu Maesaroh membuka pintu kamar dan betapa terkejutnya ia melihat Satria yang tengah megap-megap di atas tempat tidur.
"Ya Allah, Sat, lu kenapa?" Bu Mae panik.
"Sesek napas, Bu," jawab Satria terengah-engah.
"Kok bisa? Lu habis ngapain? Lagian lu gak punya riwayat sesek, Sat," tanya Bu Mae.
"Dorong motor pecah ban ... tan ... ja ... kan ..." Napas Satria semakin payah.
"Ya udah, tunggu di sini, Ibu panggil Mak Piah. Katanya Mak Piah bisa ngobatin orang sesek napas hanya dengan mencium bibirnya." Satria merasa napasnya semakin sesak dan umurnya tidak akan lama lagi begitu mendengar akan dicium Mak Piah.
****
_Bersambung_Napas Satria benar-benar sesak dan Bu Mae pun segera memanggil Mak Piah;tukang urut ternama di kampung mereka. Kebetulan juga, rumah Mak Piah bersebelahan dengan rumah Satria.Bu Mae berlari ke rumah Mak Piah, lalu mengetuk pintu rumah wanita tua itu dengan tergesa-gesa.Tok! Tok!"Mak, buka! Ini Mae!" seru Bu Mae dengan suara kencang. Namun Mak Piah belum juga membukakan pintu."Mak, buka! Ini Mae, Mak!" Tangan Bu Mae masih terus menggedor pintu rumah tukang urut itu, tetapi belum juga dibukakan pintu. Bu Mae tidak kehabisan akal, dia harus mengeluarkan kalimat ajian agar pintu segera dibuka."Mak, Satria sesek, dia butuh ..."Cklek"Siapa sesek? Satlia? Ayo, sebelum mati." Mak Piah berjalan melewati Bu Mae begitu saja dengan wajah tanpa dosa. Ibu dari Satria itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil menghela napas berat. Segera ia menyusul Mak Piah yang sudah lebih dahulu masuk ke dalam rumahnya. Padahal setahu Bu Mae, jalan
Part Serius.Jan pada ketawa.****Napas Satria sudah lebih tenang setelah dipasang oksigen dan juga infus. Matanya terpejam walau tidak lelap dan Bu Mae masih setia menemani anaknya yang terbaring lemah di brangkar rumah sakit.Kamar perawatan kelas tiga dipilih Bu Mae karena sesuai dengan kelas BPJS yang dibayarkan setiap bulannya. Untungnya tidak terlalu banyak pasien. Hanya ada dua brangkar yang terisi dan salah satunya Satria.Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Seorang perawat masuk dan membereskan brangkar tepat di samping Satria. Bu Mae terbangun dari tidurnya dan saat ingin berjalan ke kamar mandi, ia melihat seorang petugas tengah menyiapkan brangkar. Memasang seprei dan juga sarung bantal."Mau ada pasien baru ya, Sus?" tanya Bu Mae penasaran."Iya, Bu. Pasiennya masih di bawah. Ditangani dokter IGD," terang perawat sambil memasang selimut di ranjang."Kalau umurnya panjang berarti di bawa ke sini ya, tap
Mendengar kabar bahwa Satria tengah dirawat di rumah sakit membuat Salsa menjadi iba dan ia pun berencana akan mengunjungi Satria sebelum pergi ia butiknya.Sejak pagi Salsa sudah repot di dapur membuat makanan yang akan dibawa ke rumah sakit. Melihat sang putri tengah asik di depan kompor, membuat Juwi yang baru saja keluar dari kamar, turut tersenyum senang."Masak apa sih anak, Bunda?" tanya Juwi menghampiri Salsa."Masak aer," jawab Salsa pendek."Buat apa? Buat mandi?" Juwi melihat panci kecil yang tengah berada di atas kompor dalam keadaan mendidih."Bukan, Bun, bikin mi rebus. Teman Salsa sakit, jadi Salsa mau bawain makanan." Juwi mengangguk paham."Orang sakit gak boleh makan mi instan, Sa, nanti tambah sakit loh. Kenapa gak bawain roti aja?""Mi rebusnya untuk Salsa sarapan. Habis sarapan baru Salsa siap-siap jenguk dan beliin roti atau buah di jalan," jawab Salsa sambil menyeringai. Juwi merasa anak sulungnya te
Aku tuh kangen loh sama BangSat, kalian pada kangen gak sih? Selamat membaca. "Salsa mau jadi istri saya?" "Gak ah, BangSat tidak kuat. Kalau kuat mana mungkin masuk rumah sakit. Lihat tuh, ada selang oksigen di hidung." Salsa menunjuk hidung Satria dengan dagunya, kemudian ia menggelengkan kepala. "Sekarang kamu bisa mengatakan aku tidak kuat, tetapi saat malam pertama nanti, kamu akan lihat betapa tangguhnya Tyrex-nya aku," gumam Satria dalam hati. "Yah, kita perkenalan dulu aja, Sa. Teman dekat gitu, kalau cocok lanjut, kalau nggak ya kita bisa jadi saudara. Betul'kan?" "Nah, ini tumben omongan lu bener, Sat, biasanya ngaco!" Sela Bu Mae yang baru saja tiba di dekat keduanya. Salsa tersenyum malu-malu, lalu sedikit menggeser tubuhnya menjauh dari Satria agar Bu Mae bisa duduk di dekat anaknya. "Iya, Bu, makanya saya bilangin sama Salsa, jadi teman aja dulu, siapatahu cocok. Jodoh tidak ada yang
Aku tuh kangen loh sama BangSat, kalian pada kangen gak sih??ðŸ¤ðŸ¤ðŸ¥ºðŸ¥ºSelamat membaca."Salsa mau jadi istri saya?""Gak ah, BangSat tidak kuat. Kalau kuat mana mungkin masuk rumah sakit. Lihat tuh, ada selang oksigen di hidung." Salsa menunjuk hidung Satria dengan dagunya, kemudian ia menggelengkan kepala."Sekarang kamu bisa mengatakan aku tidak kuat, tetapi saat malam pertama nanti, kamu akan lihat betapa tangguhnya Tyrex-nya aku," gumam Satria dalam hati."Yah, kita perkenalan dulu aja, Sa. Teman dekat gitu, kalau cocok lanjut, kalau nggak ya kita bisa jadi saudara. Betul'kan?""Nah, ini tumben omongan lu bener, Sat, biasanya ngaco!" Sela Bu Mae yang baru saja tiba di dekat keduanya. Salsa tersenyum malu-malu, lalu sedikit menggeser tubuhnya menjauh dari Satria agar Bu Mae bisa duduk di dekat anaknya."Iya, Bu, makanya saya bilangin sama Salsa, jadi teman aja dulu, siapatahu cocok. Jodoh tidak ada ya
Bu Mae terheran-heran melihat Satria menyeret kasur untuk dijemur di teras depan. Memang matahari pagi ini sangat bagus dan cerah. Untuk menjemur badan, menjemur cucian, bahkan menjemur bayi pun sangat bagus. Padahal masih pukul tujuh pagi, tetapi sinar terangnya tepat berada di teras rumah Satria."Kenapa dijemur? Tumben! Emang lu udah kuat?" tanya Bu Mae pada anaknya."Buat persiapan, Bu," jawab Satria sambil tersenyum. Bu Mae mengerutkan keningnya. Persiapan?"Persiapan apaan?" tanyanya penasaran."Sebentar lagi'kan Satria mau jadi manten, Bu, jadi ini kasur harus sering dijemur.""Kata siapa?" tanya Bu Mae dengan polosnya. Satria terbahak, lalu ia bergegas masuk ke dalam rumah. Meninggalkan ibunya dalam keterpakuan menanti jawaban yang sebenarnya."Sat, emang siapa yang mau nikah sama lu? Salsa?" Bu Mae menyusul Satria yang kini sudah duduk melantai di depan pintu lemari pakaian yang terbuka. Mata tua Bu Mae melihat isi
Satria dan Bu Mae sudah berada di rumah sakit yang cukup terkenal di Kota Bekasi. Hari ini wanita paruh baya itu sudah membuat janji online pada pihak rumah sakit untuk mendaftarkan Satria ke dokter spesialis kulit dan alat kelamin."Silakan timbang dan tensi dulu ya, Bu. Dari sini, lurus saja yang ada meja perawat di depan sana," tunjuk petugas pendaftaran rumah sakit pada Bu Mae."Terima kasih, Mbak," ucap Bu Mae sambil tersenyum. Satria berjalan santai mengekori ibunya menuju meja perawat yang dimaksud. Bu Mae meletakkan lembar pendaftaran di atas meja sambil menunggu panggilan."Satria Kuat," seru perawat memanggil nama Satria. Lelaki itu bangun dari duduknya, lalu berjalan menuju perawat yang memanggilnya tadi. Bu Mae dengan setia berada di belakang Satria."Silakan duduk, Mas," ucap perawat mempersilakan. Satria pun duduk dengan santainya."Keluhannya apa?" tanya perawat sambil memasang alat untuk memeriksa tekanan darah Satria pa
"Bunda, lihat HP Salsa?""Ini, ada telepon dari Satria." Juwi menyerahkan ponsel milik Salsa. Masih ada suara berisik di seberang sana dan Salsa segera menaruh ponsel di telinganya."Halo, BangSat."Tut! Tut!Juwi bergidik ngeri sekaligus menatap Salsa dengan tatapan bingung. Kasar sekali ucapan Salsa. Batinnya."Ya ampun, Sa, orang nelepon baik-baik, kenapa dibilang Bangsat?"Salsa menyimpan ponselnya ke dalam tas selempang kecil miliknya."Bang Satria, Salsa panggil BangSat, Bun, gak keberatan dia." Salsa berjalan cepat keluar dari kamar, lalu menuju garasi rumah. Helem motor besarnya pun belum sempat ia buka karena terburu-buru saat tahu ponselnya tertinggal di rumah."Sa, itu cowok yang mau kamu ajak ke rumah hari Sabtu nanti?" tanya Juwi pada putrinya."Iya, Bun. Lillahi ta'ala aja, Salsa mah. Papa dan Bunda yang menilai nanti cocok yang mana yang kira-kira lolos jadi calon menantu. Salsa udah malas mikir, mau