Part Serius.
Jan pada ketawa.****
Napas Satria sudah lebih tenang setelah dipasang oksigen dan juga infus. Matanya terpejam walau tidak lelap dan Bu Mae masih setia menemani anaknya yang terbaring lemah di brangkar rumah sakit.
Kamar perawatan kelas tiga dipilih Bu Mae karena sesuai dengan kelas BPJS yang dibayarkan setiap bulannya. Untungnya tidak terlalu banyak pasien. Hanya ada dua brangkar yang terisi dan salah satunya Satria.
Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Seorang perawat masuk dan membereskan brangkar tepat di samping Satria. Bu Mae terbangun dari tidurnya dan saat ingin berjalan ke kamar mandi, ia melihat seorang petugas tengah menyiapkan brangkar. Memasang seprei dan juga sarung bantal.
"Mau ada pasien baru ya, Sus?" tanya Bu Mae penasaran.
"Iya, Bu. Pasiennya masih di bawah. Ditangani dokter IGD," terang perawat sambil memasang selimut di ranjang.
"Kalau umurnya panjang berarti di bawa ke sini ya, tapi kalau umurnya pendek dibawanya ke kamar mayat ya?" tanya Bu Mae dengan polosnya. Petugas itu tertawa kecil sambil tersenyum.
"Nenek-nenek pasiennya, Bu. Semoga aja umurnya panjang. Mari, Bu, saya permisi," ucap petugas itu sambil mengangguk pamit.
Bu Mae ikut tersenyum, lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Suasana kamar tenang dan senyap karena hanya ada dua pasien dan dua penunggu saja, sehingga Satria bisa beristirahat dengan tenang.
Setelah dari kamar mandi, Bu Mae meneruskan tidurnya. Ia menaruh kepala di atas kedua tangan yang melipat di atas tempat tidur. Namun baru sebentar ia terlelap, suara gaduh ditangkap oleh telinganya.
Rasa penasaran membuat Bu Mae mengintip sedikit. Pasien yang di IGD sepertinya sudah naik, batinnya.
"Pak Asep, Bu Salma, Pak Jaya, siapa yang sakit?" tanya Bu Mae terheran, karena tiga orang yang tadi mengantar Satria dan dirinya, kembali lagi ke rumah sakit.
"Mak Piah, Bu. Tuh, lihat! Napasnya sesek banget, padahal udah dikasih oksigen," kata Bu Salma dengan wajah iba. Bu Mae tersentak, lalu menggeser tirai penutup dan matanya terbelalak lebar.
Mak Piah tengah terengah-engah dengan posisi setengah duduk yang hidungnya terpasang oksigen.
"Ya Allah, kok bisa, Bu? Kan yang sesek Satria, kenapa Mak Piah ikutan sesek napas?" tanya Bu Mae bingung.
Pak Asep, Pak Jaya, dan Bu Salma menutup mulutnya menahan tawa. Ketiganya saling pandang dan akhirnya tawa ketiganya lepas juga.
"Kami menemukan Mak Piah dengan bungkus kon*om yang berceceran di dekatnya. Malah di dekat bibirnya nempel satu. Kalau kata Mak Piah, dia mau niup, tapi gak bisa," jawab Bu Salma kemudian tergelak.
"Hah? Ya ampun, emang Mak Piah mau main sama siapa? Nggak ingat umur sih! Harusnya kalau gak bisa niup pakai mulut, tinggal ambil kompa sepeda di samping rumah saya," ujar Bu Mae sambil menggelengkan kepala. Pak Asep dan yang lainnya saling pandang, lalu ketiganya berlari keluar ruangan untuk tertawa.
Puas menertawakan Bu Mae, ketiganya pun pamit pulang dengan menitipkan Mak Piah pada Bu Mae. Anak Mak Piah di Jakarta akan datang besok, sehingga untuk malam ini mereka minta tolong pada Bu Mae.
Melihat Mak Piah tidur pulas, Bu Mae kembali ke bilik kamar anaknya dan ternyata Satria sudah bangun dan mendengar perbincangan ibunya dan juga para tetangganya.
"Ya ampun, Sat, lu kenapa nangis?" tanya Bu Mae panik. Wanita itu menyalakan lampu untuk melihat keadaan anaknya.
"Bu, saya mau pindah kamar aja boleh gak? Saya gak mau sekamar sama Mak Piah," bisik Satria dengan napas masih sedikit terengah-engah.
"Ya gak bisa, Sat. Kelas BPJS kita kelas tiga. Ribet kalau pindah kelas," jawab Bu Mae sambil menggeleng.
"Ya udah, Mak Piah aja pindahin ke kamar mayat, Bu, buat persiapan, bisa gak?"
Puk!
"Aw!" Satria meringis kesakitan saat tangannya dipukul keras oleh ibunya.
"Kalau Mak Piah mati, lu yang paling pertama dia ajak main balon. Lu mau?" Satria bungkam, lalu menggeleng keras.
"Udah, tidur lagi! Ini sudah setengah dua pagi." Bu Mae kembali mematikan lampu biliknya.
"Bu, kita banyak duit'kan, kenapa gak masuk ruang perawatan kelas satu atau VIP sekalian? Uangnya disimpan aja emangnya buat apa?"
"Buat ngawinin lu, trus gak lama buat ngurusin cere lu! Bolak-balik aja terus begitu. Gue Ampe cape. Setelah gue hitung pakai kalkulator, selama setahun ini lu nikah berkali-kali dan cerai juga berkali-kali, warisan bapak lu udah berkurang seratus enam puluh juta. Dah, jangan banyak permintaan. Sekarang lu tidur, biar luar cepat sehat." Bu Mae memejamkan mata dan kembali meletakkan kepalanya di atas tempat tidur.
"Bang Sat, saya mau pipis, bisa tolongin saya gak?" lirih Mak Piah membuat Bu Mae dan Satria saling pandang dengan mata melotot.
"Bu, boleh gak saya doain Mak Piah mati aja?" bisik Satria hanya dengan gerakan bibir, tanpa suara. Bu Mae mengangguk dengan kepala kaku.
Malam itu juga Bu Mae mengurus kepindahan kamar anaknya ke kelas VVIP, sedangkan Mak Piah dititipkan oleh Bu Mae pada perawat kelas tiga.
****
Salsa memandang ponselnya yang sepi dari pesan atau pun telepon seseorang. Hanya ada tiga pesan dari tiga lelaki beristri yang terus saja menerornya dan tentu saja itu membuatnya kesal bukan kepalang.Sudah dua hari berlalu sejak ia janjian bertemu dengan Satria waktu itu dan sejak saat itu pula tidak ada pesan dari lelaki itu.
Salsa memang memblokir nomor ponsel Satria karena kesal, tetapi siang ini ia membuka kembali blokir atas nama Satria dan mengirimkan pesan pada nomor lelaki itu.
"BangKu apa kabar? Lagi ngapain?"
Salsa tak sabar menunggu balasan dari Satria.
Ting
"Saya lagi sakit, Mbak Salsa. Doakan saya ya."
"Ya Allah, sakit apa, Bang? Udah dekat waktunya emang? Abang'kan masih muda? Maafin kesalahan saya ya, Bang."
"Mbak, saya cuma sakit, bukan lagi sakaratul maut."
****
Kata saya Jan pada ketawa! Masih aja ketawa!Mendengar kabar bahwa Satria tengah dirawat di rumah sakit membuat Salsa menjadi iba dan ia pun berencana akan mengunjungi Satria sebelum pergi ia butiknya.Sejak pagi Salsa sudah repot di dapur membuat makanan yang akan dibawa ke rumah sakit. Melihat sang putri tengah asik di depan kompor, membuat Juwi yang baru saja keluar dari kamar, turut tersenyum senang."Masak apa sih anak, Bunda?" tanya Juwi menghampiri Salsa."Masak aer," jawab Salsa pendek."Buat apa? Buat mandi?" Juwi melihat panci kecil yang tengah berada di atas kompor dalam keadaan mendidih."Bukan, Bun, bikin mi rebus. Teman Salsa sakit, jadi Salsa mau bawain makanan." Juwi mengangguk paham."Orang sakit gak boleh makan mi instan, Sa, nanti tambah sakit loh. Kenapa gak bawain roti aja?""Mi rebusnya untuk Salsa sarapan. Habis sarapan baru Salsa siap-siap jenguk dan beliin roti atau buah di jalan," jawab Salsa sambil menyeringai. Juwi merasa anak sulungnya te
Aku tuh kangen loh sama BangSat, kalian pada kangen gak sih? Selamat membaca. "Salsa mau jadi istri saya?" "Gak ah, BangSat tidak kuat. Kalau kuat mana mungkin masuk rumah sakit. Lihat tuh, ada selang oksigen di hidung." Salsa menunjuk hidung Satria dengan dagunya, kemudian ia menggelengkan kepala. "Sekarang kamu bisa mengatakan aku tidak kuat, tetapi saat malam pertama nanti, kamu akan lihat betapa tangguhnya Tyrex-nya aku," gumam Satria dalam hati. "Yah, kita perkenalan dulu aja, Sa. Teman dekat gitu, kalau cocok lanjut, kalau nggak ya kita bisa jadi saudara. Betul'kan?" "Nah, ini tumben omongan lu bener, Sat, biasanya ngaco!" Sela Bu Mae yang baru saja tiba di dekat keduanya. Salsa tersenyum malu-malu, lalu sedikit menggeser tubuhnya menjauh dari Satria agar Bu Mae bisa duduk di dekat anaknya. "Iya, Bu, makanya saya bilangin sama Salsa, jadi teman aja dulu, siapatahu cocok. Jodoh tidak ada yang
Aku tuh kangen loh sama BangSat, kalian pada kangen gak sih??🤭🤭🥺🥺Selamat membaca."Salsa mau jadi istri saya?""Gak ah, BangSat tidak kuat. Kalau kuat mana mungkin masuk rumah sakit. Lihat tuh, ada selang oksigen di hidung." Salsa menunjuk hidung Satria dengan dagunya, kemudian ia menggelengkan kepala."Sekarang kamu bisa mengatakan aku tidak kuat, tetapi saat malam pertama nanti, kamu akan lihat betapa tangguhnya Tyrex-nya aku," gumam Satria dalam hati."Yah, kita perkenalan dulu aja, Sa. Teman dekat gitu, kalau cocok lanjut, kalau nggak ya kita bisa jadi saudara. Betul'kan?""Nah, ini tumben omongan lu bener, Sat, biasanya ngaco!" Sela Bu Mae yang baru saja tiba di dekat keduanya. Salsa tersenyum malu-malu, lalu sedikit menggeser tubuhnya menjauh dari Satria agar Bu Mae bisa duduk di dekat anaknya."Iya, Bu, makanya saya bilangin sama Salsa, jadi teman aja dulu, siapatahu cocok. Jodoh tidak ada ya
Bu Mae terheran-heran melihat Satria menyeret kasur untuk dijemur di teras depan. Memang matahari pagi ini sangat bagus dan cerah. Untuk menjemur badan, menjemur cucian, bahkan menjemur bayi pun sangat bagus. Padahal masih pukul tujuh pagi, tetapi sinar terangnya tepat berada di teras rumah Satria."Kenapa dijemur? Tumben! Emang lu udah kuat?" tanya Bu Mae pada anaknya."Buat persiapan, Bu," jawab Satria sambil tersenyum. Bu Mae mengerutkan keningnya. Persiapan?"Persiapan apaan?" tanyanya penasaran."Sebentar lagi'kan Satria mau jadi manten, Bu, jadi ini kasur harus sering dijemur.""Kata siapa?" tanya Bu Mae dengan polosnya. Satria terbahak, lalu ia bergegas masuk ke dalam rumah. Meninggalkan ibunya dalam keterpakuan menanti jawaban yang sebenarnya."Sat, emang siapa yang mau nikah sama lu? Salsa?" Bu Mae menyusul Satria yang kini sudah duduk melantai di depan pintu lemari pakaian yang terbuka. Mata tua Bu Mae melihat isi
Satria dan Bu Mae sudah berada di rumah sakit yang cukup terkenal di Kota Bekasi. Hari ini wanita paruh baya itu sudah membuat janji online pada pihak rumah sakit untuk mendaftarkan Satria ke dokter spesialis kulit dan alat kelamin."Silakan timbang dan tensi dulu ya, Bu. Dari sini, lurus saja yang ada meja perawat di depan sana," tunjuk petugas pendaftaran rumah sakit pada Bu Mae."Terima kasih, Mbak," ucap Bu Mae sambil tersenyum. Satria berjalan santai mengekori ibunya menuju meja perawat yang dimaksud. Bu Mae meletakkan lembar pendaftaran di atas meja sambil menunggu panggilan."Satria Kuat," seru perawat memanggil nama Satria. Lelaki itu bangun dari duduknya, lalu berjalan menuju perawat yang memanggilnya tadi. Bu Mae dengan setia berada di belakang Satria."Silakan duduk, Mas," ucap perawat mempersilakan. Satria pun duduk dengan santainya."Keluhannya apa?" tanya perawat sambil memasang alat untuk memeriksa tekanan darah Satria pa
"Bunda, lihat HP Salsa?""Ini, ada telepon dari Satria." Juwi menyerahkan ponsel milik Salsa. Masih ada suara berisik di seberang sana dan Salsa segera menaruh ponsel di telinganya."Halo, BangSat."Tut! Tut!Juwi bergidik ngeri sekaligus menatap Salsa dengan tatapan bingung. Kasar sekali ucapan Salsa. Batinnya."Ya ampun, Sa, orang nelepon baik-baik, kenapa dibilang Bangsat?"Salsa menyimpan ponselnya ke dalam tas selempang kecil miliknya."Bang Satria, Salsa panggil BangSat, Bun, gak keberatan dia." Salsa berjalan cepat keluar dari kamar, lalu menuju garasi rumah. Helem motor besarnya pun belum sempat ia buka karena terburu-buru saat tahu ponselnya tertinggal di rumah."Sa, itu cowok yang mau kamu ajak ke rumah hari Sabtu nanti?" tanya Juwi pada putrinya."Iya, Bun. Lillahi ta'ala aja, Salsa mah. Papa dan Bunda yang menilai nanti cocok yang mana yang kira-kira lolos jadi calon menantu. Salsa udah malas mikir, mau
Tibalah hari yang dinantikan oleh Bu Mae. Seharian ini, wanita setengah baya itu sibuk membuat aneka kue untuk dibawa ke rumah Salsa nanti sore. Ada kue cucur, bolu tape, donat kentang, risol isi sayuran, dan juga kue lapis. Belum lagi parcel buah sebanyak tiga keranjang sudah ia pesan dari toko buah.Para tetangga termasuk Pak RT, Bu RT, dan beberapa orang lainnya yang akan mengantar Satria lamaran malam ini sudah dibelikan baju seragam batik sebanyak dua belas biji. Bu Mae sengaja berbelanja ke pasar Tanah Abang untuk persiapan lamaran Satria malam ini.Satria tak bisa banyak bicara. Ia hanya bisa memandang semua kehebohan di rumahnya tanpa berani berkomentar."Ngapain bengong? Masuk sana! Calon pengantin dilarang lihat persiapan lamaran, pamali kalau kata Mak Piah," seru Bu Mae pada Satria yang kini sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Begitu ia mendengar nama Mak Piah, Satria langsung membanting pintu kamar, lalu menguncinya sebanyak dua kali. Satria
Semua orang duduk di lantai ruang tamu yang sudah beralaskan karpet tebal. Sofa tamu terpaksa digeser ke ruang tengah rumah Salsa agar dapat menampung tamu yang datang bersama Satria dan ibunya.Kini semua terdiam tidak berani bersuara. Di depan mereka sudah ada gelas teh yang disuguhkan keluarga Salsa. Tamu pun ada juga sebagian yang duduk di luar, karena di ruang tamu sudah tidak muat.Seorang lelaki yang bernama Fajar menatap begitu banyak tamu berseragam dengan perasaan aneh sekaligus penasaran. Ia duduk di samping Devit;papa dari Salsa, sedangkan Satria duduk di samping ibunya yang juga tengah menunduk sangat malu."Jadi begini, Pak, Bu ...." Bu Mae berusaha membuka percakapan dalam keheningan malam."Kedatangan kami ke sini adalah untuk melamar anak Bapak dan Ibu yang bernama Salsa, sebagai istri dari anak saya yang bernama Satria Kuat. Memang kami datang secara tiba-tiba, karena memang niatnya memberi kejutan.""Iya, Bu, malah me