Share

Bab 2 Bertemu Dokter Kampung

POV Ibu Mertua

“Bu Mae, menantunya pucet banget. Kayaknya udah nggak orisinil. Udah blong. Makanya nggak bercahaya. Coba lihat waktu nikahannya si Wiwin kemarin. Uuuh, cetar membahenol. Pantesnya penganten tuh, kayak gitu. Bukannya pucet kayak yang belum makan dua hari,” kata Bu Imah tetangga satu RT. 

Emang iya, riasan macam apa itu? Masa penganten dandanannya kayak gitu. Itu mah cocoknya buat dandanan sehari-hari.  Aku lihat dandanannya Wiwin waktu nikahannya kemarin. Pipinya merona merah kayak tomat. Matanya bling-bling kayak pake lampu mercusuar. Bulu mata anti badai. Cocok itu kalau untuk pengantin. Beda dari yang lain. Padahal bayar tukang rias cuman 2 juta udah sama dekor. 

Ini mah apa? Sama penyanyi dangdut aja masih kerenan penyanyi dangdut. Bilangnya aja make up doang sampai sampai 5 juta. Belum dekor sama foto. Semua habis 20 juta. Belum buat biaya prasmanan. Habislah 50 juta. Dari mana duitnya kalau bukan dari Agus anakku. Mending kalau hasilnya bagus. Ini mah jadinya kayak kurang darah.

Makanya kupanggil si Agus. Biar dia hati-hati. Katanya si Yasmin belum diapa-apain tapi roman-romannya udah blong sama orang lain. Atau jangan-jangan dia lagi hamil. Hiih. Naudzubillah punya menantu kayak gitu. Memalukan keluarga saja. 

Bukan hanya tetangga-tetangga yang bilang si Yasmin jelek, saudara-saudaraku juga mengatakan hal yang sama. 

Nah-nah, itu dia keluar. Wah, sambil bawa koper segala. Baguslah, rupanya si Agus sudah mengatakan semuanya pada wanita kotor itu. 

Memang nggak pantes si Yasmin dapetin Agus. Anakku itu anak keluarga terpandang di kampung ini. sementara si Yasmin, cuman penerima tamu di kantor tempat Agus bekerja. Anakku itu manajer. Coba itu si Yasmin, nggak sepadan sama Agus. 

Udah kubilangin sama si Agus, kalau Lilis jauh lebih cocok sama dia. Anak juragan rongsok paling kaya di kampung ini. si Agus sudah pasti tidak perlu ngeluarin uang yang banyak untuk kawinan. Gemes sekali rasanya. 

Tapi, lihat si Yasmin mau pergi, rasanya jadi plong. Nggak perlu bikin dia nggak betah tinggal di sini. Cukup omongan begitu saja, si Agus udah nurut. Baguslah, dia memang anak yang berbakti. 

Setelah si Yasmin pergi. Aku akan suruh si Agus buat deketin si Lilis. Mau kuulang lagi hajatan yang lebih mewah dengan dandanan yang cetar. Kalau bisa, hajatannya 7 hari 7 malam. biar tetangga tidak meremehkan lagi keluarga ini.

Bahkan banyak yang bilang kasihan sama  Agus karena dapet istri yang udah blong. Kalau Agus nikah sama Lilis, sudah pasti tetangga bakalan silau dengan kami. 

***

POV YASMIN

Ada sakit, ada juga perasaan plong saat mendengar Mas Agus menjatuhkan talak. Lebih baik begitu, dari pada jadi hinaan.  Jika sudah tidak ada kepercayaan, untuk apa dipertahankan. 

Untung baju-bajuku masih di koper, jadi nggak perlu ribet beres-beres. 

Lucu rasanya cuman gara-gara mitos, umur pernikahanku nggak sampai satu hari. Tapi, nggak apa-apa lah, jadi aku tahu gimana sebenarnya sifat Mas Agus. Dia pasti akan lebih percaya sama ibunya ketimbang sama aku. Di hari pertama aja udah kayak gitu, apalagi  nanti. 

“Kamu mau pergi?” tanya Mas Agus, yang menurutku pertanyaan yang sangat bodoh. 

“Iyalah. Ngapain juga di sini. Kita kan udah bukan suami istri,” jawabku malas. 

“Aku antar, ya.” Mas Agus hendak membawakan koperku, tapi aku langsung menolaknya.

“Nggak usah, nanti ibu kamu marah,”elakku sambil menarik pegangan koper. Mas Agus ikut keluar membututi dari belakang. Aku yakin, dalam hatinya pasti sedang galau. Nggak mau kehilangan aku, tapi dia masih percaya dengan perkataan ibunya yang konyol. Sudahlah tidak apa, karena aku tahu kalau surga seorang anak laki-laki terletak pada ibunya. 

Saat keluar dari kamar, mantan ibu mertua sedang duduk sambil nonton sinetron Ikatan Cinta. Matanya langsung mendelik. Begitupun dengan adik juga kakaknya. Mereka menatapku penuh curiga. Bahkan Santi terus memperhatikan perutku yang jelas-jelas rata. Mungkin dia sudah mengobrol dengan ibunya tentang aku. 

“Baguslah kalau kamu tau diri,” ucap ibunya Mas Agus dengan wajah yang sinis. “Saya nggak mau punya menantu yang bakalan bikin malu.” 

Ya ampun. Aku bersyukur banget nggak jadi bagian dari keluarga ini. Pikirannya sempit juga picik. Aku benar-benar tidak ingin menjelaskan dan membuatku bisa kembali pada Mas Agus. Sudah cukup kejadian ini menjadi bukti kepicikan mereka. 

“Iya, Bu. Saya pamit. Maaf jika saya ada salah.”

“Tentu saja kamu punya salah. Berani-beraninya membohongi Agus juga kami.” 

Ucapan ibunya Mas Agus itu benar-benar bikin aku ingin tertawa. Tapi tak apa. Biarkan mereka berpikiran begitu. Akan aku buktikan jika pikiran mereka itu tidak benar dan akan kubuat menyesal. 

Beruntungn bagiku karena saat keluar rumah, ada angkot yang lewat. Kata sopirnya itu adalah angkot terakhir yang biasanya mengangkut para pekerja yang masuk malam. 

Beberapa penumpang yang merupakan tetangga Mas Agus itu melilrik ke arahku dengan tatapan aneh. Mereka juga memperhatikan Mas Agus yang hanya berdiri di teras tanpa mengantarku. Bahkan ada salah satu dari mereka yang berani berbisik-bisik. Aku yakin dia pasti sedang membicarakanku. 

Saat ini yang bisa kulakukan hanya masa bodoh. Peduli amat dengan apa yang mereka pikirkan. 

Untuk menuju ke kota besar aku harus menaiki bis yang saat ini sudah tidak ada . Karena saat ini sudah malam, aku terpaksa mencari losmen yang ada di sekitar terminal angkot. Semoga saja tidak ada orang jahat yang ingin memperdayaiku. Baru keesokan harinya aku mendapatkan bis untuk ke kota. 

Seorang lelaki dengan pakaian cukup rapih duduk di sebelahku. Dia tersenyum dengan sopan sebelum akhirnya kami saling diam dan memejamkan mata. 

Ketika kubangun, dia terlihat sedang membaca Al-Quran berukuran kecil. Aku perhatikan baik-baik. Suaranya merdu. Lalu, sepertinya dia merasa jika tengah diperhatikan, karena dia menghentikan bacaannya dan menoleh padaku. 

“Dari mana mau ke mana?” tanyanya dengan suara yang agak ngebas. 

“Dari Kampung Suniagara, mau kembali ke Jakarta,” jawabku sopan. 

“Suniagara? Saya juga baru dari sana. Ada saudara?” dia kembali bertanya. Eh, ternyata dia dari sana juga. 

“Ah, nggak, cuma mengunjungi teman.” Aku menutupi jika baru menikah dan bercerai. 

“Ooh,” katanya sembari menganggukan kepala. 

“Mas ada sodara juga di sana?” Aku bertanya sembari menatapnya. Sepertinya dia bukan orang biasa. Pakaiannya terlihat mahal dan sikapnya sangat sopan. 

“Ah, iya. Saya ke sana menjenguk ibu saya sekalian lihat pembangunan klinik di sana.” 

Klinik? Apa dia seorang dokter?

“Oh, jadi Anda dokter?” Aku menebak. Dia tertawa lilrih. 

“Hanya dokter kampung,” jawabnya. 

Dokter kampung, katanya. Merendah sekali.

Obrolan ini membuat perjalanan terasa singkat. Kami pun berpisah di terminal berikutnya

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Nina Novianty
ceritanya bikin penasaran . . biasa kl ditampung ya seperti itu make UP nya hrs menor ya
goodnovel comment avatar
Asa Benita
kalau make up gitu di perkotaan bakalan jadi omongan semua org, dikira ondel2 nyasar.
goodnovel comment avatar
silver crown
dialognya gak pake tanda petik kak?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status